Mereka adalah remaja ababil. Cinta menjadi hal yang biasa untuk mereka. Putus nyambung putus lagi nyambung lagi tanpa alasan yang jelas membuat banyak orang menggelengkan kepala melihatnya. Hanya satu alasan saja yang menurut banyak orang menganggapnya lebay, itu cinta. Ah memang, masa remaja adalah yang terindah.
"Kenapa kamu mesam-mesem kayak gitu, kamu nggak gila kan Fin?" Ia sedikit terkejut saat melihat sahabatnya membawa setumpuk makanan ringan. Tapi kemudian tertawa kecil saat mengingat hal itu sudah biasa.
"Kamu beli banyak banget, kebiasaan deh Kai" tegurnya yang sama sekali tidak ditanggapi oleh gadis yang sedang membuka bungkus salah satu makanan yang dibawanya.
"Oh ya Fin, Ikhwan kemarin ganteng banget ya" walau matanya menerawang, tangannya masih saja memasukkan Snack ke mulutnya yang hampir meneteskan air liur. Gadis dihadapannya merona malu mengingatnya dan secepat mungkin merubah ekspresinya. Untung saja sahabatnya tidak mengetahui.
"Jorok, kalo makan ditutup mulutnya, jangan mengecap" lagi-lagi hanya ekspresi masa bodoh yang ditunjukkan sahabatnya.
"Dia cocok deh sama kamu Fin" ia hampir saja tersedak air liurnya sendiri saat ucapan keramat baginya meluncur dari mulut sahabatnya. Ia merutukki jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat.
"Oh ya Kai, aku pergi dulu ya, ada pengajian lagi" ia segera membereskan barang yang dibawanya.
"Jangan pengajian mulu Fin, cari cinta para ikhwan sana" ledek sahabatnya yang hanya ditanggapi dengan dengusan malas.
"Assalamualaikum" mengakhiri pembicaraan adalah hal yang terbaik baginya saat ini. Ia beranjak dari tempat itu sembari menggelengkan kepalanya heran karena mendapatkan sahabat seperti Kaifah.
"Wa'alaikumsalam"
Langkahnya sebagai mahasiswi pendidikan agama islam menuntunnya menuju sebuah gedung bertuliskan Islamic Center. Khimar biru langitnya berkibar seiring langkahnya memasuki gedung favoritnya ini.
"Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh" salam adalah salah satu cara seorang muslim mengawali sebuah pertemuan. Kedua pembawa acara itu terdiri atas seorang akhwat dan seorang ikhwan dengan jarak berdiri yang cukup jauh.
"Baiklah kajian kita hari ini adalah tentang cinta, dengan narasumber Muhammad Syahdan Elfazath, Lc" tepuk tangan riuh menjadi sambutan kepada seorang lelaki yang berjalan ke podium. Dia adalah lelaki yang sangat dikenalnya. Ditundukkan pandangannya agar paling tidak jantungnya tidak terlalu menggila.
"Bagaimana konsep cinta dalam Islam menurut anda?" Tanya lelaki yang menjadi presenter itu. Wajahnya mendongak menatap wajah tampan lelaki itu yang kini tersenyum manis padanya. Sebenarnya mungkin saja senyum itu bukan untuknya karena ia berada ditengah kerumunan para akhwat. Namun lagi-lagi hatinya yakin.
"Terlalu indah untuk didefinisikan, cinta yang membuat kita berubah jadi lebih baik, dan nafsu yang mengubah kita menjadi lebih buruk dari keledai" tatapan mata mereka terputus ketika ia menjawab pertanyaan dari pembawa acara. Jawabannya membuat kaum hawa meleleh, termasuk ia.
"Wah, lalu apakah anda pernah merasakan keduanya, emm cinta dan nafsu?" Giliran MC perempuan menanyainya dengan jahil. Ia kembali memamerkan senyum ramahnya. Sedangkan sang gadis harap-harap cemas menanti apa yang akan diungkapkan lelaki itu.
"Pernah, waktu remaja, pegangan tangan dan berpelukan adalah hal biasa, tapi suatu peristiwa mengubah segalanya, mengubah pandangan saya"
"Jika boleh tahu, peristiwa apa itu?"
"Kami, ah maksudnya saya dan seseorang pernah dituduh berzina dan hampir dinikahkan, kemudian kami memutuskan mengakhiri hubungan kami, saya dipindahkan ke pondok pesantren waktu itu"
"Siapakah wanita itu?"
"Dia yang mampu menggetarkan hati saya hingga sekarang, yang memotivasi saya untuk lebih dekat pada Allah"
"Apa anda sudah bertemu dengannya sejak kembalinya anda ke Indonesia?"
"Ya, dia cantik dengan khimarnya"
"Apakah anda telah mengungkapkan perasaan anda? Dan bagaimana cara anda mengungkapkannya?"
"Ya, saya mencurahkan isi hati saya pada Allah, semoga saja sampai ke hatinya" ujarnya seraya tertawa. Sebagian akhwat menatap terkesima pada cara lelaki itu menjawab dengan lugasnya seluruh pertanyaan pembawa acara. Seorang gadis meremas tangannya gugup, jantungnya sedari tadi berdetak cepat, hampir pingsan dibuatnya.
Kajian telah selesai 30 menit lalu. Ia menenangkan dirinya disebuah taman. Entah mengapa hatinya menuntun kesini.
"Aku sudah menebak kau ada disini, Ikhfina" bariton itu menyadarkannya. Kembali jantungnya menggila, rasanya ia ingin pergi, tapi tubuhnya menghianati.
"Kau tidak merindukanku? Padahal aku merindukanmu" gadis itu hanya diam sambil meremas gamisnya. Tanpa ia ketahui, lelaki itu tersenyum manis.
"Kau tak ingin memelukku?" Sontak matanya menatap wajah lelaki itu dengan ekspresi tak percaya. Syahdan terkekeh geli, pancingannya berhasil.
"Jangan menatap seolah aku adalah hantu, aku hanya bercanda" tawanya terhenti saat melihat gadis disampingnya mencebik kesal.
"Apa kabar?" Tanyanya memandang lurus hamparan danau didepannya.
"Baik, Alhamdulillah" mereka terdiam, keduanya canggung untuk memulai sebuah percakapan. Hanya suara anak kecil yang berlari riang disekeliling danau itu, di sore yang cerah ini.
"Kau tahu, bagaimana pertemuan kita kembali?" Ikhfina mengerutkan dahinya, berusaha mengingat, namun nihil ia tak mengingat apapun.
"Di Festival Remaja Islam kemarin, yang kamu jadi pembicara, aku jagain salah satu stand?" Fina perlahan mengingat tentang Ikhwan yang diceritakan oleh sahabatnya. Ia mulai menganggukkan kepalanya.
"Aku sedikit terkejut kau ada disana" lanjutnya seraya tersenyum lebar.
"Apalagi aku, bukannya sebelum itu kau ada di Mesir? Sejak kapan kembali?" Tanya Fina ingin tahu, ia menatap wajah lelaki yang masih menatap lurus. Lelaki itu menatapnya menggoda seolah-olah gadis itu merindukannya. Ia yang tahu arti tatapan itu segera memalingkan wajahnya.
"Jangan marah, aku kesini hanya untuk liburan, aku masih punya pekerjaan disana yang harus diselesaikan sebelum pindah kesini" langit sore menjadi saksi pembicaraan mereka untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Fina menganggukkan kepalanya paham.
"Bagaimana kabar mama dan papamu?" Tatapan terkejut lantas berganti tatapan sendu. Ia mengingat kejadian tiga tahun lalu.
"Mama papa udah nggak ada 3 tahun lalu, sehabis berhaji, mobilnya kecelakaan" lantas giliran Syahdan menoleh dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Fina sudah menerima kepergian mendadak kedua orang tuanya.
"Inalillahi wa innailaihi roji'un, maafkan aku" sesal lelaki itu kembali mengungkit sedikit luka dihati Fina.
"Tak apa, mereka sudah bahagia" ia tersenyum tipis meyakinkan bahwa dirinya telah mengikhlaskan kepergian keduanya. Perasaan lelaki itu berkecamuk, ingin melindungi gadisnya.
Pagi ini, mereka berencana mengadakan bakti sosial sekaligus sosialisasi kepada remaja. Dimulai dari jalanan hingga ke sekolah-sekolah. Semua merasa antusias dengan acara tersebut. Tak terkecuali lelaki yang duduk bersimpuh disebuah masjid, memandang indah ciptaan Allah yang masih bersemangat melayani para donatur.
"Ente ngelihat siapa? Zana atau Fina?" Sapa seorang kawannya di Indonesia ini. Syahdan tergagap malu karena ketahuan mencuri pandang pada seorang akhwat.
"Ane tidak menatap siapapun" kilahnya bohong. Ia pun berulang kali mengucapkan istighfar dalam hati karena dustanya. Teman lelakinya mengangguk dan segera pergi. Entah ia percaya atau tidak, Syahdan tak peduli. Ia beranjak menuju ke tempat gadis itu berada. Ia semakin bersemangat saat semakin dekat dengannya. Tapi tiba-tiba ada seorang lelaki yang menghampiri Fina terlebih dahulu. Ia akan beranjak pergi sesaat sebelum gadis yang cantik dengan khimar merah muda itu memanggilnya.
"Alwan, ini Syahdan kawanku" ujarnya saat ia telah mendekati kedua insan beda kelamin itu.
"Dan Syahdan, ini Alwan, te-" ucapan Fina terpotong oleh lelaki yang bernama Alwan.
"Calon tunangan Ikhfina" Alwan tersenyum tulus. Namun berbeda dengan keadaan Syahdan yang menatap Fina terkejut. Jantungnya serasa diremas tak beraturan. Sedangkan gadis itu menatap Syahdan dengan perasaan bersalah, sama sakitnya dengan lelaki yang ia cintai.
"Ehemm, maaf aku pergi dulu Fin, ada urusan, Assalamualaikum" langkah kakinya terasa berat. Ulu hatinya tertimpa sesuatu yang tidak terlihat namun membuatnya sakit seketika. Ia mencoba menyibukkan diri dengan apapun yang dapat membantunya melupakan semua yang telah terjadi. Hingga acara itu selesai, menjadi pertanda jika hubungan dan harapan mereka juga telah usai.
Jika kemarin langit sore telah menyatukan mereka, tapi sekarang langit sore adalah saksi hancurnya sebuah harapan. Lelaki itu termenung. Ingin hati menangis, namun entah mengapa tak ada air mata yang keluar.
"Syahdan" suara khas itu membuat ia semakin frustasi. Didengarnya langkah yang semakin mendekat. Ia bersiap menguatkan hatinya.
"Maaf" hanya kata itu yang terucap lirih dari bibir gadis yang dapat dipastikan telah berada dibelakangnya.
"Untuk apa?" Tangannya mengepal, menyalurkan ketidakberdayaannya. Sedangkan Fina menggigit bibirnya gugup.
"Tent-ang wa-wasiat terakhir mama dan papa" akhirnya ia dapat mengucapkan sepatah demi sepatah kata yang bagaikan racun bagi keduanya. Bibir lelaki itu kelu, tak kuasa berbuat apapun.
"Kau tahu? Aku sangat terluka, tapi biarkan semua ini terjadi, kita percayakan takdir" Syahdan menoleh kearah gadis itu. Ia sudah bisa mengendalikan amarahnya.
"Jaga perasaan Alwan, dia juga berhak bahagia, Assalamualaikum" setelah mengucapkan itu, Syahdan memutuskan pergi dan meninggalkan Fina sendiri. Tapi ia tidak benar-benar pergi, melainkan mengawasi gadis itu dari balik pohon. Ia hanya ingin menghindari fitnah. Karena keadaan taman yang sepi disore itu. Tak lama kemudian, gadis itu beranjak pulang dengan raut wajah sedih, bahkan dilihatnya sempat menangis.
Ia termenung dibalik jendela kamarnya, menggenggam erat gumpalan kertas yang menyebabkan ia menangis. Tadi pagi, ia mendatangi rumah lelaki itu. Namun dengan entengnya, lelaki itu kembali ke Mesir. Kata-kata terakhir lelaki itu terngiang di kepalanya, berharap takdir menyatukan mereka berdua.
"Semoga Allah merestui hubungan kita, Syahdan" harapnya dengan mata yang kian lama memejam erat.