Loading...
Logo TinLit
Read Story - Adalah Sakala
MENU
About Us  

Di dunia ini memang tidak ada yang namanya sempurna. Jika kau pandai di bidang A, besar kemungkinan tak mampu melakukan sebaik mungkin di bidang B. Begitu juga tentang kehidupan, apalagi jika yang menjadi contoh adalah hidupku.

Aku tak bermaksud menjadi hamba yang ingkar nikmat. Aku sadar atas semua berkah yang Tuhan berikan, tetapi kembali lagi pada pernyataan bahwa tak ada yang sempurna dalam kehidupan. Beberapa permasalahan yang digariskan menjadi takdirku acapkali membuatku ingin menyerah.

Sebesar apapun keinginanku memaknai kehidupan, nyatanya dunia ini terlalu sulit untuk dimengerti.

Pekan lalu, sesuai agenda mingguan untuk pulang ke rumah telah menjadi pilihan yang berujung penyesalan. Tak ada kehangatan yang bisa dirasakan karena perang dingin antara Papa dan Mama sedang diganyangkan.

Mereka berdua sibuk mengungkit-ungkit kesalahan masing-masing yang berujung aku ikut terimbas amarah. Tetapi ... ya sudahlah. Toh, aku sudah merasakannya selama dua puluh satu tahun hidup di dunia.

Selama itu, aku menyadari bahwa kekurangan hidupku yang miskin akan rasa cinta dari keluarga. Aku hidup dalam bayang-bayang pertengkaran Papa dan Mama yang bisa dilakukan hampir tiap hari.

Segala macam cacian, pecahan piring, semuanya telah aku lalui. Yang bisa kulakukan hanya bersembunyi di balik pintu kamar, kecuali jika pertengkaran tu tersulut saat kami masih berada di meja makan.

“Kamu habis nganterin temen kantormu itu kan kemarin?” serang Mama saat aku baru akan memasukkan sesuap nasi untuk makan malam.

Papa yang baru minum tersedak. Dia meletakkan gelas ke atas meja dengan keras hingga membuat air di dalamnya bergejolak dan tumpah beberapa.

“Iya, emangnya kenapa? Cuma nganterin pulang doang. Kamu jangan mulai deh,” sahut Papa dengan mata yang mulai melotot kesal pada Mama.

Aku menahan helaan napas panjang. Pertengkaran itu sudah tercium di pucuk hidungku. Sendok di tangan kanan telah kuletakkan. Sudah pasti makan malam ini tak berlangsung damai.

“Cuma? Enak banget kamu bilang gitu! Kamu pasti selingkuh kan sama dia? Nggak sekali dua kali ini aja ya kamu nganterin dia, Mas!” seru Mama dengan nada suara yang meninggi.

Papa mendengus, “Mau aku jelasin ribuan kali kamu juga nggak bakal percaya!”

“Jelas aku nggak percaya sama pembohong kayak kamu!”

Brak!

Gebrakan di meja membuat seluruh piring dan gelas di atasnya bergetar. Bahkan saking kerasnya hingga membuat jantungku ikut gemetar. Cegukan yang muncul tiba-tiba dari mulut membuat fokus Papa dan Mama teralih padaku. Kutautkan jari-jemari di bawah meja makan untuk menahan ketakutan yang mulai mendera saat tatapan mata mereka seolah mentransfer segala kemarahan kepadaku.

Aku memang sering mendengar suara tinggi Papa dan Mama. Segala bentakan juga gebrakan meja, tapi tetap saja aku takut.

Aku tak bisa menyembunyikan jika aku takut dan benci saat menghadapinya.

“Aku ... sangat takut.”

Makan malam itu berakhir memecahkan sebuah perang baru. Makanan di atas meja utuh tak tersentuh. Di salah satu kursi aku hanya bisa menunduk saat Papa dan Mama saling tuding menumpahkan amarahnya.

Selama itu aku menahan baik-baik air mata yang mulai menyapa di pelupuk.

Tidak apa-apa. Sudah biasa. Semuanya akan baik-baik saja.

Afirmasi itu terus mengelilingi kepala. Menjadi penguat agar aku tetap tegap. Toh, tak ada yang sempurna.

“Memang nggak ada sempurna,” gumamku sembari menatap kepulan asap dari secangkir coklat panas yang baru saja diletakkan oleh pelayan.

Senyum kecilku mulai muncul karena mencium aroma manis dari minuman kesukaanku itu.

“Kecuali kamu. Kamu sempurna,” ucapku sembari meraih gagang cangkir dan bersiap untuk meminumnya. Akan tetapi, pergerakanku terhenti kala seseorang tiba-tiba mengambil duduk di depanku.

“Minggu lalu kamu nggak datang.”

Meskipun aku bukan orang rohis, aku tetap berusaha menjalankan ibadah sebaik mungkin. Juga berupaya selalu berbaik sangka pada segala yang akan Tuhan gariskan pada hidupku. Termasuk mendatangkan laki-laki berkacamata ini. Laki-laki yang beberapa bulan terakhir menjadi objek diam-diam indera penglihatanku.

“Ah, aku ....”

Sore itu aku hanya berencana menikmati secangkir coklat panas untuk memperbaiki perasaan yang terus sendu karena mengingat pertengkaran Papa dan Mama. Kupikir rasa manis mampu membuatku lebih baik, tapi ternyata saat laki-laki itu melempar tawa kecil karena aku kehilangan kata-kata untuk menjawab terlihat jauh lebih manis.

“Aku Saka. Sakala. Kurasa kamu udah tahu sih.”

Saka biasanya duduk dua meja di depanku. Bersama empat kawan lain yang selalu gempar saat melempar canda, termasuk meneriaki nama masing-masing.

“Saka!”

“Saka!”

Jadi, ya.

Apa yang dikatakan Saka benar. Aku tahu namanya.

“Ya, aku tahu,” ucapku dengan malu-malu.

Aku bisa merasakan wajahku yang panas. Mungkin sudah ada semu merah yang menghiasi kedua pipi. Aku ingin menunduk agar Saka tak menatap keadaanku, tapi mata itu mampu menghipnotis agar aku tak berpaling darinya.

“Tapi aku nggak tahu nama kamu,” sahut Saka.

Aku rasa pendengaranku bermasalah saat menangkap nada sedih di ucapannya. Dan aku merasa jika telingaku memang aneh ketika dia lanjut berbicara.

“Jadi, siapa namamu, Kakak Manis?”

Mataku berkedip selama tiga kali saat ia menjulurkan tangan dengan senyum manisnya. Tahi lalat yang berada di pipi kirinya nampak lebih jelas saat dia tersenyum selebar itu.

“Ay,” jawabku setelah berhasil mengumpulkan kesadaran. “Ayla.”

Aku membalas tautan tangan Saka dengan gugup. Satu hal yang bisa kupastikan adalah kehangatan yang diberikan oleh telapak tangan itu saat menggenggamku.

Tautan itu tak terputus selama beberapa detik. Saka enggan melepaskanku. Melalui tautan tangan itu, aku sadar jika acara diam-diam mengagumi Saka selama beberapa bulan terakhir telah ketahuan.

“Namanya cantik,” ucap Saka. “Aku panggil Ay,” lanjutnya sembari melepas genggaman tangan.

Seketika aku menghela napas dengan teramat panjang. Aku jadi sadar jika aku telah menahan napas dengan waktu yang cukup lama ketika tangan kami saling bertaut.

“Hahaha! Nggak perlu tegang, santai aja.”

Celetukan Saka membuatku menggigit bibir bawah secara spontan.

Aduh, malu-maluin!

Sudah pasti wajahku terlihat sangat konyol sekarang. Aku bagaikan pencuri yang terpergok!

“Jadi, kenapa kamu minggu kemarin nggak ke sini?” Saka kembali mengulang tanya yang semula belum kujawab.

Pertanyaan itu bagaikan pintu yang terbuka lebar untuk saling mengenal. Bukan sebatas diam-diam mencuri pandang di setiap sore.

“Aku ... aku harus ngerayain ulang tahun bersama Papa dan Mama,” jawabku, memilih untuk jujur. Meskipun perayaan itu tetap berakhir menyedihkan karena aku mendapatkan amarah alih-alih doa selamat.

“Oh? Selamat ulang tahun!”

Saka kembali mengulurkan tangan. Aku membalas dengan lebih tenang untuk kedua kalinya.

“Terima kasih.”

“Aku nggak bawa kado nih. Jadi gantinya biar coklat itu aku bayar.” Saka menunjuk cangkir coklat di depanku.

“Nggak perlu—”

Aku buru-buru menggeleng, namun Saka tetap memotong ucapanku.

“Sama cheese cake, kan?”

Aku terhenyak. Saat Saka tersenyum dan berdiri menuju tempat pemesanan, aku sadar jika bukan aku saja yang diam-diam memperhatikan selama beberapa bulan terakhir.

Rupanya, dia tahu.

Saka pun tahu tentangku, juga tentang coklat panas dan kue keju kesukaanku.

Di penghujung sore pada minggu kedua bulan Juli. Saka yang duduk tanpa permisi di depanku mengulurkan sebuah cerita yang mampu membuatku merasa sempurna.

Kesempurnaan yang selama ini kurindukan.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Peneduh dan Penghujan
324      269     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta
Sang Musisi
391      255     1     
Short Story
Ini Sekilas Tentang kisah Sang Musisi yang nyaris membuat kehidupan ku berubah :')
Fallen Blossom
565      366     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
Le Papillon
3274      1284     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Desire Of The Star
1492      935     4     
Romance
Seorang pria bernama Mahesa Bintang yang hidup dalam keluarga supportif dan harmonis, pendidikan yang baik serta hubungan pertemanan yang baik. Kehidupan Mahesa sibuk dengan perkuliahannya di bidang seni dimana menjadi seniman adalah cita-citanya sejak kecil. Keinginannya cukup sederhana, dari dulu ia ingin sekali mempunyai galeri seni sendiri dan mengadakan pameran seni. Kehidupan Mahesa yang si...
Your Moments
10195      2609     0     
Romance
Buku ini adalah kumpulan cerita mini random tentang cinta, yang akan mengajakmu menjelajahi cinta melalui tulisan sederhana, yang cocok dibaca sembari menikmati secangkir kopi di dekat jendelamu. Karena cinta adalah sesuatu yang membuat hidupmu berwarna.
Sacrifice
6847      1741     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
ALACE ; life is too bad for us
1056      641     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
The Eternal Love
21482      3260     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...