Read More >>"> Unforgettable
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unforgettable
MENU
About Us  

“Horeeeeeeee!!!!!”

Teriakan riuh nyaring terdengar tidak jauh dari rumahku. Suara itu berasal dari Sekolah Dasar Cita Buana, yang tak lain dan tak bukan adalah almamaterku 11 tahun silam.Segera kuletakkan segala jenis sayur mayur mentah yang sedang kubersihkan dari sisa-sisa tanah yang menempel dan bahkan ulat mungil yang bersembunyi dibalik pekatnya hijau daun. Aku bergegas menuju ke sekolah yang hanya butuh waktu 1 menit untuk mencapainya. Dari pintu gerbang sekolah itu sudah tercium semerbak kelegaan dari para siswa siswi yang telah menanti jawaban LULUS atau TIDAK selama kurang lebih 2 bulan. Dan sekarang jawaban yang dinanti-nanti itu sudah terpampang jelas di mading. Langkah demi langkah yang kutapaki membuat detak jantungku makin tak karuan, terlebih 1 langkah sebelum aku mencapai 30 cm di belakang mading beralaskan papan tulis hitam itu.

“Bella kamu lulus!” Seru sebuah suara yang sangat kukenal. Suaranya begitu khas dan renyah. Kubalikkan badanku dan menemukan seorang bocah laki-laki sedang tersenyum memamerkan gigi kelincinya. Kala itu aku mengenalnya dengan nama Io, Satrio Pangestu. Aku senang mendengar info yang diberikannya, tetapi aku terlebih senang karena melihatnya berani menyapaku ditengah keramaian seperti itu. Hal yang bahkan Niken, teman sebangkuku tak pernah lakukan. Entah karena alasan apa ia berlaku seolah-olah hanya mengenalku saat di dalam kelas, dan berlagak seperti orang asing di luar kelas. Diusiaku sekarang ini aku menyadari kalau itu adalah sebuah tanda kalau ia tidak ingin berteman denganku. Ia hanya berteman dengan kepolosanku saat itu yang sangat bersedia membuka lembar jawab matematika setiap kali ulangan. Tapi Io berbeda. Ia tidak sama seperti Niken atau Irfan, teman laki-laki yang duduk tepat di belakangku dan selalu mendendang bangkuku dengan kaki kanannya. Begitu aku menoleh kearahnya, ia akan bertanya: “Kakimu kenapa sih?”. Yang kulakukan pada saat itu hanyalah membalikkan tubuhku ke depan, karena bagiku tak ada gunanya menjelaskan pada seorang bocah manja yang menangis meraung-raung hanya karena orangtuanya tidak mau membelikan sepotong es lilin di depan sekolah. Lalu apa jadinya dengan aku yang seperti ini? Sudahlah, lupakan saja. Dan tak lama setelah aku mengacuhkannya, ia menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya, “Pasti malu karena belang kakinya, ya kan? Belang kayak zebra dong, hahaha..” Begitu ujarnya sembari menendang-nendang kembali kursiku. Tidak tahu mengapa, mereka semua menganggapku aneh dan tidak layak untuk dijadikan teman. Atau itu semua hanya perasaanku saja? Entahlah. Yang kutahu hanya satu, tidak ada yang mau berteman denganku secara tulus dan blak-blakan seperti Io.

Sapaan Io saat itu ternyata adalah sapaan terakhir darinya yang kudengar. Bahkan saat acara farewell partypun Io sama sekali tidak terlihat. Kabar burung saat itu mengatakan ia sudah pindah ke Bali bersama ayah dan ibunya. Tapi, mengapa tanpa kata perpisahan?

 

Pertama-tama perkenalkan dulu, namaku Clarissa Amabella. Dari aku sekolah sampai kuliah orang-orang memanggilku Bella. Ya, 11 tahun bergulir bukanlah waktu yang panjang. Waktu bergulir sangat cepat dan sekarang aku sudah tidak lagi berkepala 1. Oktober tahun ini usiaku genap 22 tahun. Jika kamu bertemu denganku dan kamu adalah seorang mahasiswa psikologi, kamu pasti akan langsung tahu tipe kepribadian apa yang melekat padaku. Seorang yang senang menyendiri, hanya berbicara jika ditanya, pemalu, susah bergaul, dan lebih mudah mengungkapkan perasaan lewat tulisan. 100 buatmu yang mengelompokkanku ke dalam perkumpulan orang introvert. Mungkin kamu salah satu mahasiswa psikologi? Well, aku memiliki beberapa teman di jurusan tersebut, dan aku senang mendengar mereka berceloteh panjang lebar tentang ilmu apa saja yang mereka dapat. Sedangkan teman-teman Ilmu Komunikasiku hanya segelintir orang. Namun di fakultasku inilah aku menemukan teman terbaik keduaku. Yang pertama? Kau pasti sudah tahu siapa yang menduduki peringkat pertama. Tapi sudahlah, itu sudah terlalu lama berlalu. Sekarang aku mengenal Mia. Seorang wanita yang akhlaknya serupa dengan rupanya. Berbeda denganku yang introvert, Mia adalah seorang ambievert. Setelah kurenungkan, ia dapat menyatu begitu dekat denganku karena tipe kepribadian yang ia miliki. Secara seorang ambievert dapat dengan fleksibel berinteraksi baik dengan mereka yang extrovert maupun dengan mereka yang introvert.

“Bel, sekelompok sama aku ya.” Mia berbisik di telingaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Tak lama setelah pak Bernard meminta kami berpasang-pasangan, Lia, Ika, Vita, Monic, Guntur, Aryo, Angga, Kevin, dan Krisna serentak menoleh kearah tempat dudukku. Tapi mereka semua tidak mencariku, mereka mencari Mia. Mereka begitu antusias untuk berkelompok dengan gadis campuran Padang-Jawa ini. Tapi Mia sudah lebih dulu memintaku untuk berkelompok dengannya. Entah apa yang ia lihat dari sosok tertutup dan kuper ini. Bahkan untuk menjadi temannya pun terkadang aku merasa minder. Tapi lebih dari itu, Mia menganggapku sahabatnya.

”Kamu yakin ga mau sekelompok sama mereka, Mi?” Tanyaku meyakinkannya.

“Kamu yakin ga mau sekelompok sama aku, Bel?” Kami berdua pun tertawa.

Tugas yang diberikan pak Bernard sudah jelas dan pasti mengenai Presentasi Publik. Sebab itu adalah mata kuliah andalannya disamping Komunikasi Pemasaran Terpadu dan Pemasaran Humas. Tugas kali ini adalah mempresentasikan apa itu Tradisi Retorika menurut berbagai sumber, dan di akhir sumber-sumber yang kita dapat, diwajibkan kita pun turut berpendapat dan berargumen dengan jelas. Aku dan Mia pun menemui kata sepakat kalau Sabtu besok kami akan meet up guna membahas tugas Presentasi Publik ini.

 “Jam 4 ya Bel. See you!” Jawab Mia sembari berlari kecil kearah Pajero merah yang berhenti tepat di seberang kampus. Aku mendongak dan menemukan Om Hadi di balik setir. Kuanggukan kepala dan tersenyum ramah kearahnya. Ia balik tersenyum dan membunyikan pelan klakson mobilnya. “Gadis yang beruntung”, kataku dalam hati.

 

Cafe Numani, 29 Oktober 2016.

Seorang wanita cantik dengan atasan Sabrina, celana kulot hitam, dan tas tribal yang dilingkarkan di bahunya memasuki Cafe bernuansa Jakarta klasik.

 “Kok sendiri Mi? Om Hadi mana?”

“Ayah batal ikut Bel. Beliau cuma titip ini.” Katanya sambil menyodorkan dua voucher makan gratis. Senyumnya yang lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.

“Rejeki ga kemana Bel! Ternyata ayah dapet voucher ini pas launching pembukaan cafe. Pokoknya ga ada kata diet ya hari ini, hahaha.” Mia segera melambaikan tangan, memberi isyarat pada pelayan agar memberikan menu. Kami pun memesan makanan andalan dari cafe ini, roti bakar madu mix greentea, puding buah Numani, filet ayam sereh 2 porsi, dan 2 gelas plump juice.

Setelah menu-menu tersebut datang, Mia berpamitan ke toilet. Namun 20 menit berlalu, ia tak kunjung kembali. Aku pun memutuskan untuk menyusulnya, namun belum sepenuhnya aku berdiri, colekan orang di belakangku membuatku memalingkan badan. Disana kutemukan Mia sedang memegang kue tart dengan lilin mainan yang menguji kesabaran di atasnya, karena tiap kali ditiup akan kembali menyala, begitu seterusnya.

“Happy birthday my beloved sister!!” Serunya yang berhasil membuat pengunjung di lantai satu cafe tersebut menoleh ke arah kami. Aku malu bukan kepalang dan menarik Mia ke kursinya.

“Bel, ngapain malu sih? Today is your day!” Mia menurut dan duduk di kursinya.

“Ayo sekarang tutup mata dan make a wish!” Pintanya masih dengan antusias yang sama. Segera kupejamkan mata dan mengucap doa singkat. Lebih tepatnya ucapan syukur karena aku boleh mengenal teman seperti Mia. Setelah itu kubuka mata dan meniup seluruh lilin itu sampai nafasku tersengal-sengal. Mia tertawa puas melihat aku kehabisan nafas.

“Aku ada sesuatu buat kamu. Buka gih.” Masih dengan sisa tawanya Mia menyodorkan hadiah itu kearahku.

Aku membukanya perlahan dan menemukan stoking berwarna salem. Dibalik stoking itu ada sepucuk kartu ucapan. Belum sempat aku membaca kartu itu, Mia menanyakan hal yang menjadi rahasiaku selama bertahun-tahun.

“Bel, kenapa sih kamu suka banget pake stoking kemana-mana?” Mia menanyakannya dengan wajah polos. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagetku. Tapi entah mengapa aku ingin ia tahu yang sebenarnya.

“Aku menutupi bekas- bekas luka di betisku. Dulu ayahku sering memukulku dengan batang besi, Mi.” Mataku berkaca-kaca saat mengatakannya.

“Hah?? Karena apa? Alasannya apa Bel???” Tanya Mia begitu kagetnya.

“Semua bermula dari kepolosanku mengadu pada ibu kalau aku melihat ayah bersama perempuan lain. Saat itu usiaku baru 8 tahun dan aku selalu berkata apa adanya pada ibu. Puncaknya saat ibu melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau ayah membawa wanita itu ke rumah. Ibu marah besar dan pergi. Selama ibu pergi itulah aku menerima KDRT dari ayah. Ayah menuduh akulah penyebab dari kepergian ibu. Beruntung semua terhenti karena ibu kembali dan membawaku tinggal bersama bibi. Tapi luka-lukaku tak bisa kusembunyikan, maka sejak kelas 4 SD aku selalu memakai stoking sampai sekarang ini. Luka-luka itu terlalu sakit jika aku melihatnya, terlebih perkataan ayah sewaktu aku keluar dari rumah bersama ibu, “Pergi saja sana kau anak sial. Mulutmu begitu liar dan bapak menyesal punya anak seperti kau!” Aku berpikir kesalahan apa yang telah kubuat? Apakah benar setiap kata yang keluar dari mulutku menyebabkan sial? Beberapa tahun kemudian ibu di panggil pulang Tuhan, tepatnya saat aku mulai menapaki masa putih biru. Sejak saat itu aku hanya tinggal berdua dengan bibiku yang tidak menikah. Aku menjadi anak yang sangat pendiam. Sebisa mungkin aku tidak berbicara dan bergaul dengan orang-orang karena aku takut membawa sial pada mereka.” Aku menjelaskan itu semua dengan air mata yang terus bergulir di pipiku. Mia menggeser tempat duduknya ke sebelahku, memeluk dan menenangkanku.

“Terimakasih sudah mau terbuka denganku Bel. Yang perlu kamu tahu aku disini. Kamu udah kuanggep sebagai saudaraku. Mungkin kamu udah kehilangan kasih sayang dari seorang ayah dari kecil, tapi kita adalah saudara sekarang, jadi ayahku juga adalah ayahmu, dan ibuku juga adalah ibumu. Deal ya?” Ia mengatakannya juga sambil berurai air mata, kemudian memelukku dengan teramat erat.

7 November 2016

Aku menatap dress biru benhur dan stoking salem buatan Mia yang melekat ditubuhku. Kuambil lipstick berwarna merah jambu dan mengoleskannya tipis-tipis di bibirku. Rambutku kubiarkan terurai kebelakang dan kujepit poniku yang nyaris sebatas telinga ke samping kanan. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Aku teringat akan kado yang harus ku ambil sebelum pergi ke pesta. Tapi segalanya mulai berubah buruk saat aku tiba di toko. Sosok yang sudah terkubur lama dalam benakku muncul di hadapanku sore itu. Ia sedang disana bersama seorang wanita. Wanita itu bukanlah yang dulu kukenal sebagai teman dekat ayah, ia adalah wanita yang lain lagi.

Jantungku serasa dihujam ketika tetiba mengingat kata-kata terakhir yang diucapkan ayah padaku. Perasaan tertekan itu muncul lagi. Terlebih ketika kedua bola matanya menangkap mataku yang menyorot sendu kearahnya. Segera aku meninggalkan toko itu, berlari sekencang-kencangnya, mencari tempat sepi. Aku meyakinkan diriku kalau aku sudah aman, sudah tidak ada lagi orang yang akan memukulku dengan batangan besi atau kemoceng. Tanpa terasa satu tetes air mata menitik keluar dari pelupuk mataku, diikuti deraian air mata yang lainnya. Aku menangis, teringat akan luka lama yang bekasnya masih terlihat jelas di kedua betisku, aku sedih mengapa ayahku sudah bersama wanita lainnya lagi. Semua kutumpahkan dalam linangan air mata sampai aku benar-benar merasa lelah. Langit yang tadinya masih cerah telah berubah gelap, kutengok jam tanganku dan aku terhenyak mendapatinya, 18.55. Pesta itu sudah dimulai dari 85 menit yang lalu. “Aku akan datang ke pesta ulangtahun saudaraku, aku tidak akan mengecewakannya.” Pekikku dalam hati.

Aku segera beranjak memasuki rumah Mia begitu sampai. Bau kue ulangtahun dan cocktail masih tercium jelas di hidungku. Lagu jazz dari Natalie Cole, Unforgettable, mengalun dengan sangat indah. Aku meraih kotak kecil berisi seuntai kalung dengan huruf “BFF” sebagai liontinnya. Dan sampailah aku di ruangan dimana pesta itu berlangsung. Masih ada yang berdansa ria, masih ada yang asyik berbincang, masih ada yang menikmati manisnya roti coklat dan segarnya soda. Pesta itu masih berlangsung, pesta itu belum usai. Namun pandanganku jatuh pada sofa bermotif bunga di tengah ruangan. Disanalah Mia duduk. Ia mengenakan mini dress berwarna biru muda. Rambut pirangnya dibiarkan terurai bebas. Ia terlihat sedang bersandar pada bahu seorang pria bersweater abu-abu. Tangan kanan pria itu menggengam erat tangan kiri Mia seolah-olah tangan itu tak akan pernah dilepaskannya. Ia memandangku lekat-lekat dari jauh, seakan kita pernah saling mengenal. Akupun demikian, berharap tatapanku ini akan menyadarkannya bahwa ia adalah sobat kecilku dulu. Sobat yang selalu kusimpan namanya dalam hati kecilku, berharap suatu saat dapat menjumpainya kembali. Sobat yang sempat menghadirkan rasa nyaman dan aman sebelas tahun silam. Ya, pria itu adalah Io, Satrio Pangestu. Orang yang pernah menghadirkan warna warni di masa kecilku. Dan sekarang Mia sedang bersandar pada bahunya yang kokoh, bahu yang kupukul dengan kepalan mungil tanganku dulu ketika ia berusaha membuatku kesal.

“No, never before has someone been more

Ooh unforgettable

In every way & forevermore.

That’s how you’ll stay, that’s why darling it’s incredible

That someone so unforgettable

Thinks that i’m unforgettable too~”

Tags: romance

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Rain
19031      2584     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Salju di Kampung Bulan
1931      869     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Kenangan
598      370     1     
Short Story
Nice dreaming
Well The Glass Slippers Don't Fit
1280      566     1     
Fantasy
Born to the lower class of the society, Alya wants to try her luck to marry Prince Ashton, the descendant of Cinderella and her prince charming. Everything clicks perfectly. But there is one problem. The glass slippers don't fit!
What If I Die Tomorrow?
369      231     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
HOME
279      206     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
The Girl In My Dream
397      279     1     
Short Story
Bagaimana bila kau bertemu dengan gadis yang ternyata selalu ada di mimpimu? Kau memperlakukannya sangat buruk hingga suatu hari kau sadar. Dia adalah cinta sejatimu.
Teman Khayalan
1567      672     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
Memories About Him
3267      1570     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Gray November
2922      1121     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...