Sepertinya hari ini terasa sangat panjang. Entahlah, mungkin perasaanku saja. Setelah rutintas kuliah dan bekerja part time akhirnya malam pun tiba bersama hujan. Mungkin hari ini aku sedang sial karena lupa membawa payung, terpaksa harus mandi hujan. Sekitar pukul 19.00 malam aku berjalan pulang, suasana sangat hening. Jalanan begitu sepi. Suara ramai anak-anak tetangga yang biasanya sedang bermain pun tak ada. Pintu-pintu rumah tertutup, abang penjual nasi goreng keliling langgananku pun tidak terlihat. Langit terasa begitu gelap seakan sudah sangat malam. Aku berjalan dengan merapatkan jaketku, angin malam ini sangat tidak bersahabat. "Akh!" Aku menginjak genangan air hujan, lengkaplah sudah kekesalan hari ini. Ketika sampai di depan rumah, samar aku melihat bayangan seorang laki-laki di ruang tamu. Entah siapa yang bertamu malam malam hujan begini, pikirku dalam hati.
"Assalamualaikum, ibu aku pulang." ucapku ketika masuk rumah sembari mencuri pandang ke sosok yang sedang duduk bersama ibu di ruang tamu itu.
"Wa'alaikumsalam. Nak kemarilah, pamanmu datang dari jauh untuk berkunjung."
Aku sedikit kanget saat ibu mengatakannya. Semua pertanyaan yang muncul di kepalaku ku simpan, lalu berpura pura santai dan ikut mengobrol.
Setelah mengobrol dan berbasa-basi, akupun izin masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Aku heran, tumben sekali keluarga ayahku berkunjung setelah malam perpisahan ayah dan ibu 6 tahun yang lalu. Sejak itu pun aku tidak pernah melihat sosok yang aku panggil ayah. Tiba-tiba pandanganku gelap, pikiranku melayang dan berhenti pada malam itu.
Enam tahun yang lalu, aku ingat saat itu aku baru saja lulus sekolah menengah pertama. Keluargaku adalah keluarga yang nyaris sempurna. Ayah dan ibu yang sangat menyayangiku. Kehidupan yang berkecukupan. Rumah yang nyaman dan hangat. Kebutuhan yang terpenuhi dengan baik dan cinta antara satu sama lain. Namun, malam yang sangat gelap datang menghampiri hidupku dan ibu. Saat dimana aku mulai membenci ayahku sendiri.
Terdengar suara teriakan ibu dari kamar. Aku berlari ke kamarnya. Tanganku bergetar memegang gagang pintu. Aku takut untuk membuka pintu, apa yang akan ku saksikan di dalam sana.
"Apa yang kamu lakukan mas? Kenapa kamu mengemasi barangmu?"
"Jawab aku, kenapa diam saja!"
"Ada apa ini mas!" Jerit ibu ketakutan.
Ibu terus saja melontarkan pertanyaan yang sama berulang kali tanpa sebuah jawaban. Aku mulai mendengar isak tangis nya, menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjadi seperti yang ayah inginkan. Satu persatu nama wanita yang tidak ku kenali keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti apa maksud ibu.
"Lina, aku harus pergi. Kita tidak bisa bersama lagi." Akhirnya ayah menjawab.
"Apa yang kamu katakan? Apa salahku mas?"
"Aku tidak mencintaimu lagi, Lina."
"Mas, tunggu mas. Tolong jangan pergi! Aku akan berusaha menjadi lebih baik lagi."
"Jangan ikuti aku! Biarkan aku pergi!" teriak ayah.
Untuk pertama kali dalam hidupku aku mendengar ayah membentak ibu. Tak terasa air mata sudah mengalir tanpa sempat aku hentikan. Terdengar suara kaca yang pecah. Pintu terbuka. Ayah keluar dan kaget melihatku di depan pintu. Kami terdiam untuk beberapa saat. Ku kira ayah akan membatalkan niatnya dan masuk, kembali pada ibu yang terisak di dalam kamar. Namun tidak, itu hanyalah hayalan saja.
"Jagalah ibumu. Sekarang ayah tidak bisa bersama kalian lagi." kata ayah dengan dingin.
Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa basa-basi dia langsung berjalan melewatiku tanpa penyesalan dan sesaat kemudian membanting pintu rumah dengan begitu keras. Masih belum bisa ku percaya akan apa yang terjadi. Sambil mengusap air mata, aku berusaha mengejar ayah yang sudah keluar rumah. Namun aku terhenti, melihat ayah dijemput oleh seorang wanita muda. Entah siapa itu. Ayah terlihat begitu ramah padanya. Tanpa menoleh sedikitpun ayah langsung masuk ke dalam mobil. Sekilas aku meliat dari dalam mobil tatapan kasian yang diberikan wanita muda itu. Tanpa penjelasan, tanpa perpisahan, ayah pergi begitu saja tanpa peduli dengan anak kecilnya yang sedang menangis. Saat itu sosok 'ayah' hilang dalam hidupku untuk selamanya. Aku teringat dengan ibu dan berlari masuk ke rumah. Kamar ibu sangat berantakan, bingkai foto keluarga telah pecah. Ibu terisak di sudut tempat tidur. Dia terlihat begitu sedih, seakan dunianya hilang. Ku dekap dirinya. Mulai saat itu, anak kecil tadi telah berubah menjadi dewasa, berjanji pada dirinya sendri untuk menjadi kuat dan menjadi kekuatan ibunya. Bayangan akan keluarga yang lengkap, kasih sayang seorang ayah, rumah yang hangat hilang dari dunianya. Dan dia berjanji, tidak akan membuat siapapun bisa menghancurkan ibunya. Satu-satunya yang ia miliki sekarang.
Aku tersadar dari lamunan. Ya, itu adalah malam yang sangat menyakitkan. Sejak saat itu, hanya ada aku dan ibu. Peran sebagai seorang ayah diambil alih ibu. Dengan banting tulang mencari nafkah. Meskipun sangat sulit, kami bisa melewatinya. Sekarang kami hidup bahagia dan baik baik saja dengan kesederhanaan.
Hingga hari ini datang, entah untuk apa keluarga orang itu datang dan memunculkan kenangan lama pada hubungan yang telah lama dilupakan. Baik aku ataupun ibu tidak pernah membahas dia lagi, karena kami sama-sama tahu bahwa ada kerinduan yang menyakitkan saat ingatan tentang dirinya muncul.
Terdengar suara ketukan pintu.
"Nak, ibu bisa masuk?" Tanya ibu dari balik pintu.
"Masuk aja bu, enggak dikunci."
"Paman kemari untuk menyampaikan pesan ayahmu."
"Untuk apa bu? Kukira dia tidak peduli lagi pada kita." jawabku tak acuh.
Ibu berjalan ke arahku dan berkata, "Cobalah untuk mulai tidak membencinya. Ibu tahu penjelasan yang selama ini kita tunggu datang sangat terlambat. Tapi cobalah untuk mengerti."
"Tidak. Sudahlah bu, aku lelah sekali hari ini. Rasanya ingin tidur saja."
"Ini surat dari ayahmu yang dititipkan oleh paman. Ibu harap kamu membacanya."
Aku berbaring dan berpura-pura sudah tertidur. Ibu hanya menghela nafas lalu keluar sambil meletakkan surat itu di meja belajarku.
Berkali-kali ku coba pejamkan mata, namun otakku tidak berhenti berfikir. Banyak sekali pertanyaan yang melayang-layang. Dugaan demi dugaan bermunculan, entah mana yang benar. Mencoba membalikkan badan ke sisi kiri dan kanan, mencari posisi nyaman. Menghitung satu sampai seratus, membayangkan domba yang berlompatan. Tidak juga aku terlelap.
Jam dinding berbunyi, menandakan tengah malam. Namun akupun belum juga terlelap. Seperti ada yang mengganjal. Entah karena begitu marah ataukah takut dengan berbagai kemungkinan yang tak ingin diketahui. Akhirnya aku menyerah dengan egoku. Aku paksakan diri untuk bangun dan mengambil surat itu. Perlahan membuka amplop yang sudah kuning itu, seakan akan surat itu sudah sangat lama. Dan aku mulai membacanya...
Anakku tersayang,
Apa kabarmu? Pasti kamu baik-baik saja bukan. Pasti kamu sangat membenci ayah sekarang ini. Maafkan ayah. Hanya itu yang bisa terucap berulang kali. Ayah sangat menyayangimu dan ibumu. Ini satu-satunya cara yang bisa ku pikirkan untuk kebaikkan kalian berdua.
Ayah meninggalkan kalian bukan karna tidak sayang, tetapi karena tidak ingin kalian ikut kesulitan dengan masalah yang sedang ku hadapi. Saat itu bisnis ayah sedang krisis. Banyak orang-orang yang ingin menjatuhkan, banyak yang akan datang menemui, bahkan ada yang ingin membunuh ayah. Jika ayah masih bersama kalian, itu akan membuat kalian dalam bahaya dan menderita. Karena itu biarkan ayah yang akan hidup susah dan menderita seorang diri saja.
Kamu pasti sekarang sudah besar dan tumbuh dewasa. Cantik seperti ibumu. Maaf karena sudah membuatmu bekerja keras, tapi ini hanya agar kamu menjadi kuat untuk sebuah tanggung jawab yang besar.
Ketika membaca surat ini, berarti kamu sudah siap menerima tanggung jawab. Dengan surat ini, ayah juga mngirimkan surat kuasa atas perusahan yang ayah titipkan pada pamanmu. Sekarang, jagalah ibumu dan perusahaan ayah. Kembangkanlah perusahaan ini dengan sepenuh hati. Ingatlah ini dibangun selama bertahun-tahun dengan jerih payah.
Berbahagialah!
Kamu harus tau, ayah selalu berada dalam hati kalian. Dan akan selalu begitu.
Peluk dan sayang,
Ayahmu.
Seluruh tubuhku bergetar. Terbayang sosok ayah yang begitu ku rindukan. Sosok yang selama ini terkubur oleh kebencian. Ternyata begitu sayang pada keluarganya. Air mata turun begitu deras. Dadaku terlalu sesak. Air mata bersatu dengan kebencian, kerinduan dan penyesalan. Aku dekap surat ayah, berusaha mengingat sosoknya yang lama terlupakan hingga akhirnya terlelap.
Matahari akhirnya bersinar, harapan baru muncul dalam hidupku. Bayangan akan keluarga yang utuh dan bahagia. Aku bangun, menyimpan surat dari ayah. Segera bersiap. Hari ini adalah awal yang baru. Penyesalan akan terungkap, kebencian akan terbang. Akan ku berikan pelukan paling hangat untuk membawanya pulang.
Aku keluar kamar, menunggu ibu di ruang tamu. Akhirnya ia keluar kamar dengan membawa sebuah foto, entah foto apa. Sesaat suasana terasa aneh. Ibu terlihat begitu muram. Dia sedih. Terduduk lemas di sampingku lalu diam begitu saja. Tiba tiba ibu memelukku. Lalu menangis, mungkin ia hanya menyesal, pikirku.
Aku berusaha menenangkan ibu. "Ibu sudah, jangan menangis. Kita akan membawa ayah pulang."
Tangisnya makin menjadi, lantas aku heran.
Ia berkata dengan terbata-bata, "Ayahmu sudah meninggal nak. Sekarang dia benar benar meninggalkan kita sendri."
Waktu seakan berhenti. Aku terdiam, berusaha mencerna yang dikatakan ibu. Tenggelam dalam lamunan.
Ibu memberikan foto yang dipegangnya. "Ini foto terakhir ayahmu setahun yang lalu dengan paman dan bibi." ucap ibu dengan lirih.
Dengan tangan yang bergetar, aku berusaha mengambil foto itu. Senyum yang sangat aku rindukan. Ayah yang begitu kurus dari terakhir kali kami bertemu. Terbaring lemas disebuah kamar rumah sakit. Tanpa tenaga, tanpa keluarganya. Hanya ditemani dengan paman dan wanita muda itu. Ya Tuhan, wanita yang kulihat menjemput ayah kala itu ternyata adalah istri paman!
Foto itu terlepas begitu saja dari tanganku. Kini tangis tak bisa dihentikan.
Wow