Pagi-pagi sekali, di depan kelasku sudah banyak orang-orang yang berkumpul. Entah apa yang sedang mereka lihat tapi sepertinya terjadi keributan di sana. Aku pun masuk ke dalam kerumunan orang-orang tersebut dan melihat keributan apa yang tengah terjadi.
Dan gilanya! Prisil sedang bertengkar dengan Kak Rio.
“Sil!” Aku menghampiri gadis itu. Tas Prisil sudah jatuh tergeletak di lantai bersamaan dengan buku-bukunya yang sudah berserakan.
Kulihat wajah Prisil sarat akan kemarahan yang kentara. Rambutnya sudah sedikit acak-acakan dan matanya tajam melihat tepat ke arah Kak Rio yang tak kalah mengerikannya.
“Sil, masuk,” kataku mendorong Prisil untuk masuk ke dalam kelas. Aku tahu bagaimana watak Prisil, termasuk ketika ia tidak suka dengan seseorang atau ada orang yang dengan sengaja membuatnya marah. Prisil tak akan segan-segan untuk memukulnya.
Dengan sedikit paksaan akhirnya Prisil masuk ke dalam kelas. Aku memberikan air minum agar amarahnya sedikit mereda, lalu kerumunan orang-orang itupun berangsur menghilang. Aku kembali keluar kelas untuk memungut barang-barang Prisil yang berserakan.
“Dasar lacur!” kata Kak Rio tepat di depan telingaku.
Aku menatap ke arahnya tidak percaya. Maksudku, Kak Rio yang kutahu bukan tipe orang seperti itu. Yang menggunakan kata-kata kasar pada orang lain, apalagi pada perempuan.
“Kak jaga omongannya!” kataku sedikit tidak suka dengan ucapannya barusan.
“Gak usah ikut campur lu,” katanya padaku.
Tentu sebagai sahabat aku tidak terima Prisil dikatai seperti itu.
“Tolong jangan hina orang sesuka hati Kakak!” kataku lagi. “Harusnya Kakak lebih tau diri buat jaga omongan Kakak sendiri.”
Aku kembali memungut buku-buku Prisil. Lalu, pada saat yang sama ada seseorang yang menarik bahuku dengan sangat keras.
Tubuhku pun akhirnya berbalik melihat kearah orang yang menarikku tadi. Dan yang kulihat adalah Kak Rio dengan tatapan matanya yang nyalang.
PLAK!!!!
Seketika pipiku memanas saat dengan cepatnya Kak Rio menamparku.
“Dasar belagu lu!”
Dan kemudian Kak Rio mendorongku, mungkin dengan sekuat tenaga hingga aku membentur dinding kelas sangat keras. Aku merasa mual dan sakit luar biasa di daerah punggungku. Mataku tiba-tiba saja sedikit buram dan suaraku tercekat.
“Brengsek!!!”
Kini samar-samar ada suara lain yang mengarah pada Kak Rio dan menendang Kak Rio cukup keras. Siapa? Siapa orang yang kini membelakangiku itu?
“Sya!” Raka, yang entah darimana muncul dan memegang pundakku.
Aku tak bisa berkata apapun. Tubuhku sakit semua.
“Sya, kenapa bibir kamu berdarah!”
Hah? Berdarah? Sejak kapan?
“Davi! Udah! Mendingan maneh urusin Tasya, liat dia kasian!”
Davi? Dimana Davi?
Orang yang tengah membelakangiku tadi dan menghajar Kak Rio akhirnya berbalik ke arahku. Aku kembali dibuat terkejut karena sosok tadi adalah Davi. Orang yang berteriak, orang yang sedang menghajar Kak Rio, adalah Davi. Davi? Orang yang paling baik dan ramah satu SMA Bina Dua itu kini sedang berkelahi!
Davipun kini menghampiriku. Samar-samar kulihat wajahnya yang sudah penuh dengan keringat dan tatapan matanya yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Ia sedikit mengusap sudut bibirku yang terasa perih.
“Kita ke UKS ya,” katanya lagi membuatku kembali berdebar. Bahkan di saat gentingpun aku masih saja bisa berdebar karenanya.
Dan yang lebih gilanya! Davi mengangkatku ala bridal style. Membuatku menyembunyikan wajahku di tubuhnya.
Malu! Sangat! Bahkan rasa sakit tadi kini bercampur dengan rasa malu juga degup jantungku yang bekerja lebih cepat dari biasanya.
~KALA SENJA~
Aku tak mengingat apa yang terjadi saat Davi membawaku ke UKS. Yang kuingat saat Dokter menyuntikkan sesuatu padaku, seluruh tubuhku merasa mati rasa dan aku merasakan kantuk luar biasa hingga jam sekolah hampir selesai.
Sekarang sudah pukul 11 siang saat aku terbangun. Entah obat bius yang diberikan padaku terlalu kuat, atau akunya saja yang doyan tidur.
“Udah bangun,” kata Bu Dina yang sedang duduk di belakang mejanya. Beliau adalah Dokter yang biasa menjaga di Ruang UKS.
“Iya Bu,” kataku.
“Masih kerasa sakit gak?”
“Udah lumayan Bu. Cuma pusing sama mualnya masih sedikit kerasa.”
“Anak jaman sekarang tuh gak kenal cowo atau cewe, maennya kasar. Untung aja kamu gak kebentur keras banget.”
Aku hanya tertawa renyah.
“Nanti kamu istirahat aja beberapa hari di rumah. Kata temen-temen kamu, nanti mereka yang anterin kamu pulang.”
“Iya Bu. Makasih.”
Aku menikmati siang itu dari balik kaca jendela yang langsung mengarah pada lapangan sekolah yang senggang itu hingga bel pulang berbunyi dan semua siswa keluar kelas dengan sangat antusias. Aku melewatkan satu hari sekolahku dengan berbaring di ruang UKS.
Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi pagi. Apa Davi baik-baik aja ya? Apa dia kena masalah gara-gara aku ya?
Tak lama ketiga sahabatku itupun masuk ke dalam ruang UKS dengan hebohnya sambil membawa tasku.
“Kamu masih sakit?” tanya Citra yang terlihat khawatir.
“Bagian mana yang sakit?” tanya Mia tak kala hebohnya.
Sementara Prisil hanya menatapku dan membawakan tasku. “Aku udah hajar dia,” katanya.
Membuat kami bertiga melongo.
“Maneh teh preman?” komentar Mia.
“Habisnya dia kurang ajar sih,” bela Prisil.
“Udahlah. Udahan ini kan berantemnya,” kata Citra menengahi.
“Aku juga baik-baik aja kok. Cuma sakit sedikit,” kataku berbohong.
Kami semua kompak menghembuskan napas. Semua yang terjadi hari ini memang tidak ada yang memprediksinya. Tapi, akhirnya kami menyadari kenapa Prisil begitu tidak sukanya dengan Kak Rio. Benar kata Davi tadi, Kak Rio memang brengsek.
“Kalau nanti kejadiannya kayak gini lagi, kamu panggil aku. Seenggaknya aku udah biasa berantem sama orang,” kata Prisil. “Aku kaget tau, Sya!”
“Iya, iya. Aku juga minta maaf.”
Lalu selanjutnya, Davi pun masuk ke dalam ruang UKS dan menghampiriku, membuat ketiga sahabatku itu mundur teratur agar Davi bisa dengan mudah menghampiriku.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Entah perasaanku atau tidak, rasanya suara Davi begitu dalam dan hangat. Tidak seperti biasanya.
“Aku udah mendingan,” jawabku singkat.
Duh! Lagi-lagi hatiku dibuat tak menentu karenanya.
“Aku anter pulang ya,” tawar Davi.
“Gak us-”
“Boleh!” Citra dan Mia tiba-tiba saja menyela ucapanku.
“Tasya belum bisa jalan dengan bener,” kata Prisil ikut-ikutan.
“Oh, ya udah kalau gitu. Aku anter kamu pulang ya.”
Lagi! Davi membantuku turun dan ranjang dan merangkul pinggangku erat. Sementara ketiga sahabatku hanya memandangi apa yang dilakukan Davi padaku. Kulihat sekilas ketiga sahabatku mengulum senyumannya. Membuatku sedikit salah tingkah dan mengalihkan pandanganku.
Tinggiku hanya sebahunya Davi. Laki-laki itu terbilang tinggi diantara anak laki-laki seusianya. Ini pertama kalinya dalam seumur hidupku, aku bisa begitu sangat dekat dengan Davi. Wajahnya yang tegas seperti sengaja dibuat Tuhan begitu sempurna untuk bisa kunikmati. Juga wangi khas tubuhnya yang mungkin suatu hari akan menjadi wangi favoritku. Ditambah rangkulan tangannya di pinggangku, membuatku semakin salah tingkah dibuatnya.
Juga semakin meyukai dan menjadi egois untuk memilikinya lebih dan lebih.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas