Hai....
Perkenalkan, aku author baru disini. Dan ini adalah cerita pertamaku. Terimakasih untuk mau membaca karya pertamaku. Maaf jika masih banyak kekurangan, semoga bisa sedikit menghibur teman-teman. Jangan lupa kritik dan saran ya (>,<)
Happy Reading!!!
.
.
.
.
Senja boleh saja menjadi pembatas antara siang dan malam, meski terlihatnya sesaat, namun senja sanggup menjadi saksi bisu bagaimana kisahku semasa SMA.
Perkenalkan, namaku Tasya, aku kini berada di kelas dua SMA Bina Dua, salah satu sekolah swasta yang cukup terkenal di kotaku. Sekolahku ini terkenal karena sebagian besar siswanya berasal dari keluarga yang cukup terpandang juga berpengaruh. Dan sebagian lainnya adalah siswa dengan segudang prestasi atau sekedar beruntung saja sepertiku.
Karena lingkungan sekolah yang 180 derajat berbeda dari saat aku SMP, aku menjadi pribadi yang tertutup juga kurang menonjol. Aku sempat membayangkan bahwa cerita mengenai Upik Abu versi anak sekolahan memang benar terjadi. Nyatanya, justru aku memiliki sahabat-sahabat yang tidak peduli dengan siapa mereka berteman. Dan itu adalah salah satu hal yang teramat aku syukuri.
Seperti anak-anak sekolah lainnya, bukan cuma persoalan teman, tapi pacar pun menjadi topik utama yang sering dibicarakan oleh kami. Aku memang tak pernah membayangkan akan kisah cinta yang indah saat masa putih abu. Hanya sekedar memiliki sahabat saja aku begitu banyak bersyukur, soal punya pacar? Mungkin jika sekedar mengagumi dari jauh, tentu saja ada.
Namanya Davi. Laki-laki yang 180 derajat berbanding terbalik denganku. Dia terkenal karena mudah bergaul, ramah pada siapapun, jago bernyanyi, dan sangat baik hati. Dia bukan badboy seperti tokoh-tokoh dalam novel favoritku, dalam hal pelajaran pun dia terbilang biasa saja. Dia hanya berbeda dariku jika dilihat dari sifat kami masing-masing. Aku hanya ingin seperti dirinya, yang selalu peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak sepertiku.
Davi itu laki-laki ekstrovert, dan aku hanya salah satu perempuan introvert pengagum rahasianya.
~KALA SENJA~
Di hari pertamaku duduk di kelas dua. Hal yang menyenangkan justru kembali terjadi. aku, dan ketiga sahabatku kembali berada di kelas yang sama.
“Yah~ kalian lagi. Bosen!” protes Citra.
“Serius bosen ya? Aku mau minta pindah ke IPS nih,” ancam Mia.
“Kalian balik gih ke IPS. Aku gak mau dengerin ocehan kalian mulu. Berisik!” protes Prisil.
Sementara aku hanya bisa tertawa mendengar sindiran sahabat-sahabatku itu.
“Udah, duduk yuk!” ajakku.
Aku duduk bersama Prisil, sementara Citra dan Mia yang notabene selalu berisik itu berada di depan kami.
“Serius, Sya? Si duo cerewet itu di depan kita?” tanya Prisil meyakinkanku.
Aku mengangguk. “Duduk di barisan ke tiga itu tempat yang paling strategis, Sil. Di tengah-tengah,” jawabku.
“Biar gak sering di tunjuk guru?”
“Iya, betul!”
Aku dan Prisil pun melakukan tos karena pilihan tempat duduk strategis ini.
“Kalau Mia sana Citra ribut kan gak terlalu kedenger juga sama kita,” kataku.
Prisil kembali menyetujui pendapatku.
Prisil ini merupakan perempuan yang terlihat dingin di luar, namun jika kita sudah mengenalnya, dia termasuk teman yang sangat peduli pada orang lain. Prisil juga sering sekali melerai pertengkaran kami dan menjadi ‘orang yang di tuakan’ karena sikapnya yang lebih dewasa di bandingkan kami bertiga. Tapi, jangan pernah membuatnya marah atau kau akan tahu sendiri akibatnya.
“Bukannya si Citra mau masuk IPS ya?” tanya Mia yang sudah membalikkan posisi duduknya hingga menghadap ke arah mejaku dan Prisil.
Citra yang masih membuka-buka tasnya itu sedikit mendorong tubuh Mia yang tidak berefek apapun.
Mia sendiri termasuk perempuan yang manis. Dia selalu asyik diajak berdiskusi atau bahkan melakukan hal-hal konyol sekalipun. Ia tak pernah menganggap dirinya manis, justru perilakunya lebih tomboy diantara kami. Jika Mia sedang protes atau marah, biasanya logat kental Sundanya itu pasti akan keluar, tapi orang-orang yang mendengarnya justru merasa lucu.
“Ia, bukannya kamu juga mau masuk IPS? Kenapa nongol di sini?” tanya Citra pada Mia yang akhirnya ikut berbalik ke arah mejaku dan Prisil.
Citra menurutku satu-satunya orang yang paling tajir diantara kami. Saat masa orientasi dulu, dia bahkan membuat heboh satu angkatan karena membawa mobil pribadi ke sekolah, sementara saat itu usia kami masih belum memiliki SIM. Akan tetapi Citra tak mempedulikan, ia juga tidak ikut ‘geng tajir’ di sekolahku. Justru orang yang paling konyol, apa adanya, dan pemburu diskon adalah Citra.
“Gak jadi. Aku maksa Bu Ayas, katanya aku gak cocok masuk IPS. Puguh urang teh hoream ngotret, nyak!” kata Mia dengan logat Sunda khasnya. Atau yang artinya ‘Padahal kan aku malas ngitung, ya!’.
Aku dan Prisil hanya tertawa mendengar ocehan Mia. Lalu, tiba-tiba Prisil menyikutku pelan, mengisyaratkan agar aku melihat ke arah pintu masuk kelas.
Pandanganku tertuju pada seseorang yang baru saja masuk kelas dan menyapa teman-teman yang memanggil namanya. Orang itu berjalan ke arah kami dan menyimpan tasnya di samping Mia. Sementara Mia duduk tepat di depanku. Saat itu kami semua bungkam ketika orang tersebut melihat ke arah kami dan tersenyum dengan senyuman khasnya.
“Hai, Tasya. Kita sekelas ternyata,” sapanya padaku.
Tasya katanya? Dia tahu namaku. Seorang Davi tahu nama siswa biasa sepertiku. Lalu dia menyapaku. Aku? Seorang Tasya?
Rasanya aku seperti di terbangkan begitu tinggi pagi itu.
“H-hai,” sapaku gugup.
“Kalian dulu sekelas kan?” tanya Davi.
“Mia mengangguk. “Iya. Sekarang juga. Kita gak akan terpisahkan sampai maut menjelang, kok!”
“Hahaha…. Seneng ya bisa satu kelas lagi,” kata Davi.
“Eh Si Davi.” Seseorang duduk di samping Davi, belakangan kuketahui bernama Raka. “Jeung maneh deui gening,” katanya atau artinya ‘Sama kamu lagi ternyata’.
Setelah itu Prisil menyikutku dan tersenyum menggodaku.
“Apa?” tanyaku tanpa bersuara.
“Fokus ya, Sya. Jangan salah fokus. Sampe kelas tiga loh kita,” jawab Prisil sekecil mungkin namun masih bisa terdengar olehku.
Sementara aku hanya menggelengkan kepala dan menatap ke arah lain karena malu. Jantungku sudah berpacu seperti pacuan kuda. Sangat kencang tidak seperti biasanya. Tapi sepertinya aku diberi kesempatan untuk bisa memandang Davi lebih dekat lagi.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas