Hari itu terasa seperti hari-hari lainnya bagi Ardan. Pagi dimulai dengan rutinitas kerja yang membosankan, rapat-rapat panjang, dan email yang tak kunjung habis. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda. Raya. Seminggu terakhir, Ardan merasa seakan-akan dunia kerjanya yang penuh dengan angka dan target tiba-tiba diberi warna, hanya dengan adanya Raya dalam hidupnya.
Setelah kejadian lucu di rapat kemarin, Ardan merasa lebih ringan. Dia tidak lagi terjebak dalam rutinitas kaku yang biasa dia jalani. Bahkan, hari itu, Ardan merasa sedikit berani mencoba sesuatu yang baru. Pikirannya melayang ke arah Raya yang sekarang sudah menjadi bagian dari kesehariannya.
Tengah hari, saat ia sedang menikmati makan siangnya di kantin kantor, ponselnya berdering. Itu pesan dari Raya.
"Ardan, mau nggak makan malam di luar setelah kerja? Gue mau ngajak lo ke tempat makan yang cukup unik, deh. Lo pasti suka!"
Ardan menatap layar ponselnya, lalu tersenyum. Sejak pertemuan pertama mereka di workshop kerajinan tangan, setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, selalu ada kejutan-kejutan kecil yang membuat hari-hari Ardan terasa lebih hidup. Kali ini, dia merasa tertantang untuk ikut, meski dengan sedikit rasa cemas.
"Tentu, gue ikut! Tapi, lo harus janji, nggak ada kejutan lain yang bikin gue malu lagi, ya?" jawab Ardan, sambil tertawa ringan.
Tak lama kemudian, Raya membalas dengan emoji tertawa dan sebuah pesan singkat. "Tenang, kali ini nggak ada rapat dadakan kok. Cuma makan malam santai."
Setelah bekerja sepanjang hari, akhirnya Ardan keluar dari kantor. Dia sudah merasa cukup nyaman dengan ide makan malam bersama Raya, meskipun dia tahu suasananya pasti akan sedikit canggung—seperti kebanyakan pertemuan mereka. Tapi ada sesuatu dalam diri Raya yang membuat Ardan merasa lebih santai.
Mereka bertemu di luar restoran kecil yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu sederhana, namun cukup unik dengan interior yang penuh dengan dekorasi vintage. Ketika Ardan masuk, dia langsung disambut dengan aroma makanan yang mengundang selera.
"Lo datang lebih cepat dari yang gue kira," kata Raya yang sudah duduk di meja, dengan senyum lebar. “Lo sudah lapar, ya?”
Ardan tersenyum malu. “Gue memang agak kelaparan. Tapi, gue nggak sabar lihat apa yang lo rekomendasiin kali ini.”
Raya tertawa. "Pasti enak deh. Tapi gue nggak janji lo bakal suka semuanya."
Mereka mulai berbincang ringan. Raya yang begitu santai dan terbuka, sementara Ardan merasa sedikit kikuk, mencoba menyesuaikan diri. Setelah beberapa saat, makanan mereka datang. Ardan mencoba berbagai hidangan aneh yang Raya pilihkan, mulai dari hidangan laut dengan bumbu pedas hingga makanan yang benar-benar baru baginya.
“Wah, ini enak banget,” kata Ardan setelah mencicipi satu hidangan, meskipun terasa asing di lidahnya. "Tapi, nggak nyangka lo bawa gue ke tempat yang kayak gini."
Raya tersenyum. “Nggak usah terlalu serius. Kita cuma makan, kok. Nikmatin aja.”
Namun, saat mereka berbicara lebih dalam, Ardan mulai merasa lebih nyaman. Makan malam yang awalnya terasa agak canggung menjadi lebih santai. Ada percakapan yang lebih pribadi dan dalam yang mulai terbuka di antara mereka.
“Tapi, lo tahu nggak sih, Ardan?” Raya tiba-tiba bertanya, dengan tatapan serius yang membuat Ardan sedikit terkejut. “Kadang-kadang, gue mikir, hidup itu nggak harus selalu teratur dan rapi. Lo kan selalu terorganisir banget, gue pikir lo bakal terbiasa banget sama hidup yang penuh perencanaan.”
Ardan mengangkat bahu, mencoba untuk tidak terlalu kaku. “Gue nggak pernah nyangka bisa keluar dari zona nyaman gue. Tapi, belakangan ini, lo mulai bikin gue lebih… terbuka.”
Raya menatapnya dengan tatapan lembut. “Kadang, kita perlu seseorang yang bisa ngebuka mata kita tentang dunia di luar rutinitas itu. Gue cuma pengen lo lihat lebih banyak sisi hidup yang seru dan nggak selalu harus berencana.”
Ardan diam sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Raya melihat dunia. Dia merasa sedikit lebih terhubung dengan perasaan itu—perasaan bahwa hidup nggak harus selalu teratur dan bisa lebih berwarna jika kita memberi sedikit kebebasan.
“Lo bikin gue mikir lebih dalam tentang hal-hal yang selama ini gue anggap remeh,” kata Ardan, tersenyum kecil. “Kadang, gue merasa hidup gue tuh kayak buku yang isinya penuh dengan bab yang sama, dan lo baru aja ngebuka bab baru buat gue.”
Raya tertawa kecil, lalu mengangkat gelasnya. “Nah, itu dia! Gue cuma pengen lo tahu, bahwa kadang kita perlu keluar dari halaman pertama dan mencoba halaman-halaman baru.”
Mereka berdua tertawa, dan untuk sesaat, segala kekhawatiran Ardan tentang pekerjaan dan rutinitasnya terasa menghilang. Malam itu, bersama Raya, Ardan merasa seperti dia bisa benar-benar menikmati momen ini, tanpa harus berpikir tentang apa yang akan datang berikutnya.
Namun, yang tak diduga Ardan, kejutan kali ini datang bukan hanya dari makanan atau percakapan ringan mereka. Begitu mereka selesai makan, Raya menatapnya dengan serius lagi, tetapi kali ini dengan senyum kecil yang tampak penuh arti.
"Ardan," kata Raya pelan, "gue senang banget bisa menghabiskan waktu sama lo. Lo bukan cuma sekedar teman yang gue kenal di workshop kemarin. Gue rasa... kita punya koneksi yang lebih."
Ardan terdiam sejenak. Ada sesuatu yang hangat di dadanya, sebuah perasaan yang mulai tumbuh setiap kali ia bersama Raya. “Gue juga ngerasain hal yang sama,” jawab Ardan, perlahan. "Kayaknya, gue mulai nggak bisa bayangin hari-hari gue tanpa lo."
Raya tersenyum lembut. “Gue nggak mau buru-buru, Ardan. Tapi, gue senang bisa lebih dekat sama lo.”
Malam itu, mereka berjalan keluar dari restoran dengan langkah yang lebih ringan. Ardan merasa ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya—sesuatu yang lebih menyenangkan dan lebih membuka matanya akan banyak hal baru. Tidak hanya tentang seni, tetapi juga tentang dirinya dan hubungannya dengan Raya.
Dan meskipun mereka belum sepenuhnya mengungkapkan semua perasaan mereka, Ardan tahu satu hal pasti—ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih berarti.