Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Senja turun, aktivitas di kampus surut. Ruang-ruang kuliah senyap, perpustakaan telah tutup. Hanya beberapa lokasi yang masih ada aktivitas mahasiswa, terutama masjid kampus, dan beberapa markas UKM.

Marco kembali ke kampus, masuk ke homebase yang sepi. Sendirian dia duduk sembari melihat berbagai hal dari ponselnya. Pikirannya kemudian mengembara ke masa silam, masa awal kuliah. Selama ini dia mengira, tak ada yang membuatnya takut. Bahkan kematian pun tidak.

Beberapa kali Marco melihat pendaki gunung yang tak sadarkan diri karena terkena hipothermia, dan membantu menggotong mereka untuk turun gunung. Pernah pula Marco turun gunung dengan menggotong kantong mayat dari pendaki yang sudah tewas dan jasadnya mulai hancur. Marco juga beberapa kali melihat climber jatuh dari tebing, dan remuk. Dia tetap mendaki gunung, dan memanjat tebing, di manapun ada tebing yang bisa dipanjat. Kalau jatuh, ya jatuhlah. Begitu pikirnya.

Namun sekarang .... kenyataan bahwa hampir seluruh rekannya sudah menyusun skripsi, bahkan sudah ada yang siap diwisuda bulan depan, telah membuat dirinya takut. Rasa sepi menyergap batinnya. Dia takut ditinggal sendirian di kampus itu, oleh rekan-rekan yang sudah seperti keluarga.

Batinnya bertanya, Benarkah aku takut ditinggal oleh mereka semua? Atau ... aku hanya takut ditinggal oleh satu orang saja?

***

Sambil berjalan pulang, Maryam mengingat saat perkenalannya dengan Marco, obrolan di antara mereka, dan terutama saat Marco berusaha menghindarkan dirinya dari kasus kematian Raymond. Setelah Raymond dikabarkan meninggal, Marco langsung menyuruh Maryam pulang kampung, sampai bela-belain membelikan tiket mobil travel yang cukup mahal. Marco yang mengantar Maryam ke pool travel. Belakangan Maryam baru menyadari, bahwa saat itu Marco berusaha supaya polisi tidak membidik dirinya menjadi saksi.

“Kamu selalu baik sama aku, sampai-sampai aku berharap lebih.” Batin Maryam berucap. “ternyata khayalanku yang ketinggian. Selama empat tahun aku kuliah, aku terlanjur bermimpi … mimpi ingin bersama Marco selamanya. Padahal itu mimpi yang mustahil. Sekarang aku harus bangun! Inilah kenyataannya, aku selesai kuliah, dan Marco bakal pergi dari hidupku.”

Maryam bergegas memasuki halaman rumah kos. Dia ingin tidur lelap siang itu, melepaskan ketegangan dan kepenatan selama berbulan-bulan menyusun skripsi. Dan semoga jika terbangun nanti, dirinya sudah lebih ikhlas melepaskan Marco dari hatinya.

Jam 17:30 sore, Maryam merasakan tubuhnya lebih segar, setelah mandi. Dia sedang membereskan buku-bukunya, dimasukkan ke travel bag. Sebagian barangnya semasa kuliah, besok akan dibawanya pulang ke rumah orang tua di Cirebon. Maryam akan mengabarkan dirinya sudah beres sidang, dan bisa ikut wisuda bulan depan. Jadi keluarganya bisa menyiapkan ongkos untuk menghadiri acara wisudanya. Kalau misalnya keluarga mau menginap, biar saja orang tuanya numpang tidur di kamarnya. Masak sih, pemilik kos nggak mengizinkan, cuma semalam saja.

Maryam menoleh saat rekan sekamarnya masuk.

“Maryam, ada Marco di teras depan, cari kamu.”

Maryam pergi ke luar kamar, dan menuju bagian depan dari tempat kos itu. dilihatnya Marco sedang berdiri di teras sembari bicara dengan seseorang lewat ponsel. Marco menoleh ke arah Maryam.

“Ada apa Marco?”

“Lagi sibuk?”

“Nggak. Sudah sore begini, kamu baru pulang dari kampus? Kukira tadi kamu pergi bareng Cepi?”

“Memang bareng Cepi, makan siang di kantor papaku. Aku ngobrol banyak dengan papaku, terus aku balik lagi ke kampus. Cepi pulang ke tempat kosnya, aku ke sini.” Lantas Marco menyodorkan ponselnya. “ada yang mau bicara dengan kamu.”

“Siapa?” Maryam menerima ponsel itu dengan heran.

“Tanya aja sama dia. Silakan ngobrol, aku mau mindahin motor dulu. Barusan kuparkir di pinggir jalan gang, tapi kayaknya bakal menghalangi kendaraan yang lewat. Aku mau pindahkan motor dulu. Kamu ngobrol aja lewat hape!” Marco malah pergi.

Maryam menempelkan ponsel itu ke telinganya. “Hallo?”

“Ya, apa kabar, Maryam?” Suara seorang pria.

“Alhamdulilah, baik. Maaf, kalau boleh tahu, saya bicara dengan siapa?”

“Saya papanya Marco, dia ada di situ, kan?”

Maryam kaget dan kontan deg-degan. Ya ampun, apa yang sudah kulakukan, hingga papanya Marco sampai menelepon aku? pikir Maryam risau.

“Maaf Pak, saya tidak tahu kalau sedang bicara dengan Bapak. Maafkan saya tidak sopan, menanyakan tentang Bapak….”

“Jangan sungkan-sungkan, Maryam. Kabarnya kamu sudah selesai sidang sarjana. Dapat nilai berapa?”

“Alhamdulillah, skripsi saya dinilai A, IPK 3,7.”

“Wah, nilai yang bagus sekali. Kamu sudah punya rencana setelah selesai kuliah?”

“Saya akan bekerja, Pak. Maksud saya, saya akan melamar kerja.”

“Ke mana kamu mau melamar kerja?”

“Belum tahu Pak, mencari dulu lowongan kerja.”

“Apakah kamu berminat pada urusan busana?”

“Urusan busana? Saya cuma bisa menjahit sedikit-sedikit, pakai mesin jahit yang manual. Itupun belajar dari ibu saya, bukan hasil kursus. Yang saya jahit hanya baju untuk dipakai sendiri, belum berani menjahitkan baju buat orang lain.”

“Begini Maryam, mamanya Marco kan, sibuk mengurusi kegiatan sosial, butik busana muslim miliknya jadi agak terabaikan. Kamu mau bekerja di butik itu? Bukan jadi pramuniaga toko. Lowongannya untuk staf kantor. Lokasi kantor pusatnya di Jalan Dago.”

Maryam terkesima, tak bisa bicara.

“Bapak paham kok, kalau kamu belum bisa memutuskan sekarang. Mungkin sebetulnya kamu ingin bekerja sesuai pendidikanmu. Kamu Sarjana Pendidikan, mungkin kamu pengin mengajar, ya?”

“Saya sangat berterima kasih, Pak. Dengan senang hati saya ingin bekerja di butik itu, jika diperkenankan.” Sesaat Maryam terdiam, karena hatinya merasa ada yang janggal. Tawaran pekerjaan itu memang sangat mengagetkan, dan bagai sebuah anugerah baginya. Akan tetapi, kalau cuma urusan menawari pekerjaan, bisa dilakukan oleh Marco sendiri. Kenapa Pak Ardian Wiratama yang bicara? Ada apa sebenarnya?

“Waduh… Bapak kok, malah bicara urusan kerja ya? Itu mah nomor sekian! Nanti aja lagi kita bicarakan! Begini Maryam, Bapak harus to the point ya, sebelum hape yang kamu pegang itu low bat….”

“Iya Pak?”

“Begini… bagaimana kalau Bapak melamar kamu?”

“Hah?! Apa…?” Maryam tercengang.

“Tentu saja bukan buat Bapak, tapi buat anak Bapak.”

“Tapi… tapi…”

“Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengan Marco?”

“Tapi… bukankah hal seperti ini harus dibicarakan dulu dengan yang bersangkutan?” Maryam tergagap-gagap.

“Memangnya Marco tidak pernah ngomong apa-apa sama kamu? Bapak kira, dia sudah pernah bilang bahwa dia menyukai kamu, menyayangi kamu, mencintai kamu, dan ingin membina rumah tangga denganmu.”

Maryam memejamkan mata, tenggorokannya seperti tersedak oleh rasa haru yang menyeruak. Diingat-ingatnya lagi, kapan Marco pernah bicara begitu? Kayaknya sih… malah sering! Tapi ngomongnya sambil cengengesan, dan nggak mengenal tempat! Kadang Marco bicara di kantin, di perpustakaan, di ruang kuliah, di homebase, bahkan di angkot! Dasar gila! Jadi selama ini Maryam menganggap semua omongan itu sebagai guyonan yang kelewatan! Ternyata….

“Kamu ingin memikirkannya, dan bicara dulu dengan keluargamu di Cirebon?”

“Iya Pak.”

“Itu bagus. Berarti kamu bukan wanita yang suka mengambil keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan pendapat keluarga. Nanti beritahu jawabannya, kalau sudah ada keputusan yang menurutmu paling baik bagi dirimu.”

“Iya Pak, terima kasih.”

Pembicaraan selesai. Maryam duduk di teras, sambil berpikir. “Apakah semua ini serius, atau … cuma gurauan? Tapi masak sih, Pak Ardi bergurau untuk urusan melamar seorang wanita? Tapi… jangan-jangan Marco yang bergurau kelewatan! Marco kan, memang suka jahil!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags