Hai...
Ini adalah seri terakhir dari spin-off Kala Senja. Aku gak tau apakah temen-temen cukup penasaran dengan perasaan Davi sendiri, atau justru sudah menduga sejak awal Davi memang terlihat sudah menyukai Tasya? Bahkan aku sebagai penulisnya pun penasaran dengan perasaan Davi sebenarnya seperti apa sih hahaha...
Tapi, mungkin jika sebagian besar cinta bertepuk sebelah tangan itu memiliki akhir yang pahit, namun tak sedikit pula yang berbalas. Sebenarnya sangat sederhana untuk mengetahui apakah ia yang kau cintai pun mencintaimu juga, katakanlah. Katakan walaupun efek setelahnya bisa menyakitkan, atau beruntung jika menyenangkan, tapi percayalah, hanya menduga dan memikirkan hal yang tidak pasti adalah waktu paling tidak mengenakkan.
So, selamat menikmati jenis cinta yang kau miliki. Doaku hanya satu, semoga kau baik-baik saja dengan itu semua. Dan terima kasih untuk yang baca spin-off ini, sebenarnya hanya keisenganku disela-sela waktu kerja. Dan karena akhir-akhir ini pekerjaanku cukup padat, aku memutuskan untuk hiatus sejenak, sambil menampung rindu untuk menulis kembali.
Selamat membaca, dan salam hangat.
SR
.
.
.
.
Kami berjanji bertemu di Taman Lansia ketika sore hari menjelang Magrib. Setelah pulang sekolah, aku membantu tim padus untuk acara dua minggu lagi. Sehingga aku tidak bisa mengantar Tasya pulang. Lagipula dirinya memang pergi sebentar bersama teman-temannya itu.
Tasya sudah berada di taman tersebut beberapa menit lalu, aku baru sampai dengan masih mengenakan seragam sekolahku. Wajahnya terkejut melihatku yang masih belum pulang ke rumah itu.
“Aku kira Davi udah pulang,” katanya.
“Belum kok, tadi latihannya emang agak lama. Acaranya tinggal dua minggu lagi,” jawabku.
“Tau gitu aku gak usah minta ketemuan ya? Pasti Davi capek.”
“Gak masalah, aku kuat kok. Harus selalu kuat buat Tasya.”
“Hahaha…”
“Oh ya, ada apa, Sya?” tanyaku.
“Makasih bukunya,” jawabnya dengan senyuman khas.
“Kok tau itu dari aku sih? Padahal udah diam-diam.”
“Tau dong, aku ini peramal.”
“Bisa ramal masa depan aku sama pacar aku gak?”
“Emm… Kayaknya sih bakal bahagia sampe 90 tahun lamanya.”
“Kok 90 tahun? Gak bisa selamanya ya?”
“Selamanya itu ketika di surga katanya.”
“Hahaha…”
“Aku juga bisa ramal kalau pacar Davi seneng banget bisa buat Davi ketawa kayak gitu.”
Kali ini, aku yang dibuat malu oleh setiap ucapannya.
“Aku harus apa buat balas hadiah dari Davi?”
“Kenapa harus di balas segala? Bukan pesan kok.”
“Tapi masa Davi terus yang buat aku seneng?”
“Tasya yang selalu manggil nama aku aja udah buat aku seneng.”
Ia tertawa kecil.
“Mau makan sate?” tawarku. “Di deket sini ada yang jualan sate enak.”
“Yuk!”
Obrolanku dengannya tak pernah merasa sepi atau kehabisan topik. Setiap bersamanya, ada saja yang kami bicarakan, ada saja yang selalu membuat kami saling menggoda satu sama lain seperti penyair amatiran. Tapi menurutku itu romantis, segala hal yang menyangkut Tasya di sepanjang jalan Bandung itu tidak pernah membosankan.
Kadang kami membicarakan perihal penulis-penulis favorit kami, terkadang kami membicarakan kudapan pendamping sate, nasi atau lontong. Terkadang kami juga membicarakan diri kami masing-masing, dan terkadang Tasya masih menanyakan kenapa aku bisa menyukainya.
Hal apa yang mendasari seseorang bertanya tentang alasan jatuh cinta, sesungguhnya, aku tidak bisa menjawabnya dengan benar atau menuturkannya dengan akurat. Perasaanku hanya berkembang begitu saja tanpa kusadari, tahu-tahu aku hanya takut kehilangannya, itu saja.
Besoknya di sekolah ada pelajaran olahraga siang nanti, aku datang seperti biasanya, tidak sepagi kemarin karena sesungguhnya, malam tadi aku tidur nyenyak sekali, entah karena sibuk seharian, atau kekenyangan makan sate, atau karena senang bertemu Tasya lebih lama, entahlah.
Sudah ada banyak orang di dalam kelas, seperti rutinitas biasaku, satu per satu dari mereka menyapaku hingga aku benar-benar duduk di kursiku sendiri. Tas Raka masih belum tersimpan di sampingku, aku tahu jika akhir-akhir ini Raka cukup sibuk dengan pacarnya itu, sampai jarang sekali membalas pesan di grup chat.
Tanganku menyentuh sesuatu di bawah meja dengan tumpukan buku-buku pelajaranku sendiri. Aku menarik benda berbentuk kotak namun lebih berat dan tebal dari buku pelajaran. Aku terkejut melihat sebuah kotak bekal plastik berwarna biru muda tersimpan rapi di bawah mejaku. Aku mengintip sedikit isi di dalamnya, ada roti isi rumahan, sosis berbentuk gurita, potongan wortel dan brokoli, juga ada sebungkus kecil kue kering berbentuk bintang dengan topping coklat di sisinya. Di atas kotak bekal itu ada sebuah memo kecil yang langsung kutahu siapa pengirimnya.
Aku ramal hari ini ada pelajaran olahraga dan pasti capek. Makan yang banyak, aku juga bisa buat Davi bahagia.
Aku segera mengirim pesan pada peramal tersebut.
'Suka.'
Lalu ia menjawab.
'Suka apa?'
'Suka Tasya.'
'Lah???'
'Hahaha… Makasih bekalnya.'
'Kok tau itu dari aku? Padahal udah diam-diam,' katanya persis seperti yang kukatakan kemarin, hanya bentuknya sebuah pesan elektronik.
'Pacarku peramal. Mau diramal gak?'
'Hahaha… Mauuu… soal aku sama pacarku.'
'Pacarku bilang, katanya Tasya bakal ketawa sekarang.'
'Hahaha…'
'Terus bakal lihat ke arah pacarnya.' Aku pun memalingkan pandanganku dan melihat ke arahnya, Tasya pun tersenyum kecil ketika melihat ke arahku.
“Makasih,” kataku sepelan mungkin namun bisa dipahami oleh Tasya.
Kemudian Tasya memberi sinyal agar aku melihat ke arah ponselku sendiri. Di sana sudah muncul satu pesan yang belum aku baca.
'Tolong sampein ke si peramal, bilangin aku sayang pacarku.'
Tasya, harus berapa banyak kamu menjatuhkanku dan menarik kupu-kupu untuk terbang dan menggelitik hingga sampai hatiku? Tolong, aku tidak sekuat itu perihal mencintaimu terus menerus. Tapi, terima kasih, kau selalu mengindahkan dua puluh empat jam hidupku.
-END-
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas