Ardan melangkah dengan langkah cepat menuju kantor, pikirannya masih berkelana kembali ke acara seni kemarin. Dia tidak bisa menahan senyum setiap kali mengingat betapa canggungnya dirinya di tengah keramaian itu, namun juga betapa menyenangkannya melihat Raya menjelaskan semua hal tentang seni dengan begitu santai.
Tapi hari ini, kehidupan kembali menjadi lebih serius—seperti biasa. Ardan baru saja duduk di mejanya ketika rekan-rekannya datang menghampiri. Dia menyambut mereka dengan senyum tipis, mencoba terlihat fokus meskipun pikirannya masih melayang.
"Eh, Ardan! Ada ide baru nih, yang harus kamu kerjakan," kata Rizky, teman satu timnya, sambil meletakkan beberapa berkas di meja Ardan.
Ardan menatap berkas itu, menghela napas panjang. "Pekerjaan, pekerjaan, pekerjaan. Apa kabar dunia seni, ya?" gumamnya dalam hati.
Namun, meskipun pikirannya terus teringat akan Raya dan percakapan mereka kemarin, Ardan berusaha untuk fokus. Hari ini dia harus menghadiri rapat besar yang sudah dijadwalkan sejak lama. Dia sudah tahu—ini akan jadi rapat yang membosankan.
Setengah jam kemudian, rapat dimulai. Ardan duduk di kursi depan, dengan beberapa rekan kerjanya yang tampak sibuk berbicara tentang angka dan grafik. Mata Ardan mulai melayang, tetapi dia berusaha untuk tidak tertidur.
Tiba-tiba, pintu rapat terbuka, dan seseorang masuk dengan sangat ceria. "Maaf, saya terlambat!" suara itu langsung menarik perhatian Ardan.
Ternyata, yang masuk adalah Raya.
Ardan terkejut melihatnya berdiri di depan ruangan rapat, dengan pakaian kasual yang cukup mencolok di tengah para eksekutif yang tampaknya semuanya mengenakan setelan formal. Raya tersenyum lebar, seolah-olah ini adalah tempat yang paling nyaman untuknya. "Eh, Ardan! Kok gue bisa ada di sini?" Raya bertanya sambil melambaikan tangan ke arah Ardan.
Suasana rapat yang serius langsung berubah jadi kacau. Semua mata kini tertuju pada Raya yang tampak begitu ceria dan tidak terduga. Ardan hanya bisa mematung, tidak tahu harus berkata apa.
"Raya, apa yang lo—" Ardan mulai berbicara, namun sebelum sempat melanjutkan, Raya sudah mengacak-acak tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas besar.
"Maaf banget, nih. Gue cuma mau ngasih tahu kalau, di luar sana, ada hal yang jauh lebih menarik daripada spreadsheet dan angka-angka ini," kata Raya dengan nada ceria, sambil menunjuk ke arah grafik yang ada di layar.
Semua orang di ruangan itu menatap dengan bingung, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ardan hanya bisa merasa malu, tapi juga geli dengan kehadiran Raya yang tidak terduga.
“Lo tuh, Raya... kenapa bisa-bisanya...” Ardan berusaha menahan tawa, tapi gagal. Beberapa rekannya mulai tersenyum simpul, dan akhirnya tertawa ringan.
Raya tersenyum dengan ceria. “Seni itu harus keluar dari kotak, kan? Dan kalau lo nggak bisa keluar dari kantor dan rapat yang membosankan ini, lo bisa coba merasakan kebebasan di luar sana, coba deh!"
Namun, keadaan jadi semakin lucu ketika Raya mengambil kursi kosong di sebelah Ardan dan duduk dengan santai, seolah-olah dia adalah bagian dari rapat tersebut. "Gue nggak bisa membiarkan Ardan sendirian dalam dunia yang penuh angka ini," katanya dengan nada penuh keisengan.
Selama sisa rapat, Raya tidak berhenti memberikan komentar-komentar kocak yang selalu berhasil mengalihkan perhatian dari pembahasan serius. Ardan merasa malu, namun dalam hatinya ada perasaan hangat—ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih bebas. Raya seperti sebuah angin segar yang datang begitu saja dan memecah kebosanan di sekitarnya.
Rapat pun akhirnya selesai. Semua orang beranjak keluar, dengan senyum simpul yang masih terukir di wajah mereka, dan Ardan hanya bisa menggelengkan kepala. Ketika mereka keluar dari ruang rapat, Ardan berbalik dan melihat Raya yang sedang asyik bermain dengan ponselnya.
"Raya, lo tahu nggak sih, lo itu sangat... beda dari yang lain?" tanya Ardan sambil tertawa ringan.
"Kenapa, sih? Bukannya harus beda supaya hidup lebih menarik?" jawab Raya, matanya berbinar. "Gue cuma pengen ngebuat lo keluar dari rutinitas kaku yang lo jalani, Ardan."
Ardan tertawa terbahak-bahak, merasa nyaman dengan kehadiran Raya yang selalu bisa membuatnya tertawa meski dalam situasi yang kaku sekalipun. "Gue masih nggak percaya, lo bisa datang ke rapat dan bikin semuanya jadi kayak stand-up comedy."
"Seru kan?" Raya tersenyum lebar, dengan tatapan yang penuh semangat. "Tapi tenang aja, lo nggak akan sendirian. Kalau lo mulai bosen lagi, gue siap jadi penghibur."
Ardan menatapnya, tersenyum simpul. "Nggak nyangka, hidup gue bisa berubah segampang ini cuma karena lo datang."
“Gue senang bisa bikin lo ketawa. Lo perlu lebih banyak hal kayak gini,” jawab Raya, sambil melirik Ardan.
Mereka pun melanjutkan obrolan ringan di luar kantor. Meskipun dunia kerja mereka sangat berbeda, Ardan merasa semakin nyaman berada di dekat Raya. Ada perasaan hangat yang mulai tumbuh—bukan hanya tentang seni atau pekerjaan, tetapi tentang kehadiran orang yang bisa membuat hari-hari terasa lebih cerah dan lebih menyenangkan.
Malam itu, Ardan tidak merasa lelah setelah hari panjang yang penuh dengan kejadian lucu. Bahkan, ia merasa sedikit lebih hidup. Raya memang memiliki cara yang unik untuk membuatnya keluar dari rutinitas yang membosankan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia melihat dunia—dan mungkin, hanya mungkin, itu juga yang membuat Ardan mulai melihatnya dengan cara yang berbeda.