Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

 Maryam keluar dari ruang sidang. Hari itu dia sudah dinyatakan lulus sebagai Sarjana Pendidikan. Perasaan tegang akibat barusan dicecar berbagai pertanyaan oleh tim penguji, masih menyelimutinya. Maryam duduk di teras, sendirian, menenangkan diri. Sementara seorang lagi rekannya barusan masuk ke dalam ruang sidang. Hari itu memang ada belasan mahasiswa FKIP dari berbagai jurusan yang skripsinya disidangkan.

  “Kalau ingat bagaimana Bapak dan Emak pontang-panting bekerja demi mendapat uang untuk biaya kuliahku di tahun pertama… rasanya aku nggak percaya, akhirnya aku jadi sarjana dalam waktu empat tahun.” Maryam mengusap matanya yang basah dengan ujung jilbab. Dia bahagia, bisa ikut diwisuda bulan depan, yaitu di bulan Agustus.

 Apa rencana hidupnya setelah lulus kuliah? Tentu saja bekerja. Jika kelak dirinya mendapat pekerjaan yang sesuai pendidikannya, dengan gaji yang memadai untuk biaya hidup, dia sangat bersyukur. Namun, Maryam berusaha realistis. Zaman sekarang pekerjaan yang sesuai pendidikannya dan diberi gaji yang layak, cukup sulit didapat, saingan banyak, koneksi tidak punya, uang pelicin apalagi. Jadi kalau nanti belum dapat kerja yang gajinya memadai untuk hidup, Maryam berencana akan tetap jualan makanan dan baju batik. Waktunya untuk berjualan pasti akan lebih banyak, karena sudah tidak terikat kuliah lagi.

Maryam berharap masih bisa ngontrak kamar di sekitar kampus, karena sudah banyak pelanggan makanan jualannya di sekitar kampus itu. Dia akan berusaha mencari pekerjaan di Bandung. Sambil menunggu panggilan kerja, dia bisa menyibukkan diri dengan jualan makanan. Jika nanti sudah dapat kerja, barulah dia pindah ke tempat kos yang dekat dengan tempat kerja. Maryam memang berencana akan tinggal di Bandung, setidaknya hingga dua tahun ke depan. Salah satu adiknya kuliah di UPI Bandung. Adiknya itu terkadang kekurangan biaya hidup. Maryam ingin mendukung adiknya itu hingga selesai kuliah.

Lamunan Maryam buyar saat beberapa rekannya datang, lalu memberi selamat. Mereka pindah ngobrol ke tempat lain, karena seorang dosen menegur mereka yang cekikikan di dekat teras ruang sidang. Maryam betul-betul kangen pada rekan-rekan sekelasnya itu. Setelah memasuki semester VIII masa perkuliahan, mereka disibukkan dengan tugas akhir, dan merampungkan skripsi, sehingga sangat jarang bertemu, apalagi berkumpul. Mereka datang ke kampus cuma kalau ada konsultasi dengan dosen pembimbing masing-masing. Tidak setiap hari mereka bisa melihat wajah rekan sekelasnya, minimal satu orang saja.

Hari itu banyak yang sidang, sudah dikabarkan lewat grup WA. Belasan orang mahasiswa senior berdatangan ke kampus, untuk memberi support bagi rekan-rekannya yang menghadapi sidang skripsi, sekalian melepas kangen, dan saling memberi info tentang kemajuan dari penyusunan skripsi masing-masing.

Di antara mahasiswa senior itu ada Cepi. Walaupun Cepi belum bisa menyusun skripsi, namun dia tetap hadir untuk memberi dukungan kepada para mahasiswa yang pernah sekelas dengannya ketika awal kuliah. Tiba- tiba saja seseorang dengan kepala plontos menghampiri Cepi dan rekan-rekannya.

“Hei Marco, rambut lo ke mana?” tanya salah seorang mahasiswa senior.

“Nggak tahu.” jawab Marco yang baru tiba, “gue bangun tidur, tiba-tiba aja sudah gundul.”

Ada seorang mahasiswi yang pura-pura menangis. “Hiks, hiks, hiks, Marco my man… dulu, waktu gondrong, kamu paling ganteng di kampus ini. Tapi sekarang  ...  lo kayak Pak Ogah!”

“Buset deh!” Marco geleng-geleng kepala. Kemudian dia merogoh ranselnya, mengeluarkan beberapa kotak berisi coklat. “Ini sebenarnya khusus buat yang mau sidang, dan sudah sidang sarjana, cemilan buat meredakan stress.” Marco membagikan coklat itu pada beberapa orang.

Marco lanjut bicara, "Nah, ada sisa, jadi yang nggak sidang juga bisa kebagian coklat." 

Cepi menyeringai melihat sobatnya itu. Dia sudah tahu, beberapa orang mahasiswa FKIP adalah rekan sekolah Marco di masa SMP dan SMA. Jadi sebenarnya Marco ingin memberi ucapan selamat melalui coklat itu, bukan cuma buat Maryam, tapi buat beberapa rekannya di masa lalu yang kebetulan satu kampus. Karena coklat yang dibawa cukup banyak, pada akhirnya semua mahasiswa yang sedang berkumpul itu kebagian coklat.

Berhubung ada yang gatal tangan pingin numpang menggaruk tangannya di kepala Marco, yang mulai ditumbuhi lagi dengan rambut sepanjang 1,5 mm, akhirnya Marco mengikat kepalanya pakai syal.

Cepi bicara pada rekan-rekannya yang sudah selesai sidang, termasuk Maryam. “Hari ini kalian sudah jadi sarjana. Bulan depan kalian semua bakal diwisuda, dan aku ditinggal sendirian di kampus ini.” Suara Cepi terdengar sedih. “Aku masih harus ikut kuliah bareng adik kelas. Banyak mata kuliah lagi. Malu-maluin ya?”

“Kok, kamu sedih banget sih, Cepi?”

“Iya, sebenarnya aku ngomong sedih begini mewakili dia!” Cepi terbahak sembari menuding ke arah Marco.

“Oooh, jadi Marco yang sedih ya?” tanya seorang mahasiswi, dia teman lama Marco di masa SMA. Dia juga tahu jika Marco cukup dekat dengan Maryam. Makanya dia jadi ingin iseng menggoda. “Marco Sayang, kamu jangan kecil hati begitu. Semangat dong! Kamu kan, climber, segala macam udah kamu panjat, ya kan cin? Nah, masak kuliah yang tinggal sebentar lagi, nggak bisa kamu taklukkan? Pokoknya, kamu itu adalah cowok kita yang paling guanteng .... ai lap yu pul.”

“Serius nih, ngerayu aku? Aku juga bisa serius menanggapi rayuan seperti itu.” Marco menatap para mahasiswi itu, mereka malah cekikikan sembari saling senggol.

Ada sesuatu yang tiba-tiba bergetar di hati Marco, saat dipanggil “Sayang” oleh temannya. Sekonyong-konyong hatinya merasa ingin selalu dipanggil “Sayang”, tapi bukan panggilan dengan nada bergurau seperti tadi. Dia ingin ada seorang wanita yang memanggil dirinya “Sayang” dengan penuh rasa cinta dan respek. Wanita yang halal untuknya.

“Ya ampun, kenapa gue jadi sentimentil begini?”  pikir Marco.

“Tenang Bro, masih ada gue.” ujar Cepi pada Marco. “Gue juga belum nyusun skripsi. Keteteran kuliah, gara-gara ngikutin lo naik gunung melulu!”

“Kudunya lo jangan ngikutin gue!” tukas Marco, “Kalau urusan kuliah, gue ini nggak patut diikutin, apalagi dicontoh sama siapapun!”

“Tapi ada sisi positifnya kita masih beredar di kampus.” Cepi duduk di sebelah Marco. “Kita masih di sini saat ospek Maba di tahun ajaran baru nanti. Kesempatan terakhir buat kita usaha cari cewek! Selama ini ternyata kita kagak diminati sama mahasiswi! Dari yang sekelas sama kita, hingga adik kelas kita di semua angkatan, nggak ada yang mau nempel sama kita! Lihat aja, lo sama gue, masih jomlo juga hingga sekarang! Nah, siapa tahu, Maba yang akan datang ke kampus ini, ada yang nyangkut ke kita!”

“Kalau ternyata tetap nggak ada yang mau nyangkut?” tanya Marco.

“Berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita berdua!” Cepi tampak serius. “Mungkin kita harus datang ke paranormal, buat dibukakan aura!”

“Apa? Buka aurat? Lo aja sendiri sana!”

Cepi terbahak-bahak, kemudian bicara lagi. “Kita makan di depan yok!” Maksud Cepi, tentu saja di warung tenda depan kampus.  Tempat makan yang masih belum mau didekati lagi oleh Marco.

Cepi menepuk-nepuk pundak Marco. “Jangan terus-terusan paranoid! Nggak bakalan ada lagi yang membubuhkan racun! Kita duduk di tenda Mang Sueb, lo harus pesan jus alpukat dan bakso! Lo harus menghilangkan rasa takut, rasa trauma, dan memakannya sampai habis! Kalau lo nggak mau… berarti lo nggak punya nyali lagi!”

“Males ah!” jawab Marco.

“Jam begini biasanya jam istirahat murid SMP yang sekolahnya di dekat kampus kita, mereka suka jajan juga di warung tenda itu. Ayo kita cuci mata!”

Marco akhirnya berdiri. “Okeh lah kalau begitu!”

“Dasar buaya buntung! Anak SMP mau dicaplok juga!” omel teman-temannya yang wanita.

“Kalau Marco bukan buaya buntung ....” tukas Cepi, “tapi musang yang lagi bir@hi.”

“Ha ha ha.” Marco malah terbahak.

“Pergi sana!” teriak salah seorang mahasisiwi senior.

Maryam menatap punggung Marco dan Cepi yang semakin menjauh. Barusan Marco tampak sedih, tapi itu karena bakal kehilangan banyak teman yang sudah duluan lulus, bukan karena kehilangan seorang Maryam. Pikir Maryam, berusaha menerima kenyataan, sebentar lagi Marco bakal pergi dari hari-harinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags