Loading...
Logo TinLit
Read Story - Keep Your Eyes Open
MENU
About Us  

Bruuukkk!!”

“Shit!” Ini sudah kali ketiga di hari ini aku tersandung sanding pada masing-masing tempat yang berbeda. Tak main-main, dua insiden sebelumnya menyebabkan kuku jempol kakiku retak seperempat bagian. Belum lagi nyeri itu hilang, insiden barusan melebamkan mata kaki kiriku.What’s wrong with me? Tanyaku dalam hati yang dilumuti rasa penasaran yang teramat sangat. Sudah sebulan ini aku sering merasakan kejanggalan pada kedua mataku. Entah karena apa, aku juga sering merasa pusing secara tiba-tiba. Aku tau pasti sesuatu yang tidak beres sedang terjadi pada tubuhku. Namun, tuntutan tugas dan pekerjaan part time yang kujalani mengharuskanku untuk mengabaikan semua gejala awal itu. Sampai pada suatu ketika, sewaktu aku sedang mengedit pesanan banner dari sebuah tempat les ternama, pandanganku hilang entah kemana. Pandanganku kabur, nyaris tak dapat melihat apapun di depanku. Padahal satu-satunya benda di hadapanku kala itu adalah sebuah monitor komputer yang menyala terang dengan brightness levelnya ada di tingkat 100%. Dan itulah kali terakhir aku melihat dunia dengan kedua bola mataku secara utuh, dunia yang penuh dengan beratus bentuk, warna, dan rasa.

10 Oktober 2016

Sejuknya kabut dari ufuk barat menyeruat cepat ke wajahku begitu jendela kamar kubuka sepenuhnya. Kicauan burung dan dengungan lebah membuatku merasa lebih baik. Sekalipun aku tak bisa melihat mereka secara sempurna, tapi setidaknya aku masih bisa merasakan kehadiran mereka. Bukan waktu yang singkat dapat menerima keadaanku sekarang. Penyakit glukoma yang menyerang mata kiriku membuatku kehilangan separuh rasa percaya diriku. Terlebih ia beranjak untuk membutakan mata kananku. Namun sebelum hal itu terjadi, kupastikan aku tak akan kehilangan kemampuan membaca dan menulisku.

Panggil saja aku Niluh. Gadis beperawakan tinggi dan kurus. Semakin kurus hingga mencapai angka 39 ketika masa depresi menyerangku. Beruntungnya itu hanya bertahan 2 bulan, setelah itu kembali naik meski tidak mencapai berat awalku. Dengan rambut yang ditemukan berwarna putih dibeberapa bagian. Ah, pasti akibat stress yang menyerangku setelah diagnosa Dokter William kala itu, gumamku sendiri dalam hati, mencari alasan yang masuk di akal.

“Belajarlah huruf braille sebelum glukoma membutakan matamu.”

Kalimat yang lebih mirip sebuah iklan itulah yang saat ini membuatku berdiri di depan bangunan rumah mungil dengan papan besi di depannya yang bertuliskan: CHLOE BRAILLE CLUB FOR YOUR BETTER SIGHT. Sejenak aku merasa tertegun, mengapa aku harus berada disini. Sejenak aku lupa apa yang terjadi padaku. Sejenak aku melayangkan mata dan menemukan seorang gadis kecil dengan kacamata hitam bertengger di wajahnya, berjalan keluar didampingi kedua orangtuanya. Sejenak aku berharap ini semua adalah mimpi.

It’s okay, sweetheart.” Ujar ibuku tersenyum seperti tau apa yang aku pikirkan. Ia menggenggam erat tanganku dan mengajakku masuk ke dalam. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Tapi melihat mereka yang sedang duduk disana bersama tutor mereka masing-masing, membuatku kembali merasa seharusnya aku tak berada disini. Setidaknya saat ini mata kananku masih memiliki sedikit kemampuan untuk melihat. Aku tidak buta total seperti mereka. Aku masih bisa melihat meski hanya dengan kemampuan 30-35%. Aku hanya kehilangan mata kiriku untuk melihat, bukan kedua mataku. Segala pikiran itu berkecamuk dalam benakku. Meminta sebuah kepastian dan jawaban;Untuk apakah aku harus ada disini?

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Sapaan dari seorang laki-laki membuyarkan pikiranku. Seorang pria dengan kacamata minus bulat dan buku tebal yang ia peluk di dadanya menunjukkan senyum ramah kepada kami. Untuk sesaat mata kami beradu, namun segera kuakhiri. Ia meminta kami masuk ke ruang pendaftaran dan mengisi form yang tersedia disana. Sembari kami mengisi form untuk pendaftar baru, ia, si pria berkacamata bulat, menanyakan sebuah pertanyaan yang kurasa kurang tepat untuk mengisi sebuah percakapan. Ia menanyakan alasan mengapa aku harus mengambil kursus Braille. Sulit dijelaskan, tapi aku merasa muak dengan pertanyaan seputar itu. Hal-hal yang berkaitan dengan keadaanku saat ini membuatku sangat sensitif. Mungkin sebagian darimu bisa memahamiku. Tidak mudah, sungguh tidak mudah, ada di posisi dimana aku sekarang ini berada. Kuputuskan untuk keluar dari ruang itu dan menunggu di luar. Itu lebih baik ketimbang ada di dalam sana dan mendengarkan mereka membicarakanku dengan nada prihatin. Aku lelah mengasihani diriku sendiri.

 

12 Oktober 2016

Everybody's waiting

Everybody's watching

Even when you're sleeping

Keep your ey-eyes open


A tricky thing

As yesterday we were just children

Playing soldiers

Just pretending

Dreaming dreams with happy endings~

Indahnya lagu “Eyes Open” by Taylor Swift mengiringi perjalananku siang itu. Ya, hari ini aku memulai les Braille pertamaku. Ditemani ibu yang tak pernah jengah berada di dekatku, mendukung, dan senantiasa menyemangatiku. Itulah alasan terbesar mengapa aku masih ingin melanjutkan hidupku sejauh ini. Ada seseorang yang tak pernah lelah berjuang bersamaku. Setidaknya itu membuatku bersyukur, sangat bersyukur karena memilikinya.

Tepat pukul 13.00 aku sampai di tempat yang baru dua hari lalu kutinggalkan dengan wajah masam. Kulihat tulisan yang sama masih terpampang jelas di papan besi tua yang mungkin umurnya sama denganku, 22 tahun. Aku menarik nafas pendek dan berkata pada ibu, “I’m ready.”

Tak disangka, tutor yang kebagian mendampingi dan mengajarku adalah pria dengan kacamata bulat yang selalu membawa buku berwarna biru benhur, yang belakangan baru ku ketahui di dalamnya terdapat lembaran kertas berisi Braille Alphabet. Ia menyapa dan mengajakku berkenalan sebelum memulai les hari itu.

“Hai. Sebelum kita belajar apa itu Braille. Mungkin kita bisa saling tau dulu sebelumnya. Aku Jordan, sudah bekerja disini 3 tahun belakangan.” Katanya formal diiringi senyum sumringah yang terpaut di wajahnya.

“Aku Niluh.” Jawabku singkat dan mencoba untuk tersenyum tanpa memandangnya.

“Oke, Niluh. Yang perlu menjadi catatanmu, nyamankanlah dirimu di tempat ini. Sebisa mungkin aku akan membantumu. Oke, let’s begin the lesson.” Katanya sembari menaikkan kacamatanya. Aku membalasnya dengan anggukkan kecil.

Hari yang cukup melelahkan. 13 huruf terhafalkan sudah di ingatanku. Aku mengenalnya dengan abjad A-M. Tak sesukar itu menuliskannya bukan? Namun meraba kertas berlubang itu membuatku nyaris menyerah disini. Menyarah? Ayolah, itu bukan dirimu. Hati kecilku berusaha merujukku untuk tetap bangkit. Namun apa daya, ia mengijinkanku untuk menumpahkan bendungan air mata malam itu di pipiku, hingga aku jatuh tertidur.

13 Oktober 2016

Keep your feet ready

Heartbeat steady

Keep your eyes open

Keep your aim locked

The night goes dark

Keep your eyes open~

Belakangan, aku sangat menyukai lagu ini. Entah, aku merasa bisa larut di dalamnya. Hari ini ibu hanya bisa mengantar dan menjemputku. Ku yakinkan kalau aku akan baik-baik saja tanpa harus ia tunggu, lalu bergegas memasuki tempat les itu.

“Halo Niluh. Masuk ke ruang Anggrek dulu ya nanti saya menyusul.” Sambut Jordan begitu melihatku. Sebenarnya ia adalah laki-laki yang ramah. Dan sekilas dari pandangan sempitku, ia masih sangat muda,mungkin terpaut 3 sampai 4 tahun di atasku. Namun kurasa ada sesuatu yang salah dari cara berjalannya, bagaimanapun aku tak mau berasumsi. Yang perlu kau tahu, ia adalah seorang pria yang cermat. Terbukti ia dapat melihat dengan jelas kedua mataku yang bengkak akibat terbawa tidur sambil menangis kemarin malam.

Are you okay?” Katanya sambil menutup pintu ruangan.

“Well, saat aku merasa badmood, aku selalu mengunyah ini.” Ia menyodorkan dark chocolate yang membuatku tertegun. Bagaimana tidak? Itu juga adalah kebiasaanku ketika merasa tidak baik.

“Alergi coklat??” Tambahnya ketika melihat coklat itu masih mengambang di udara.

“Bukan, hanya saja, aku sudah memilikinya di tas.” Jawabku dan tanpa sadar aku tertawa kecil.

“Ahh.. Jadi mood booster kita sama ya.” Ia pun terkekeh dan membuatku menyadari satu hal, ia berlesung pipit. Satu hal, itu membuatnya “enak” untuk dipandang saat tersenyum.

“Aku tak keberatan kalau kau ingin memakannya. Terlebih kalau kau mau ceritakan alasannya.” Aku hanya diam dan perlahan menggelengkan kepala.

“Mari kita selesaikan abjad N-Z.” Jawabku yang disambut anggukkan kepala darinya.

 

Jam tanganku menunjukkan angka 14.30, namun ibu tak kunjung menjemput. Harusnya sudah setengah jam lalu ia datang. Perutku sudah mulai berkeriuk dan itu membuatku gelisah.

“Disini ada warung mie ayam terkenal. Semua orang yang les disini sudah mencobanya.” Jordan membuatku kaget karena seolah-olah ia tahu apa yang aku rasakan saat ini.

“Aku akan kesana untuk makan siang. Want to join?” Ajaknya dengan wajah bersahabat. Dan secara spontan aku bangkit dari tempat dudukku. Mungkin itu semacam efek alam bawah sadar ketika mendengar kata “mie” saat kelaparan seperti ini.

Dan disitulah awal mula aku benar-benar “membuka mata”. Jordan adalah seorang yang entah mengapa sanggup membuatku menceritakan segalanya. Padahal hubungan kami hanya sebatas tutor dengan siswa. Tapi aku merasa, dia adalah pendengar yang baik juga pemberi solusi yang tepat. Bahkan ia mengejutkanku dengan suatu fakta mengenai dirinya. Itulah yang membuatku tanpa sadar memberikan “timbal balik” dengan meceritakan apa yang ku alami dengan harapan akan menguatkannya pula. Jordan, yang dari luar adalah seorang guru Braille yang cerdas, ramah, dan ceria, ternyata punya masa lalu yang sedemikian rupa.

“Mereka tidak memperbolehkanku untuk menjadi seorang guru Braille. Apa yang bisa kau dapatkan hanya dengan menjadi seorang guru? Orang-orang hanya membayarmu secara sukarela. Apa itu yang kau harapkan setelah kami bekerja keras menyekolahkanmu di fakultas teknik? Sia-sialah semua! Pergilah! Temukan apa yang kau mau, tapi jangan libatkan kami lagi!” Ia berhenti, matanya menerawang jauh ke depan. Terbesit sedikit luka disana.

“Aku merasa menjadi anak yang tidak berbakti kala itu. Namun kau tahu? Itu adalah passionku. Aku ingin menjadi seorang guru. Sebenarnya apa yang salah? Toh, aku masih bisa menghasilkan uang. Pikiranku kacau balau kala itu, Luh. Aku sangat tidak terkendali. Kulajukan motor dengan sangat kencang dan menabrak pembatas jalan. Kaki kananku harus kurelakan untuk diamputasi meski hanya sebatas mata kaki. Namun itu perih, sungguh. Kehilangan sesuatu yang biasa ada padamu, melekat padamu, tak pernah terbayangkan jika itu pergi darimu. Dan itulah yang terjadi padaku. Aku menjadi seorang cacat sejak itu ditambah dengan label anak durhaka karena tidak mau memenuhi harapan kedua orangtua. Mulai dari saat itu, aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah sampai aku berhasil membangun sebuah rumah dengan hasil kerja kerasku sendiri. Itulah permintaan ayah ketika hari wisudaku. Ia menginginkan aku dapat membangun sebuah rumah dengan ilmu yang aku dapat dari fakultas teknik sipil.” Jordan menjelaskan panjang lebar dengan senyum pahit di wajahnya.

“Rumah itu nyaris selesai. Meski aku tak sanggup mengerjakannya sendirian. Tentu saja, dengan kaki yang sudah lagi tak sempurna, apa yang dapat kuharapkan?” Ia tersenyum kecut. Lalu mengajakku untuk keluar dari warung dan berhenti di depan bangunan CHLOE BRAILLE CLUB.

“Inilah rumah itu. Yang kubeli dan kubangun dari hasil jerih payahku.”

Mulutku dibuatnya ternganga. Sama sekali aku tak menyangka, ialah sang empunya.

“Minggu ini, untuk pertama kalinya sejak kejadian traumatis itu, aku akan menginjakkan kakiku lagi di rumah orangtuaku. Kaki yang sudah tidak lagi sempurna, kaki yang tetap bisa berpijak walau sempat tergeletak. Membiarkan mereka tahu apa yang sudah ku lalui sejauh ini dan apa yang ku dapat. Maukah kau menemaniku sang desainer grafis?”

Segera aku mendongak dan menemukan matanya tertuju tajam ke arahku.

“Aku telah mengenalmu Luh. Jauh sebelum kau datang 3 hari yang lalu. Brosur tempat les ini, banner, MMT, dan bahkan desain buku pelatihan Braille. Kau pikir itu semua aku yang mendesainnya? Mungkin banyaknya para pelanggan membuatmu lupa pada salah satu pelangganmu ini.”

Aku benar-benar shock dibuatnya. Sejenak pikiranku melayang. Seorang pria berlesung pipit yang selalu mengambil antrian nomor 1 dan menunjukkan nama yang ditulis salah oleh admin. Oh! Dialah “Pak Yordan”! Pemilik salah satu tempat les Braille ternama di kota ini yang terkenal multi talenta namun selalu memasrahkan masalah desain padaku.

“Astaga!!” Ujarku sambil menutup mulut. Kita pun tertawa bersama.

“Dunia mempertemukan kita kembali. Meski dengan kondisi yang tak sama lagi. By the way, aku turut prihatin pada keadaan matamu. Aku minta maaf jika pertanyaanku sewaktu kau dan ibumu mendaftar membuatmu tersinggung. Aku melihat wajahmu berubah dan langsung meninggalkan ruangan. Namun, hal yang sangat ku sayangkan jika gadis seaktif dirimu harus kehilangan semangatnya dan menjadi pasif. Sebuah cobaan tidak akan Tuhan berikan kalau kita tidak mampu melaluinya. Dengan dirimu sakit begini, it doesn’t mean kamu juga harus kehilangan harapanmu. Percayalah, ada jalan. Kalaupun tidak, pasti kau dimampukan. Ikutlah denganku esok Minggu, akan ku perkenalkan pada ayahku, Dr. Deka Demetria.”

Aku hanya bisa melongo ketika tahu bahwa Dr. Deka, seorang spesialis mata ternama di Negara ini, yang selalu mengadakan operasi katarak gratis, dan daftar tunggunya mencapai bulanan, adalah ayah dari Jordan.

“Ia sering menanggani kasus glukoma sepertimu. Tapi, jika kau berhasil ditanganinya, bantu aku untuk meyakinkannya. Deal?” Ia mengadakan perjanjian yang langsung ku balas dengan anggukan pasti seraya berkata, “Thank you.”

Tags: romance

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Man in a Green Hoodie
5077      1258     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Premium
Cheossarang (Complete)
22068      2000     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Arini
1075      625     2     
Romance
Arini, gadis biasa yang hanya merindukan sesosok yang bisa membuatnya melupakan kesalahannya dan mampu mengobati lukanya dimasa lalu yang menyakitkan cover pict by pinterest
Golden Cage
504      291     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Never Let Me Down
504      383     2     
Short Story
Bisakah kita memutar waktu? Bisakah kita mengulang semua kenangan kita? Aku rindu dengan KITA
Ketika Kita Berdua
37981      5448     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
The Alter Ego of The Ocean
539      377     0     
Short Story
\"She always thought that the world is a big fat unsolved puzzles, little did she knew that he thought its not the world\'s puzzles that is uncrackable. It\'s hers.\" Wolfgang Klein just got his novel adapted for a hyped, anticipated upcoming movie. But, it wasn\'t the hype that made him sweats...
Da Capo al Fine
340      279     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
From Ace Heart Soul
590      357     4     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
LUCID DREAM
498      357     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)