Thank you 5000, guys!
Gak kerasa KALA SENJA udah nyampe 5000 pembaca. Terima kasih ya untukmu yang tak kuketahui siapa, tapi terima kasih. Sebagai rasa terima kasihku, ada beberapa cerita tambahan Kala Senja, stay tune ya! Boleh kok klik loncengnya biar gak ketinggalan up date-an.
Once again, Thank you and I love you, 5000
Cheers,
SR
.
.
.
.
“Liat ini deh! Diam-diam Citra motoin Davi yang lagi duduk. Aku suka ini.”
Sekali lagi Tasya mengomentari setiap lembar-lembar foto yang memunculkan sosokku di dalamnya. Halaman demi halaman ia buka dengan riang. Kondisi yang tak pernah aku mimpikan sebelumnya. Perhatianku justru terpaku pada perempuan yang tiga hari lalu menjadi pacarku.
Aku kembali menampilkan senyuman andalanku tak kala Tasya kembali berkomentar sembari memandang ke arahku.
“Aku juga suka Davi yang lagi pegang helm,” katanya lagi.
Kini perhatianku kupusatkan pada sebuah foto di mana Tasya baru saja turun dari vespaku.
“Aku justru suka yang ini,” kataku menunjuk foto yang menjadi perhatianku sekarang. “Aku suka senyum Tasya yang kayak gini.”
Kulirik sekilas Tasya tersenyum malu.
“Ini sih foto favoritku.”
“Favorit?”
“Iya. Gara-gara foto ini, aku punya nyali buat menata niatanku sejak awal. Kalau aku mau bilang perasaanku sama Davi.”
Aku diam mendengarkan penuturan Tasya yang tengah malu-malu seperti itu.
“Kan aku pernah bilang, waktu Pensi kemarin, tadinya aku mau nolak perasaan Kak Edgar. Alasannya karena foto ini. Coba kalau aku gak pernah liat, mungkin aku bakal lupa perasaan berdebar saat berboncengan dengan Davi.”
Tasya kemudian tersenyum. Ia kembali membalikkan halaman album foto milik Citra.
“Harusnya aku gak nahan kamu waktu Pensi,” kataku.
“Loh kenapa?”
“Aku mengacaukan persiapan Tasya. Berat kan buat mempersiapkan perasaan untuk mengatakannya pada orang yang kita suka.”
“Hahaha…. Gak apa-apa kok. Toh udah kelewat juga. Lagipula, rasanya justru kayak keajaiban aja Davi bisa suka sama aku.”
Tasya, sesungguhnya ini bukan keajaiban. Melainkan usaha kerasku mendapatkanmu, dengan caraku sendiri, biar kamu yang menikmati hasil akhirnya.
“Ngomong-ngomong, kenapa Davi bisa suka sama aku?” tanya Tasya membuyarkan pikiranku.
“Hm? Yang jelas sih lebih lama dari perasaan Tasya ke aku,” jawabku.
“Itu gak menjawab apapun, Davi.”
“Hahaha…. Kenapa ya aku bisa suka sama Tasya?” tanyaku pada diri sendiri. “Karena Tasya bukan Milea.”
“Hm?”
“Yaa, kalau Tasya itu Milea, sainganku berat, Dilan. Aku sih udah kalah duluan.”
“Hahaha….”
“Walaupun Tasya bukan Milea, tapi ketawanya juga bagus kok!”
“Hahaha….”
“Udah jangan ketawa.”
“Kenapa? Kan lucu.”
“Nggak. Nanti banyak yang suka sama Tasya. Aku capek ntar cemburu terus.”
Kini Tasya hanya menunjukkan cengiran khasnya.
Jika dipikir-pikir. Rasanya aku tidak percaya jika sudah memendam perasaanku padanya lebih dari satu tahun, dan hal itu tidak berubah sama sekali, bahkan justru semakin menguap hingga memaksa untuk keluar dari permukaannya. Hingga tak lagi bisa tertampung kemudian menjadi orang gila yang egois untuk mendapatkan perempuan ini untukku seorang.
Aku yang tidak pernah berani ini, entah kenapa menjadi orang asing kala itu. Apa benar ini yang dinamakan kekuatan cinta? Jika benar, ia sungguh membuatku seperti orang aneh saja!
“Oh iya, Davi tau Jojo Moyes?” tanya Tasya.
“Penulis buku Me Before You?” tanyaku.
“Iya. Katanya sih film Me Before You udah tayang. Nonton yuk?”
“Kapan?”
“Jumat?”
“Boleh.”
“Eh, tapi Jumat aku udah janji bakal ngerjain tugas bareng Adi.”
“Berdua?”
“Iya. Soalnya Prisil gak mau.”
“Gak boleh!”
Tasya menautkan kedua alisnya terkejut karena ucapanku yang sedikit membentaknya.
“Lebih baik aku ikut.”
“Kenapa?”
Aku diam seketika. Meski pun Adi kini dekat dengan teman Tasya bernama Prisil itu, tapi rasanya cemburu itu masih tetap ada. Ah! Siapa pun laki-laki yang bersama Tasya selalu membuatku tidak percaya diri. Sebab aku tidaklah sempurna.
“Aku pernah cemburu sama Adi,” jawabku kemudian.
Yang terjadi, Tasya justru tertawa cukup puas, aku pun menunduk malu.
“Kenapa sih Davi jadi keliatan gak percaya diri gitu? Lagian aku gak seterkenal itu kok sampe banyak orang yang suka sama aku,” kata Tasya seolah mencoba meyakinkanku.
Tapi di mataku, Tasya terlalu sempurna untuk ukuran perempuan SMA. Dia ramah, baik, apalagi senyumannya selalu membuatku jatuh cinta. Tentu saja aku menjadi pecundang yang selalu ketar-ketir karena memiliki perempuan seperti Tasya.
“Karena Tasya terlalu sempurna buat aku,” jawabku setulus mungkin.
Mataku tepat menatap dua bola mata hitam miliknya. Seperti ada muara segar di tengah gurun pasir, tatapannya selalu menyejukkan dan menenangkan.
“Aku jadi ketakutan sendiri dibuatnya.”
Lalu kemudian, ada seulas senyum manis yang menjadi candu bagiku sendiri.
“Davi harus percaya diri, karena aku sukanya cuma sama Davi doang. Gak ada yang lain.”
Tatapannya meneduhkan, senyumnya melegakan, tutur katanya menenangkan. Semua definisi tentangnya hanya soal bagaimana sesederhananya aku yang selalu jatuh cinta padanya. Akan, dan selalu.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas