Aku menatap sekitar, kantin yang biasanya ramai kini telah sepi. Bel yang berbunyi 20 menit lalu membuat para siswa yang memadati kantin satu persatu pergi menuju kelas. Kelasku jamkos saat ini, jadi aku tak perlu terburu-buru kembali ke kelas.
Kantin terletak dibagian paling belakang sekolah, sehingga bangunan kelas membelakangi kantin. Dari kantin, aku bisa memerhatikan jendela-jendela bagian belakang kelas.
Jendela kelima dari kiri. Jendela yang paling menarik perhatianku. Bukan karena bentuknya yang istimewa atau paling bagus diantara jendela lainnya, tapi karena ada sesosok gadis yang berpangku tangan menghadap keluar jendela. Sedang melamun kurasa.
Gadis itu selalu menarik untuk diperhatikan. Aku menyebutnya “gadisku”. Aku tau kami tak memiliki hubungan istimewa apapun, tapi sungguh aku jatuh cinta pada gadis itu.
Aku membuka kamera di hpku lalu mengarahkan kearahnya. Dan ya, aku mengambil fotonya secara diam-diam. Seperti biasa. Aku tersenyum memperhatikan fotonya yang ada dihpku. Dan ketika aku kembali menoleh pada jendela, tak kudapati gadisku. Mungkin gurunya sudah datang, entahlah. Setidaknya, aku telah mendapat fotonya.
“Rik, Balik yuk,” ajak Edo padaku. Aku mengangguk lalu berdiri dan kembali ke kelas.
♥♥♥
Aku tersenyum ketika mendapati sosok yang kukenal berdiri didepan kelasku. Dengan cepat kumasukan buku-buku yang tergeletak diatas meja kedalam tasku.
“Jadi ikut rapat kan?” tanya Reina.
“Jadi dong.”
“Oke. Temenin ke kantin dulu ya,” katanya tersenyum lebar, aku mengangguk.
Kamipun berjalan berdampingan kekantin.
Ketika Reina selesai membeli makanan ringan, kami berjalan menuju ruangan rapat. Kami memasuki ruangan rapat ketika Alena, sekretaris kami sedang menulis dipapan.
“Hai kak Rein, hai kak Riko,” katanya tersenyum manis.
“Halo. Maaf ya telat,” kata Reina.
“Gak papa kak,” kata Ferry.
“Jadi berdasar rapat Sie Acara kemaren, agenda untuk Persami adik kelas seperti ini,” ucap Ferry lalu menjelaskan agenda persami.
Setelah rapat selesai, kami semua duduk melingkar. Membicarakan banyak hal sambil memakan cemilan yang dibawa Reina. Gadisku tertawa ketika Puput melemparkan candaan. Tawa yang manis itu selalu membuatku terpana. Aku suka caranya tertawa, dan binar mata itu, aku menganguminya.
“Aku udah dijemput nih, pulang duluan ya,” kata Alena pada kami semua.
“Hati-hati dijalan Len,” ucap beberapa anak yang dijawab Alena dengan senyumannya.
“Aku juga pulang deh, udah dijemput,” kata Reina. Dan pada akhirnya, kami semua ikut pulang.
♥♥♥
“Rik, ngantin gak?” tanya Nino.
“Ngantinlah. Bentar-bentar.”
Aku berjalan di koridor sambil memperhatikan lapangan, pandanganku jatuh pada seorang gadis yang berjalan ditengah lapangan bersama teman-temannya. Tercipta genangan air di tengah lapangan akibat hujan yang turun tadi. Teman-teman gadis itu mengangkat rok mereka dan berjalan pelan berusaha menghindari genangan, walau nyatanya genangan itu sangat lebar. Namun gadis itu berbeda, , ia justru melompat kedalam genangan itu, dan alhasil air nyiprat kesegala arah. Teriakan gadis-gadispun langsung terdengar. Gadis itu tertawa lebar lalu berlari menjauh dari teman-temannya. Tak ada raut penyesalan diwajahnya, hanya ada tawa kebahagiaan. Dan tawa itu membuat senyumku mengembang secara otomatis. Dia gadisku.
Setiap tingkahnya selalu menarik untuk diperhatikan. Ya, aku sudah sering melihatnya bertingkah jail pada teman-temannya. Dan tawa itu selalu mengiringinya.
Gadisku berjalan pelan berlawanan arah denganku, dia masih terkikik geli, dan ketika kepalanya menoleh kedepan tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Ia langsung tersenyum lebar padaku sambil melambaikan tangannya. Senyum itu, senyum manis yang paling aku suka. Senyuman yang membuat mata lebarnya menyipit seakan-akan ikut tersenyum. Akupun tersenyum lebar kearahnya sambil membalas lambaian tangannya.
“Hai Riko.”
“Hai Rein,” jawabku pada Reina yang kini berdiri didepanku.
“Riko doang yang disapa? Gue?” Kata Nino yang berdiri dibelakangku.
Reina tertawa kecil, “Hai Nino.”
“Kalian mau ke kantin?” tanyanya.
“Iya.”
“Aku juga, bareng deh kalau gitu,” kata Reina.
“Mau beli apa Rik?” Tanya Reina begitu kami sampai kantin.
“Lagi pengen pangsit."
“Gak beli hilo?”
“Rame banget kios yang jual hilo,” kataku.
“Aku antriin deh, gimana?”
“Eh, gak usah Rein. Lagian kerja punjualnya lama, keburu masuk.”
“Gak papa. Kamu ngantri beli pangsit aku ngantri beli hilo.”
“Trus kamu beli apa?”
“Es krim doang.” Reina tersenyum lalu berjalan mengantri hilo. Aku tersenyum memperhatikan gadis cantik yang kini mengantri, akupun mengantri dikios pangsit. Ketika selesai membeli pangsit aku langsung berjalan kearah Reina.
“Udah?” tanya Reina. Aku mengangguk.
“Nih,” kata Reina menyodorkan susu Hilo.
“Makasih Rein.”
“Sama-sama.”
“Kenapa suka hilo?” tanya Reina.
“Kenapa ya? Suka aja.”
“Perasaan dulu sukanya jus oreo.”
“Dulunya emang suka itu, sekarang lebih suka Hilo,” jawabku, Reina manggut-manggut.
♥♥♥
“Gue suka Reina,” Ucapan Nino membuatku yang sedang menyedot hilo putihku, terhenti.
“Lo? Serius?”
“Tapi dari awal gue juga sadar, bukan gue yang dia suka. Dia, sukanya sama elo Rik. Ya, oke, kalau emang dia bahagianya sama elo, gue ikhlasin dia karena gue juga yakin lo bisa bahagiain dia,” Kata Nino. “Tapi kenyataannya, lo malah nyakitin dia.”
“Bentar Do, maksud lo apaan sih?” Tanyaku tak mengerti, “Reina suka gue?”
♥♥♥
“Cie kak Reina sama kak Riko,” ucapan Ara menyambut aku dan Reina yang masuk ruangan.
“Duh, yang baru jadian."
“Traktiran dong kak,” sahut Alena dengan cengirannya.
Aku hanya tersenyum kecil begitu pula Reina.
“Udah udah, ayo mulai,” kataku membuyarkan sorakan mereka. Ya, aku dan Reina sudah jadian, kemarin.
Aku berjalan lalu duduk disamping Alena yang sedang mengetik dilaptop. Pletakk.. Farrel yang duduk disamping Alena menyentil dahi Alena.
“Apaan sih Rel,” kata Alena kesal sambil mengusap dahinya.
“Typo semua tuh ketikan. Yang fokus dong. Masak tanggalnya salah, tanggal 17 jadi 27, gak ada yang datang entar. Trus ini apaan pemberitahuan jadi pemebritahuan, Ini juga, trus ini. Duh Len, yang bener dong,” omel Farrel, sekretaris kedua kami.
“Haduh.. cerewet amat sih. Ketik sendiri sana,” kata Alena kesal.
“Lah, dibilangin malah ngambek,” kata Farrel.
Aku terkikik melihat perdebatan mereka. Selalu begini.
“Udah lanjutin sana,” kata Farrel lagi. Alena memandangnya sengit lalu kembali mengetik.
Aku tertawa kecil, “Bertengkar mulu kalian,”
“Gak tau Farrel seneng cari gara-gara,” kata Alena.
“Lah yang suka cari masalah itu siapa,” kata Farrel.
“Ya kamu lah.”
“Udah-udah gak usah bertengkar,” kataku tertawa.
♥♥♥
*Alena Pov (Sudut Pandang Alena)
Aku memeluk lututku erat. Harusnya aku sadar, dari awal kak Riko emang cintanya sama kak Reina. Harusnya aku sadar kak Riko gak mungkin jatuh cinta pada cewek sepertiku. Harusnya dari awal, aku gak pernah berharap. Gak pernah bermimpi. Harusnya dari dulu, aku berhenti mencintai kak Riko.
Sekarang kak Rein dan kak Riko sudah benar-benar jadian. Dan aku harus berpura-pura bahagia dihadapan mereka.
Memang begini.
Nasib seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Selalu begini.
♥♥♥
“Farrel,” sapaku riang sambil berlari kearahnya.
“Kok tumben ganteng?” kataku sambil nyengir lebar.
“Pasti ada apa-apanya, kenapa?”
“Temenin ke kantin yuk,” kataku.
“Ogah.”
“Yahh… Rel,temenin plis.”
“Duh Len, ajak yang lain ajalah.”
“Yang lain pada garap PR, gak mau ke kantin.”
“Aku sibuk Alena.”
“Duh… Sok sibuk banget sih Rel.”
“Emang sibuk kali.”
“Ya udah deh terserah,” kataku kesal lalu berbalik dan pergi.
Farrel menggumam, “Iya iya, aku temenin.”
“Yeey,” sorakku senang. Farrel mendengus. Kamipun berjalan bersama ke kantin.
“Nih Rel,” kataku menyerahkan satu es krim untuknya.
“Buat aku?”
“Iyalah. Gak mau?”
“Ya mau lah Len,” katanya mengambil es krim itu dari tanganku.
“Itu kak Rein sama kak Riko,” kata Farrel menunjuk salah satu meja kantin. Akupun menoleh.
“So sweet ya mereka,” kataku.
“Cocok banget, cantik sama ganteng,” kataku lagi.
Farrel mengacak rambutku pelan.
“Balik ke kelas aja yuk,” katanya tersenyum. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya.
“Jangan galau,” kata Farrel.
“Ha? Galau? Ngapain coba?”
“Aku tau kamu suka kak Riko.”
“Sok tau deh. Siapa juga yang suka kak Riko. Kak Rikokan punyanya kak Reina,” kataku.
“Trus? Gak ada larangan suka sama orang yang udah punya pacarkan?” kata Farrel.
“Tapi suka sama orang yang udah punya pacar itu sakit Rel.”
“Perasaan gak ada deh cinta tanpa rasa sakit.”
“Iya sih.”
“Yang penting, jangan ngarep ketinggian, kalau gak sesuai realita sakit.”
Farrel tersenyum dan mengusap rambutku pelan, akupun tersenyum kearahnya dan mengangguk.
♥♥♥
*Riko POV
“Hati-hati di jalan,” kata Reina. Aku mengangguk dan tersenyum padanya lalu mengemudikan motorku menjauhi rumahnya.
Ketika dijalan aku bertemu seseorang yang kukenal postur tubuhnya, akupun berhenti didepannya.
“Alena,” sapaku dari atas motor.
“Loh? Kak Riko?”
“Kok jalan?”
“Gak ada yang jemput. Baterai HP habis, gak bisa pesan gojek.” Dia nyengir.
“Bareng aja yuk.”
“Eh gak usah kak.”
“Gak papa. Daripada jalan, udah mendung.”
Alena terlihat berpikir.
“Hm… iya deh,” katanya. Iapun segera menaiki boncengan motorku.
Dan tak lama kemudian, hujan turun begitu deras.
“Hujan Len, gak papa?” tanyaku.
“Iya kak, gak apa.”
Dan nyatanya, aku gak tega, karena itu aku memutuskan menepi disalah satu warung yang tutup. Aku perhatikan Alena yang memeluk tubuhnya yang basah.
“Pake ini,” kataku menyodorkan jaketku.
“Eh, gak usah kak.”
“Kamu kedinginan. Nanti sakit.”
“Nanti malah kakak yang kedinginan.”
“Aku gak kedinginan kok. Udah pake aja.” Dan akhirnya Alena mengikuti kemauanku.
Kami sama-sama terdiam.
“Sepi nih. Cerita-cerita yuk,” ajaku.
“Cerita apa?”
“Ya apa aja.”
“Oke, kalau gitu, kakak duluan yang cerita.”
“Hm… okelah. Aku mau bercerita tentang seorang gadis...”
♥♥♥
“Udah reda,” kata Alena. Aku mengangguk lalu kembali memboncengnya.
“Eh kak, nepi dulu dong,” katanya, akupun mengikuti kemauannya. Ketika aku menepi dia segera turun dari motor.
“Kak Rein nyariin kak Riko di grup.”
“Buat apa?”
“Gak tau. Disuruh kerumah kak Rein, penting katanya.”
“Oh… ya udah, aku antar kamu dulu baru kesana.”
“Gak usah kak, rumahku udah deket kok, kakak langsung ke kak Rein aja, penting ini.”
“Kamu yakin?”
“Yakinlah kak.”
Aku memandangnya yang tersenyum. Aku tak tega meninggalkannya disini, tapi Reina membutuhkanku.
“Tapi rumahmu masih jauh Len.”
“Udah deket kok kak. 15 menit juga sampai,” katanya. Aku terdiam sebentar.
“Gimanapun juga, kak Rein pacar kak Riko.”
“Okelah Len. Maaf ya gak bisa nganter sampai rumah.” Ia mengangguk.
“Hati-hati,” kataku lalu memandangnya untuk terakhir kali dan berbalik pergi. Ekspresi itu.
♥♥♥
Aku duduk diatas kasurku. Kunyalakan laptop dan kubuka album berjudul gadisku. Kuperhatikan setiap foto yang kuambil. Sebagian besar berisi fotonya tertawa. Astaga, dia manis sekali.
Aku teringat akan HPku yang masih mati. Akupun menyalakan HPku. Terlihat 7 panggilan tak terjawab dari Reina, dia pasti menelephonku untuk kerumahnya tadi. Dan ada 13 panggilan tak terjawab dari Ferry. Bentar, ini ada apa?
Akupun segera menghubungi Ferry.
“Halo Fer, ada apa?”
“Maaf, tadi aku matiin HPku jadi gak tau kalau kamu telephon.”
Dan kalimat dari Ferry berikutnya membuatku langsung bangkit dan berlari keluar rumah. Kukendarai motorku dengan kecepatan gila-gilaan. Tak peduli sekitar yang penting aku bisa segera sampai.
Aku berhenti di sebuah rumah bercat kuning dengan bendera putih dibagian depan rumah. Aku segera turun lalu berlari memasuki rumah itu.
“Riko.” Panggilan itu tak kuhiraukan.
Aku terus berjalan menuju ruang tengah. Dan gadisku ada disana. Terbaring kaku diatas keranda. Kain putih membalut tubuhnya, dengan tisu menyumbat hidungnya. Kulit kuning langsatnya kini telah putih pucat.
Badanku meluruh kelantai. Sesuatu terasa menghantam dadaku. Rasa sesak mengekangku. Tuhan… apa ini benar dia?
“Alena tertabrak truk saat pulang kerumahnya tadi. Dia, meninggal ditempat.”
Rasa menyesal menerpaku. Gadisku wafat karena ulahku. Mungkin seharusnya aku tak meninggalkannya dijalan tadi. Mungkin seharusnya aku tak memilih Reina tadi. Mungkin bila aku mengutamakan dia, bila aku memilih mengantar gadisku pulang, gadisku masih akan ada disni.
Dan aku tak mampu menahan air mataku, isakanpun terdengar lirih dari mulutku. Aku mengerti, tak seharusnya laki-laki menangis. Tapi ditinggalkan seseorang yang amat berharga dan menjadi alasan perginya orang itu, aku tak sanggup menahannya.
“Alena.”
♥♥♥
“Gadis yang kakak maksud itu, bukan kak Reina.” Itu pernyataan bukan pertanyaan.Aku tersenyum kearahnya.
“Trus kenapa kakak jadian sama kak Rein?” Tanya Alena lagi.
“Karena ada seseorang yang membuatku sadar, aku sudah menyakiti Rein berulang kali, karena itu aku harus membuatnya bahagia. Dan ini caranya.”
“Bukankah lebih sakit bila tau kenyataan yang sesungguhnya?”
“Kurasa iya. Tapi aku tak ingin menyakitinya lebih dalam lagi.”
Kami sama-sama terdiam.
“Menurutmu, apa gadisku juga memiliki perasaan yang sama?”
“Bukankah itu tak lagi penting. Kakak sudah bersama kak Rein, bagaimanapun perasaannya takkan ada yang berubahkan,” kata gadisku dengan senyum terlukanya. Aku terdiam memandangnya.
“Seperti tujuan awal kakak, kakak gak akan menyakiti kak Rein lebih dalam lagi, jadi sesudah hujan ini, kakak lupain aku oke, lupain perasaan kakak, buang semua perasaan kakak padaku. Seperti yang aku lakukan,” katanya tersenyum padaku. Aku benci senyum itu, itu bukan senyum manisnya.
“Maaf Len.”
“Tak perlu minta maaf, kakak tidak salah. Lagipula, aku bahagia melihat kak Riko bahagia sama kak Rein.”
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat air matanya tepat dihadapanku,
♥♥♥