Aku pernah bertemu dengan seorang gadis, eh bukan, seorang perempuan, yang dapat dikatakan terlihat mirip sepertiku, seorang pengangguran yang menjalani hidup apa adanya, tetapi memiliki permasalahan hidup yang cukup serius. Aku bertemu pertama dengannya enam bulan lalu di sebuah klub malam tak jauh dari sini, dan secara kebetulan bertemu lagi di tempat prostitusi yang cukup terkenal di kota ini. Bukan, aku tidak terlalu kaya untuk mampir ke klub malam ataupun ke tempat jajanan penggugah nafsu. Saat itu seorang temanku datang mengunjungiku sambil menginap di kamarku yang bahkan kutinggali sendiri pun masih terasa sempit. Padahal, dia cukup kaya dan bisa saja menyewa hotel dekat sini daripada harus menjadi sarden yang dijejer rapi untuk dijajakan.
Singkat cerita kami berdiskusi sampai larut tentang segala cerita, sesekali dia berbicara tentang matematika, sesuatu yang sebenarnya cukup menarik, meskipun aku tidak tahu apa pun tentangnya.
Temanku adalah seorang mahasiswa matematika semester 12. Pasti kamu berpikiran temanku itu bodoh hingga tidak lulus-lulus selama eman tahun. Tentu bukan, dia sudah strata-2 di universitas terkenal di kotaku, atau bahkan negara ini. Aku masih ingat betul dia menyinggung tentang dasar fondasi dari matematika.
Sambil menghisap rokok kreteknya, dia menambahkan sesuatu yang cukup menarik juga, yaitu adanya cacat dalam fondasi matematika. Cacat di sini bukan berarti fondasi matematika semuanya salah, tapi ada sesuatu dalam fondasi matematika yang menyebabkan kita tidak dapat mengetahui kebenaran dari semua proposisi matematika. Hal ini dibahas oleh Gödel dalam Gödel’s Incompleteness Theorem. Aku lalu bertanya apa arti semua ini, kenapa dia menceritakannya padaku. Apakah dia hanya sedang memberitahuku tentang “keanehan” matematika, ataukah menyuruhku belajar matematika lagi? Tentu ini prasangka yang kelewat aneh. Dia menjawab dengan nada yang tak kalah antusias, tapi tetap tenang, tak lupa menghisap rokoknya yang ketiga kalinya, seingatku.
“Apakah kamu tak tahu mengapa terjadi seperti itu? Maksudku mengapa matematikawan dan filsuf berusaha untuk mencari celah dalam kesempurnaan matematika? Kamu pasti tahu kalau sejak SD matematika sudah dianggap ilmu pasti, yang pasti benar dan tanpa keraguan. Pun sejak zaman Thales hingga akhir abad ke-19 masih banyak matematikawan yang berpikiran seperti itu. Apa artinya?”
Aku diam sambil meletakkan secangkir kopi yang baru saja aku minum. Dia tetap melanjutkan. Sepertinya pertanyaan tersebut hanya retorika belaka.
“Jadi, sebuah revolusi yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan skeptisisme matematikawan dan filsuf. Setelah ribuan tahun lamanya matematika dianggap menjadi sesuatu yang kokoh, maka para penggali fondasi pun menemukan celahnya. Mereka berusaha memahaminya secara fundamental dan radikal. Berbekal itulah pengetahuan umat manusia menjadi lebih luas, terlebih lagi setelah mengetahui bahwa ada pengetahuan yang mereka tidak akan pernah tahu kebenarannya.
Lalu apa hubungannya dengan realitas sosial? Dalam realitas sosial saat ini, masyarakat seakan menjadi itik bagi induknya, dan terkena dogma-dogma yang menyempitnya pikirannya. Mereka menganggap norma sosial dan agama sudah sejak dulu begitu. Dianggap benar tanpa dipertanyakan. Toh jika memang benar, maka tak apa dong jika kita gali lebih dalam. Siapa tahu memunculkan sesuatu yang baru, yang mencengangkan, seperti yang terjadi saat matematikawan dan filsuf berusaha membuktikan kebenaran matematika. Sesuatu seperti ini adalah hal yang sudah sangat jarang, manusia-manusia autentik semakin minoritas. Ide-ide revolusioner yang benar-benar berbeda semakin dibungkam.”
“Oh begitu toh, baru ngeh aku. Hebat juga ya masalah beginian bisa dilihat dari sudut pandang matematika. Haha.”
Aku tertawa sambil memakan tempe mendoan yang baru saja diantar oleh ibu warung. Diskusi kali itu berlanjut hingga malam. Dari matematika, dia mulai “ngelantur” ke filsafat, sains, klub sepak bola, hardware komputer, hingga obrolan ultimat para lelaki bujang: cewek.
Entah sejak kapan dia mulai membuka tasnya yang berisi sebotol vodka cap Smirrnof. Disuguhkannya segelas kecil minuman tersebut padaku. Berselang beberapa teguk, kami pun mabuk berat.
“Aduh, malam-malam begini enaknya cari yang enak. Betul nggak?” dia berbicara dengan nada yang aneh.
“Enak gimana maksudmu. Yang ini belum cukup enak kah?” aku menjawab semampuku, meski dengan kepala yang cukup pening.
“Aku tahu tempatnya. Kujamin kau pasti kepingin. Haha.”
“Pujasera?” aku mencoba bercanda, walaupun aku pun tak yakin dia paham maksudku.
“Pujasera? Apa itu? Kita tidak sedang menonton konser dangdut bung!”
“Pusat jajanan serba ada. Itu kan maksudmu?” aku menjawabnya dengan cukup datar karena jokes-ku tidak masuk.
“Iya, njajan. Ayo ke sana. Kamu langsung naik ke mobilku. Aku traktir,” dengan semangatnya di mulai merogoh kunci mobilnya.
Aku sih ikut saja, meskipun ini adalah pengalaman pertamaku mencoba memakai jasa prostitusi. Pun demikian setelah dua tahun putus dengan pacarku, kadang aku ingin meluapkan nafsu ini. Tapi, semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Setelah aku dan temanku sampai di tempat, dia langsung memesankan bilik untukku dan dia sendiri. Ya, kalian tentu dapat menebak. Dalam keadaan mabuk seperti ini, pandangan dia pasti terdistorsi sedemikian rupa sehingga untuk memilih mana perempuan yang dia pilih pun tidak bisa. Akhirnya dia hanya memilih acak saja.
Tempat ini cukup aneh menurutku. Tidak seperti cerita tentang lokalisasi yang beredar di luar sana, tempat ini cukup rapi, bersih, tertata dan luas. Aku dituntun oleh pramuniaga menuju bilik yang sudah dipesankan oleh temanku. Bilik itu juga mempunyai nomor. Sungguh terstruktur. Lebih mirip warnet malahan. Namun, ada yang aneh, ketika pramuniaga itu membukakan pintu, aku merasa melihat seseorang yang kukenal. Meski pandanganku agak kabur dan kepalaku pening, namun jelas sekali bahwa wanita itu adalah wanita yang kutemui beberapa bulan lalu di sebuah bar.
“Kamu, kamu yang dulu itu kan?” aku berbicara dengan nada yang agak keras dengan telunjuk mengarah ke bocah itu. Ya, aku sebut bocah karena terakhir kali kutemui dia masih kelas dua SMA.
“Anda siapa ya? Mungkin salah lihat atau salah ingat,” dia menjawab dengan pelan namun dengan wajah agak pucat. Sepertinya dia memang sedikit mengingatku walau aku sendiri tak yakin.
Aku berjalan dan kemudian duduk di sampingnya. Wajahnya seperti pucat dan ketakutan. Sekarang aku yakin kalau dia memang orangnya.
“Kenapa kamu berada di tempat seperti ini? Bukankah kamu masih punya tanggung jawab belajar. Tidakkah kamu ingat nasihatku dulu?”
Dia menunduk. Selimut diremasnya dengan kuat. Suasana semakin mencekam. Dingin dan sunyinya malam membuat suara erangan kebahagiaan dari kamar samping kanan dan kiri terdengar begitu jelas.
“Setelah itu, aku kabur dari rumah,” dia menjawab dengan sangat pelan.
Dulu aku pernah bertemu dengannya di sebuah klub malam. Saat itu seperti biasa aku bersama temanku mampir dan bercakap-capak santai, meski berakhir menjadi diskusi yang cuku berat. Aku sengaja memilih meja paling pojok pada lantai paling atas untuk menghindari suara musik. Di situlah aku bertemu dengan gadis berseragam SMA yang tampak kebingungan. Aku menghampiri ia dengan muka seadanya. Tapi sepertinya kehadiranku ini kurang pas. Siapa pun pasti takut dengan om-om yang sedang mabuk. Kupelankan bicaraku. Aku mulai bertanya mengapa gadis sepertimu berada di sini. Dan juga pertanyaan-pertanyaan lain yang mengekori.
Pertama kali ibunyalah yang mengetahui rahasia itu. Namun, sebagai orang tua yang sudah lama mengenal anaknya, pastinya rasa ragu luar biasa tetap ada. Dia menanyakan perihal ini padanya.
“Adik sehat? Dari kemarin kok sering muntah-muntah?” tanya ibunda.
Dia tetap diam. Sang ibu semakin skeptis tidak karuan. Akhirnya tanpa diberitahu pada ayahanda, sang ibu memaksanya pergi ke dokter samping rumah. Dan memang benar, dia positif sedang mengandung darah daging manusia. Ibu menangis tidak karuan, dia menunduk sambil menyembunyikan tangisnya. Dia hanya diam dan menunduk pucat. Sesekali air mata menetes dari matanya. Tak perlu menunggu fajar, sang ayah tahu bahwa dia mengandung anak haram. Maka marahlah dia sekena-kena. Dicerca, dimaki, dengan kata-kata kasar penuh dengki. Pada akhirnya pula terucap kata sakral, yang bermakna mengusir. Keluarga ini memang keluarga yang taat beragama. Sang ayah adalah tokoh masyarakat di sekitaran kampung ini. Sang ayah tentu malu, malu yang tiada seorang pun dapat mengangkatnya.
Dengan tangis, dia pergi meninggalkan rumah dan berakhir pada suatu tempat yang biasa dikunjungi pacarnya. Dia meminta untuk pertanggungjawaban. Namun naasnya, dia pergi dan malah mengajak teman-temannya ke suatu tempat untuk melegakan pikiran. Sampailah dia di sini.
Aku merasa datang di saat yang tepat. Tidak bisa kubayangkan dia dikeroyok ramai-ramai oleh lima orang termasuk pacarnya dengan janin yang dikandungnya. Akhirnya aku gandeng dia dan aku bawa bersama temanku yang sudah teler ke mobilnya. Aku berhenti di dekat warung kopi langganan dan memberikan nasihat serta ceramah singkat untuknya agar dia kembali ke orang tuanya dan menghadapi masalah ini. Sebenarnya norma sosial yang menjadi tersangka sejati, dia menusuk tiap insan yang tidak mau menurutinya, bahkan jika nyawa taruhannya. Memang benar apa kata orang, daripada menanggung malu lebih baik mati. Eh, itu orang mana yang berkata seperti itu?
Pada saat itu juga aku menyuruhnya untuk bercerita, mengapa dia malah kabur dan menjadi seorang penjaja nafsu. Meski awalnya dia enggan berbicara, sedikit-sedikit, dan pada akhirnya cukup lancar walau sangat pelan.
***
Setelah kakak mengantarku ke jalan dekat rumahku, aku mengendap dan masuk melalui pintu belakang. Aku langsung tidur karenanya efek alkohol yang memengaruhiku. Pada pagi harinya ibu membuka kamarku dan menangis histeris. Dia memelukku dan berbicara sesuatu yang tidak dapat kuingat. Mungkin tentang diriku dan rencana kaburku. Setelah itu ibu memberiku makan seperti biasanya. Tapi anehnya dia membawa dua piring, padahal keluargaku tidak mengenal makan bersama. Saat itu pula dia mengajakku untuk makan pada saat waktu yang bersamaan. Untuk apa gerangan? Aku benar-benar tak tahu, tapi siapa pun itu, pastilah mereka ini hanya aksi iseng belaka. Mungkin ibuku bahagia ketika aku kembali ke rumah. Aku sedikit tersenyum ketika memikirkan alasan itu. Aku pun mengangkat sendok bersamaan dengan ibuku.
Namun tidak kusangka, laukku jatuh dari sendok sehingga harus kuambil terlebih dahulu. Memang kebiasaan sejak kecil kalau makan harus pakai lauk bersama sesuap nasi. Praktis sudah ibuku yang memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Tak lama kemudian, hatiku bergetar. Ada apa gerangan? Hawa dingin menusuk tubuhku, padahal ini masih jam tujuh pagi. Ibu tergeletak dengan kaku. Diam. Sunyi. Hening. Aku bahkan tak dapat berkata-kata. Aku coba cek pembuluh nadi ibu dan dadanya, kosong! Hanya keheningan semata. Aku mencoba menampar pipiku, siapa tahu ini hanya pengaruh alkohol. Ternyata bukan! Iya, dia, ibuku telah hilang selamanya. Ada apa? Apakah aku yang membunuhnya dengan segala ulahku yang bejat ini? Aku pun menyadari bahwa racun yang sama ia sisipkan juga pada makananku. Bagaimana aku harus bersikap? Apakah aku harus bersyukur tidak memakannya, atau bagaimana? Jiwaku terguncang, aku berada dalam kebingungan, kegelisahan yang mendalam.
Aku berlari meminta bantuan pada tetangga, dan semuanya merasa aneh dengan kehadiranku. Aku berkata bahwa ibuku telah meninggal. Apa yang harus aku lakukan? Sembari menangis aku meminta pertolongan. Meski direspons dengan tidak cukup baik, akhirnya ada pula tetangga baik yang menolong dan memberikanku kehangatan, juga segelas teh panas. Beliau adalah nenek tua yang tinggal persis di sebelah kanan rumahku. Nenek itu menjelaskan bahwa ayahku telah pergi dari sini setelah seluruh kampung mengetahui bahwa aku hamil di luar nikah. Sebelum pergi, ayahku memarahi ibuku bahwa ibu tak bisa mendidik anak. Ayah mengaku sibuk dengan berbagai pertemuan pak lurah dan pertemuan perkumpulan adat. Nenek bahkan mengaku mendengar tamparan yang cukup keras. Kemarin malam ayah pergi, dan ibu menangis semalaman itu. Semuanya pergi.
Tumpahlah air mataku, sekarang tinggal aku sendiri. Aku berlari dan berlari. Berbulan-bulan aku tinggal sebagai pengangguran. Tak kuasa aku menahan malu untuk menempati rumah saudara dan kerabat. Aku berjalan mencari pekerjaan, entah itu pengamen, penjaja koran, maupun pedagang asongan. Sampai akhirnya anakku lahir, aku tak tahu harus ke mana. Emperan toko ialah rumahku, kadang aku hanya tidur di bangku-bangku taman. Itu pun kalau beruntung tidak diusir.
Seorang lelaki tiba-tiba menyapaku pada suatu pagi. Aku kebingungan, sedikit takut, juga panik. Tapi dia tetap tenang. Dia menjelaskan pekerjaan yang mudah dan mempunyai prospek yang besar. Aku pun mendengarnya, dan aku menelan ludah. Pekerjaan hina nan haram yang ia tawarkan. Tapi aku bisa apa? Aku telah najis di mata Tuhan, tiada dapat aku diampuni. Maka pantaslah sampah ini berada dalam tempat sampah. Sampah memang seharusnya berada di sana, bukannya ada di tempat suci seperti rumah ibadah. Aku mengangguk setuju dan membiarkan ia membawaku.
Dia berhenti bercerita. Aku tertegun akan ceritanya yang mengena hati. Begitu muda namun masalah sudah menyala, berkobar.
“Kau mau melihat anakku? Sekarang dia menjadi bayi yang sehat. Aku bersyukur mendapat pekerjaan ini, entah aku bersyukur pada siapa. Dan apakah Tuhan masih menganggapku sebagai hambanya?”
Dia menunjukkan bayinya yang imut dan berisi. Tampak sehat dengan senyum bahagia. Malam itu hanya kuhabiskan berbincang dengannya.