Mobil itu telah berjalan jauh dari toserba. Menyusuri jalanan kota yang seakan tidak ada matinya walau malam sudah semakin larut. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi, dikemudikan oleh orang yang Dae-Mi tabrak tadi, dan kini Linda tengah bersama empat lelaki bermasker yang sama sekali ia tidak kenal.
Semakin jauh mobil menyusuri jalanan yang masih ramai, hingga tanpa sadar mobil telah berada disebuah daerah yang tidak terlalu ramai seperti tadi, namun nampak masih banyak pertokoan pinggir jalan yang masih menunggu pelanggan. Hingga mobil berhenti didepan sebuah ruko yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Terletak ditengah deretan ruko lainnya yang masih dengan semangat meladeni pembeli. Yup, ruko itu tepat diantara restoran Jepang dan toko panganan malam.
Sebelum Dae-Mi sempat membaca papan nama toko tersebut, Linda sudah buru-buru mengikuti Dae-Mi yang digendong lelaki tadi memasuki ruko itu. Kekhawatiran semakin meluap di bain Linda ketika ia memasuki ruko yang memiliki koridor yang cukup gelap. Berbeda sekali dengan pemandangan yang ia lihat di luar tadi. Sepi, bahkan yang terdengar hanya langkah kakinya, lelaki yang menggendong Dae-Mi, dan Lelaki yang ditabrak Dae-Mi. Dua lelaki lainnya memilih tetap didalam mobil, untuk alasan keamanan katanya.
Dae-Mi masuk ke dalam ruang praktek fisioterapis. Kekhawatiran Linda sudah banyak berkurang setelah mengetahui, sahabatnya Dae-Mi diperiksakan ke fisioterapis. Linda menunggu bersama dua lelaki. Dengan atmosfer yang teramat sangat terasa sesak bagi Linda. Sangat sesak, walaupun pada kenyataannya ruang tunggu itu terbilang luas untuk 3 orang. Sesekali jeritan Dae-Mi terdengar dari dalam. Wajah Linda pucat.
“Tak apa, memang seperti itu kalau kita melakukan fisioterapi, tapi hasilnya luar biasa. Ini adalah fisioterapis langganan kami, kami biasa datang kesini. Tenang saja, tidak usah khawatir,” perkataannya menjawab pertanyaan Linda yang tak mampu keluar dari batinnya, hanya terjubel disana.
“Jisung Hyung!” pekik seseorang muncul dari koridor yang gelap, memunculkan dirinya dengan alis yang turun dan dikernyitkan.
“Ssstttt!!” seketika lelaki yang menggendong Dae-Mi langsung membungkam mulut dia, terlihat membungkam dengan sangat kuat. Lelaki itu hanya mengangguk, lalu dilepaskannya bungkamannya secara perlahan, anggukannya mengisyaratkan Ayo bicara!
“Kita sudah menjadi buron! Kita harus segera ke markas! Cepat!”
Apa? Buron? Markas? Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku bisa sejauh ini bersama mereka? Dan mereka bilang mereka buron? Oh Tuhan! Apa yang sedang terjadi?
Linda nampak sangat tak tenang, semakin tidak tenang ditiap detiknya. Berharap Dae-Mi segera keluar dan lari dari tempat itu.
“Maaf, boleh kutanya rumahmu dimana? Kami ada urusan mendadak, dan sepertinya kami tidak bisa menunggui sampai temanmu selesai. Tenang saja, untuk biaya fisioterapi, sudah aku berekan, untuk kalian pulang, aku pesankan taksi, dan kalian hanya perlu mengatakan rumah kalian, taksi aku yang bayar.” Lelaki yang Dae-Mi tabrak tampak sibuk mengutak-atik ponselnya, memesan taksi untuk mereka. Linda tak tahu apa yang harus iya katakan lagi selain terimakasih. Bukannya tidak mau menolak, tapi instingnya mengatakan inilah yang terbaik.
Setelah memberi tahu alamat apartemen Dae-Mi dan Linda, mereka pamit untuk segera kembali. Linda masih terus berpikir siapa sebenarnya mereka? Atas dasar apa mereka melakukan kebaikan sejauh ini kepada orang yang tidak mereka kenal? Apa motif mereka? Apakah mereka benar-benar buronan? Dan mengapa mereka semua mengenakan masker?
***
nice story :)
Comment on chapter Prolog