“Belanja, Bu?”
“Haji” bisik Yumna.
“Belanja, Bu Haji?” tanya Nia.
“Eh, iya Bu Nia. Ini Cuma belanja sayuran sama sedikit daging ayam.” Jawabnya. “Belanja juga, Bu?”
“Iya, Bu. Sekalian nganter Yumna. He he.”
Yumna hanya tersenyum sedikit namun manis. “Kami duluan. Mari, Bu Haji.” Ucapnya.
“Silakan...silakan..” jawab Bu Haji tersenyum lebar.
Beberapa hari lalu, Bu Yani baru saja pulang beribadah haji. Tak ada perubahan yang nampak pada diri Bu Yani, melainkan pada namanya. Gelar ‘Hj’ kini mesti disematkan mengiringi nama ‘Yani Suryaningsih’. Sudah menjadi tradisi apabila seseorang yang telah pulang menunaikan ibadah haji mendapat gelar ‘H’ atau ‘Hj’ di depan namanya. Tidak lain untk menunjukkan bahwa ia telah berhaji. “Itu sudah menjadi budaya.” Yumna berucap pada sang Kakak.
“Kenapa mesti?” tanya sang kakak. “Bukankah yang terpenting itu pahala ibadahnya? Juga akhlaknya?”
“Kakak ini kayak anak kemaren sore aja. Gelar ‘Haji’ itu mesti disematkan bagi mereka yang sudah berhaji.” Tandas Yumna.
“Buat kakak itu enggak penting kalau kita mengantre jadwal sejak lama dan pergi jauh-jauh untuk berhaji hanya demi mendapatkan gelar saja. Lelah rasanya.”
“Minimalnya kita menghargai mereka dengan menyebut ‘Haji’.”
Ada rasa khawatir yang bersemayam dalam benak sang Kakak. Nia Khadijah.
Ya, tahun lalu sang Kakak mendapat kesempatan berhaji gratis bersama salah satu teman dekatnya di majelis taklim. Dia sadar bahwa gelar tersebut amatlah berat terutama bila tidak sesuai dengan perangai empunya. Bisa menjadi bumerang.
Dia sendiri sering melihat seseorang yang telah berhaji, namun berperangai seolah belum berhaji melainkan senang dipanggil ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’. Dia sendiri telah berkomitmen untuk tidak menaruh gelar ‘Hj’ di depan namanya dan memberi tahu keluarganya untuk tidak memanggilnya ‘Bu Haji’. Bagi dirinya, tidak menaruh gelar ‘Hj’ itu lebih aman untuk menjaga hati dari sifat riya dan juga ujub. Terutama pergi berhaji secara gratis, bisa jadi sifat riya dan ujub yang muncul malah lebih parah.
“Hati orang, siapa yang tahu?”
***
“Dasar pembantu kere!!!”. “Masak Telur Balado aja keasinan. Makan saja sendiri!!!, mood saya hilang.”
“Maaf, Bu. Saya sedikit enggak enak badan.”
“Makanya, kerja tuh yang bener. Kamu disini saya yang gaji.” Hardik Bu Haji. “Kamu habiskan buat apa gajimu selama ini?”
“Maaf, Bu. Suami saya belum bergaji tiga bulan ini. Pabriknya sedang kalap.”
“Saya enggak butuh alesan!!!”
“I..ii..iya, Maaf Bu.”
“Haji!!!.” Jawabnya.
Sudah tak asing lagi bagi tetanggga sekitar Bu Haji apabila mendengar keributan antara majikan dan pembantu. Bahkan tak sedikit pula yang menggunjingnya. Hingga acapkali tersiar kabar bak headline news di koran setiap harinya.
“Bu Yani marah-marah lagi, lho.”
“Bu Haji, ceu.” Bu Marni melengkapi.
“Iya itu maksud saya.” Ceu Iyoh meneruskan. “Kemaren, pembantunya kena marah lagi gara-gara makanannya keasinan.”
“Beneran?” Bu Marni terkejut.
“Iya Bu, serius. Dua rius malahan saya mah, Bu.” Sambung Ceu Iyoh.
“Tega bener yah Ceu ... cuma keasinan aja sampe segitunya.”
“Kayak yang enggak kenal Bu Haji aja, Bu.” Jawabnya. “Hampir tiap hari saya denger keributan di rumahnya.”
Headline news pagi ini ‘Bu Haji marah (lagi)’. Begitu kiranya ibu-ibu warung menyebutnya. Belanja sayur mayur di warung Ceu Iyoh selalu dihiasi kabar perihal perangai Bu Haji yang tidak lebih baik. Dan kemarin pula Bu Marni kena tegur oleh Bu Haji.
“Assalamu’alaikum, Bu.” Sapa Bu Marni.
“Wa’alaikum salam.” Bu Haji ketus. “Haji.” sembari berdehem.
“Eh, iya. Bu Haji.”
“Hmm.” Senyumnya kecut.
***
Adalah Nia yang kesal mendengar kabar perihal perangai Bu Haji – dari sang adik – sepulang dari tanah suci. Sang adik tak ada bedanya dengan ibu-ibu warung yang sering mendengarkan ‘berita’ dari Ceu Iyoh perihal Bu Haji.
Nia seringkali mengingatkan akan bahaya ghibah yang adiknya lakukan. “Mengapa kau sibuk mengurusi aib orang?” namun seringnya pula respon yang diberikan sang adik hanya berupa anggukan dan kesunyian tanpa jawaban.
Topik pembicaraan antara adik dan kakak berubah. Namun tak lepasnya dari mengghibah. Kini, giliran sang kakak yang merespon dingin atas topik yang diutarakan Yumna.
“Kakak ini denger enggak sih kalo aku ngomong?” Yumna mulai kesal.
“Ya, denger.” Jawabnya dingin.
“Hiiihh.”
“Apa sih?”
“Tuh kan, enggak dengerin.” Yumna menggerutu.
“APA SIH YUMNA AISYAAAAHHH???” jawabnya dengan nada tinggi.
“Enggak.” Yumna menciut.
Tak ada nyali sedikitpun bila sang kakak mulai bernada tinggi bertanya. Yumna hanya bisa menggulung-gulungkan kain tudungya dengan jari. Mengalihkan fokus. Sedang mata sang kakak mulai berapi-api, tanda kesal atas perangai adiknya.
Anak-anak sekolah dasar ribut-ribut diluar rumah tanda sore berganti malam. Mereka berlarian saling kejar-mengejar. Ada yang menenteng sepatu ketsnya, ada yang melepas baju seragamnya serasa jadi jagoan, ada yang hanya mengeluarkan baju seragam dari celananya, mereka berlagak seolah bad boy. Dan merasa keren.
Malamnya.
Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Yumna Aisyah. Diam seribu bahasa. Sedang sang kakak menyiapkan makan malam di meja. “Ba’da isya, kakak pulang. Makananmu udah ada di meja, jangan lupa makan.”. Yumna diam. Masih tak bersuara
Kali ini, giliran jangkrik-jangkrik yang mulai ribut dengan suara khasnya di pekarangan rumah. Sesekali, burung hantu tetangga berbunyi. Memutar kepalanya seraya mengepakkan sayap seolah ingin pergi berburu.
Sang kakak akhirnya pulang.
Yumna termenung. Dipikirnya baik-baik ucapan sang kakak kala kesal memuncak tadi sore. Selama ini, ia telah lama menggunjing orang, telah banyak pula tentunya orang menjadi korbannya. Lantas apa yang bisa ia banggakan khususnya kepada sang kakak selain menggunjing orang. Muncul rasa kesal dalam benaknya. Penyesalan.
Terbayang di benaknya jika berada dalam posisi seperti Bu Haji yang kerap kali digunjing tetangga. “Apa yang akan aku rasakan?”. Hatinya seolah teriris, betapa sakitnya jika aib sendiri dibongkar habis-habisan seperti itu. Bahkan keluarga sendiri akan malu bila mengetahuinya, entah harus disimpan dimana wajahnya jika seperti itu.
Tatapannya kosong. Mulut tertutup rapat. Nyanyian jangkrik tak sedikitpun memberi pengaruh pada Yumna. Dalam hidupnya, baru kali ini melihat sang kakak kesal dan berapi-api kepadanya.
“Aku kelewat batas.” Ucapan yang akhirnya memecah kesunyian. “Selama ini aku sibuk dengan aib orang lain, sedang gajah dipelupuk mata tak sanggup aku lihat.” Satu dua butir air mata mulai menetes dan membasahi meja makan.
“Cukup. Ini yang terakhir kalinya.” Yumna meringis. “Atas nama agama dan demi harkat serta martabat keluarga. Cukup. Ini yang terakhir kalinya.” Nafasnya begitu menggebu.
“Kriiinnggg....kriiiinnnggg...”
“Wait!!!”
“Assalamu’alaikum, dik.”
“Wa’alaikumsalam, kak.”
“Udah ada kabar dari ibu?”
“Belum, kak.” Jawab Yumna mengatur nafas. “Besok ibu pulang?”
“Iya, InsyaAllah besok ibu pulang.”
“Alhamdulillah. Besok kita jemput di Halim?”
“Iya. Besok, biar suami kakak yang jemput kamu ke rumah. Biar berangkat bareng dari rumah kakak.”
Percakapan di telepon mencairkan suasana hati mereka. Sang kakak berbicara tanpa ada rasa kesal sama sekali terhadap sang adik meski tadi sore mereka berseteru. Dan kini mereka bersatu.
Yumna mengutarakan kegelisahan hatinya dan sang kakak menjadi pendengar yang baik juga bijak sebagai mana halnya istri Nabi Saw. Nama belakang yang merujuk pada istri Nabi Saw memang berbuah manis. Ketawadhuan sang kakak membikin sang adik malu juga iri terhadapnya. Ucapan maaf dari sang adik akhirnya mengakhiri percakapan mereka malam ini. “Wa’alaikumsalam warahmatullah, Bu Haji.”
“jangan panggil ‘Haji!!!’”
Gegara hj toriq wkwkwk. Mungkin maksud org² dulu manggil haji karna untuk mengingatkan org yg sudah melakukan ibadah haji agar menjaga diri sikap akhlaknya, trs biasanya nolak dipanggil haji. Tapi skrg jdnya malah byk yg manggil dirinya sediri dgn sebutan haji dgn sombongnya.