Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

“Sudah bicaranya?” Marco datang lagi ke teras rumah kos Maryam, sembari menjinjing kantong plastik warna hitam.

“Siapa sih, yang barusan bicara denganku? Siapa tahu ada orang yang kamu suruh ngaku-ngaku papa kamu, dan mau bikin gurauan yang kelewatan?!”

“Astaghfirullah! Masak sih, aku bercanda untuk urusan melamar kamu?”

“Jadi… kamu serius?” tanya Maryam tersendat.

“Kupikir daripada hubungan kita nggak ada juntrungannya, lebih baik kita menikah. Karena itulah kuminta papaku bicara denganmu. Kalau aku yang ngomong, nanti kamu anggap aku cuma bercanda kelewatan.”

“Tapi… kenapa tiba-tiba sekali?”

“Jadi kamu maunya gimana? Pacaran dulu? Kalau aku mah dari dulu juga okeh lah! Tapi sejak dulu kamu berusaha istiqomah dengan prinsip, tidak ada konsep pacaran dalam Islam! Aku menghargai prinsipmu itu, dengan cara nggak pernah mengajakmu pacaran. Sekarang kamu sudah tamat kuliah, jadi aku mengajakmu menikah, supaya hubungan kita bisa lebih dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.”

Maryam terdiam.

“Aku memang belum selesai kuliah, papaku juga belum mengizinkan aku bekerja di perusahaannya kalau kuliahku belum kelar. Tapi aku sudah punya usaha yang cukup menghasilkan. Bukan usaha milik papaku, tapi milikku sendiri.”

“Usaha apa?”

“Sudah lebih dari setahun aku membuka arena outbound buat anak-anak dan remaja, lokasinya di kebun manggis milik kakekku yang mulanya kurang terpelihara. Setiap akhir pekan selalu ramai di sana, ada camping ground, ada kafenya pula. Beberapa pemuda warga setempat membantuku mengelola arena outbound itu. Hasilnya memang belum banyak, tapi setidaknya aku akan membiayai rumah tangga dengan hasil kerjaku sendiri, bukan minta ke keluargaku.”  

Maryam masih sangsi. “Marco, kamu lagi mabok ya? Siapa tahu barusan kamu kebanyakan makan duren, sampai blenger, olab, pusing, dan melantur?”

“Jadi kamu belum juga percaya? Jadi harus bagaimana caranya untuk mengajak kamu menikah?”

Maryam tertunduk, kayaknya Marco serius. “Kalau soal menikah … aku harus memikirkannya dulu, harus ngomong dulu sama keluarga.”

“Oke. Pulanglah dulu ke orang tua. Aku bisa sabar kok, asal mikirnya jangan kelamaan. Apakah tiga hari cukup untuk berpikir?”

“Kenapa harus tiga hari?” Maryam mendongak.

“Supaya keluargaku bisa siap-siap, kalau nanti jawabanmu menerima.”

“Siap-siap apa?”

“Tentu saja siap-siap berangkat ke Cirebon, untuk melamarmu secara resmi kepada orang tuamu. Kupikir… mendingan kita menikah setelah kamu diwisuda, mungkin 2 minggu setelah acara wisuda.”

Menikah dua minggu setelah wisuda? Itu kan, tidak sampai sebulan lagi! Maryam mendadak kesal. “Kenapa kamu memutuskan semuanya sendiri? Kamu merasa nggak perlu meminta pendapatku?”

Marco malah tersenyum lebar. “Ini baru rencana, nanti bisa kita rundingkan lagi, apakah pernikahan kita mau lebih dipercepat? Misalnya, seminggu lagi?”

Maryam cemberut. “Apa yang seminggu lagi? Kamu pikir ini urusan mengumpulkan tugas kuliah ya?”

“Jangan sewot dong!”

Maryam terdiam, merenung. Menikah di usia 22 tahun, buat wanita tentu sudah cukup dewasa. Tapi buat pria? Usia Marco hanya lebih tua beberapa bulan dari usia Maryam. Apakah Marco sudah siap memikul tanggung jawab besar sebagai suami? Kalau urusan finansial, pasti bukan masalah bagi Marco. Namun, berumah tangga bukan melulu urusan materi. Maryam mendadak ragu, apakah Marco yang avonturir dan bertemperamen tinggi itu, bisa menjadi suami yang baik buatnya?

Lalu bagaimana dengan perbedaan status sosial ekonomi di antara mereka?  Kalaupun seluruh keluarga Marco menyetujui rencana pernikahan itu, bukan berarti hilang masalah buat Maryam. Dirinya akan memasuki keluarga kaya dan terhormat, bergaul dengan kalangan atas. Apakah dirinya mampu berada di tengah mereka, dan tidak bersikap kampungan, yang nantinya malah mempermalukan seluruh keluarga Wiratama?

Sedangkan keluarga Wiratama adalah keluarga terhormat dan dihormati banyak orang. Bukan cuma karena Ardianto Wiratama adalah seorang pengusaha kaya dan politikus, tapi karena para leluhur keluarga itu adalah Menak Priangan (kaum ningrat dan penguasa di Priangan). Beberapa pejabat tempo dulu yang bergelar RAA (Raden Adipati Arya) adalah leluhur Marco. Beberapa di antara leluhur keluarga itu, tercantum namanya dalam buku sejarah, sebagai pejuang kemerdekaan. Leluhur mereka yang tidak menyandang senjata saat revolusi, adalah tokoh-tokoh pergerakan, yang punya banyak andil dalam mendirikan surat kabar tempo dulu, juga beberapa lembaga pendidikan di Jawa Barat.

Di wilayah Bandung, banyak keluarga lain yang jauh lebih kaya dari keluarga Wiratama, tapi martabat, kehormatan dan kebanggaan keluarga, adalah milik mereka. Sanggupkah Maryam, yang cuma gadis biasa, gadis Pantura, mampu menjaga martabat keluarga Wiratama? Mendadak Maryam sangat takut, salah ucap, salah bertindak, bisa mencemarkan nama baik keluarga besar itu.

Maryam bicara pelan, “Marco … coba kamu pikirkan dan pertimbangkan lagi baik-baik, apa untungnya buat kamu, kalau menikah sekarang? Mungkin kamu malah bakal rugi, karena nggak bisa lagi pergi sesuka hati ke mana aja. Lagipula, kenapa ngajak nikah sama aku? Aku nggak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Bahkan kamu sering menyebutku gadis Pantura. Kamu nggak malu sama keluarga besarmu, kalau punya istri gadis Pantura?”

“Kamu masih tersinggung karena aku pernah memanggilmu gadis Pantura?”

Maryam tak menjawab, tapi ekspresi wajahnya kecut.

“Begini Maryam, di kontak ponselku, huruf M itu hanya untuk mamaku, karena aku khawatir salah pencet, salah sambung. Mau menelepon teman, malah memilih kontak mama, atau sebaliknya. Jadi semua kontakku yang namanya berawal huruf M, aku save di huruf yang lain dalam kontak telepon. Termasuk nama kamu. Karena kamu orang Cirebon, ya sudah, aku namakan kontakmu itu Gadis Pantura. Tapi kalau kamu nggak suka, nanti aku ganti nama kontak itu.” Lantas Marco memperlihatkan daftar kontak di ponselnya. Pada huruf M memang hanya ada satu kontak, Mama.

“Nggak perlu diganti, aku nggak apa-apa. Maaf, kalau aku baru paham alasanmu.”

“Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Lantas Marco menyodorkan kantong plastik hitam yang sejak tadi dipegangnya. “Ini buat kamu, boleh dibagi-bagi dengan temanmu.”

Maryam melihat isi kantong plastik itu, ternyata buah pir, beratnya sekitar 3 Kg. “Terima kasih, Marco. Padahal di kampus tadi, kamu sudah membagikan coklat pada orang-orang yang sidang hari ini. Coklatku juga baru dimakan sebagian, kamu sudah ngasi lagi buah pir. Aku jadi merepotkan.”

“Aku tinggal dulu, ya. Kamu shalat istikharah aja dulu, Maryam!”

“Aku kira, bukan aku yang harus shalat istikharah, tapi kamu, Marco! Bisa saja, ini adalah rencanamu yang terlalu tergesa-gesa, tanpa berpikir matang. Nah, cepetan pulang, lalu shalat istikharah! Mungkin saja kamu berubah pikiran.” Maryam tersenyum, berusaha bersikap biasa, separo bergurau, padahal dia ingin menangis saat berucap itu.

Marco terdiam cukup lama, menatap Maryam. Dalam hati dia merasa, kayaknya Maryam ragu, atau bahkan tidak mau menerima lamaran darinya?

Marco bicara, “Maryam, mungkin kamu berharap dilamar oleh seorang ikhwan aktivis dakwah, bukan orang macam aku.”

Maryam tertegun, hatinya bertanya, benarkah begitu? “Marco, semua wanita muslim tentu ingin mendapat suami yang shaleh. Tapi keshalehan itu tidak didapat dari lahir, atau warisan orang tua. Keshalehan adalah proses belajar, memperdalam agama, memperbanyak ibadah, menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Laki-laki shaleh tidak melulu para aktivis dakwah, pasti di tempat lain juga banyak orang yang shaleh, yang mau berusaha untuk shaleh. Berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin. Eh, maaf ya, aku malah ceramah.”

Akhirnya Marco berucap, “Aku akan berusaha ikhlas, kalaupun pada akhirnya kamu menolak. Aku janji, kita tetap berteman. Oh ya, apa pun jawabanmu, tawaran bekerja di butik milik mamaku itu, tetap berlaku.” Lantas Marco pamitan pulang.

Maryam cuma bisa mengangguk.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags