Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Polisi meminta izin untuk memeriksa kendaraan milik keluarga Ronald Sanjaya, tapi ada penolakan keras.

“Anak saya sudah mati, masak masih difitnah sebagai pelaku tabrak lari?” begitu tanggapan Ronald. “bilang sama keluarga Wiratama, jangan mentang-mentang Raymond sudah meninggal, lantas semua tuduhan bisa dilempar ke sini, karena orang mati tidak bisa membela diri! Saya tidak rela, anak saya yang sudah tiada, terus saja dikejar dengan berbagai tuduhan keji!”

Polisi mengeluarkan bukti baru, yaitu kwitansi tanda terima pembayaran dari Raymond, untuk perbaikan mobil. Pada kwitansi itu, ada tanggal Raymond mengirimkan mobilnya untuk diketok bagian depannya yang penyok. Tanggal yang tercantum adalah dua hari setelah kejadian tabrak lari itu. Mobil itu selesai diperbaiki dan diambil lagi oleh Raymond, tiga hari kemudian dari tanggal masuknya. Ironisnya, kwitansi itu diperoleh polisi dari bengkel Black Falcon! Jadi… Raymond memperbaiki mobilnya di bengkel Black Falcon.

Akhirnya polisi berhasil juga memeriksa mobil jeep milik Raymond. Bagian depannya mulus, tapi kwitansi itu sudah membuktikan bahwa mobil tersebut pernah diketok. Sedangkan warna dan jenis catnya, sangat sesuai dengan serpihan cat yang menempel di motor ojek korban tabrak lari. Sedangkan jaket Black Falcon, ditemukan dalam lemari Raymond. Ada bau minuman keras menyeruak dari jaket itu. Yang lebih miris, dalam saku jaket ditemukan ponsel yang sudah dilepas sim card-nya. Ponsel itu milik Kosim. Sudah jelas, bahwa Raymond yang merampas ponsel milik Kosim saat Kosim hendak merekam mobil yang telah menabraknya.

Dari kesaksian beberapa rekan Raymond, yang bersama Raymond pada hari di mana terjadi tabrak lari itu, ternyata malam itu Raymond pergi ke diskotek bersama pacarnya. Sang pacar bersaksi bahwa Raymond sempat menenggak minuman keras. Pukul tiga dini hari mereka pulang. Raymond menyetir dengan ngebut dan ngawur, maklum separo mabuk. Namun, dia berhasil mengantarkan sang pacar hingga tiba di rumah.

Pacar Raymond bersaksi, setelah mengantarnya ke depan pintu rumah, Raymond kembali ke mobil. Saat masih berdiri di dekat pintu mobil jeep, Raymond mengambil jaket dari jok tengah mobil, lalu dikenakan. Ada gambar burung di punggung jaket itu. Ketika polisi memperlihatkan jaket Black Falcon, gadis itu mengenalinya sebagai jaket yang dipakai oleh Raymond saat mau meninggalkan rumahnya.

Setelah itu Raymond kembali menyetir, pulang. Jalan yang diambil melewati sebuah pasar induk. Tak ada kejadian apa-apa saat melewati pasar itu, karena suasana di jalan cukup benderang oleh lampu jalan dan lampu dari lapak para pedagang. Pengendara cukup jelas melihat orang-orang yang lalu-lalang melintasi jalan raya.

Setelah pasar induk telah terlewati, jalanan kembali lengang. Raymond tancap gas untuk segera tiba di rumah. Saat itulah mobilnya menabrak sebuah motor ojek yang sarat muatan. Tukang ojek, penumpang dan barang bawaannya, terpental lalu terhempas ke aspal jalan. Tak ada yang menolong mereka, hingga dua jam kemudian barulah ada sopir angkot yang melihat kedua korban tabrak lari itu. Ketika diangkut ke rumah sakit terdekat, penumpang ojek menghembuskan napas penghabisan.

Ronald Sanjaya cuma terdiam dengan air mata membasahi wajahnya, saat polisi menetapkan Raymond Sanjaya sebagai pelaku tabrak lari, dan membebaskan Marco dari segala tuntutan hukum. Namun, kasus tabrak lari itu ditutup perkaranya oleh polisi, karena tersangka sudah meninggal, tak mungkin diadili.

***

Beberapa orang minta izin menengok Ujo.

“Aku bukan suami yang baik buat kakakmu, Sim….” Ujo menangis di hadapan Kosim, salah seorang yang menjenguknya. “Aku maunya tahu beres saja! Kalau aku bangun pagi, harus sudah ada kopi dan sarapan. Bahan-bahan buat dagang bakso harus sudah disiapkan. Kalau bahan dagangan belum siap, aku memaki-maki dia sebagai istri pemalas, nggak mau bantu suami cari nafkah, maunya ongkang-ongkang kaki saja di rumah sambil menunggu pemberian uang dariku!” Ujo istighfar beberapa kali sambil menyeka air matanya.

Kosim bicara, “Tetehku itu selalu bangun jam tiga pagi buat belanja, katanya supaya bisa pulang sebelum anak-anak terbangun.”

Ujo kembali terisak, lantas bicara, “Kalau anak-anak bangun sebelum istriku pulang dari pasar, aku selalu mengomeli dia karena anak-anak selalu berisik. Aku merasa tidurku diganggu oleh suara anak-anak. Sampai di rumah, istriku akan memasak sarapan, membersihkan peralatan buat dagang bakso, lalu meracik dan mengiris-iris bumbu, merebus kuah bakso…. Seharusnya aku yang belanja ke pasar, dan mempersiapkan daganganku! Tapi aku malah enak-enak tidur! Aku baru sadar bagaimana beratnya beban istriku, saat dia sudah tidak ada. Aku baru sadar, mengasuh anak-anak ternyata jauh lebih berat daripada jualan bakso!”

“Sudahlah Kang Ujo, kita ikhlaskan dia….” Kosim juga terisak.

“Allah memberiku istri yang sabar dan shalihah, tapi bukannya bersyukur, aku malah memperbudaknya dengan membebani pekerjaan yang sebetulnya bukan tugas dia! Hingga Allah menghukumku seperti ini… mengambil lagi dia dariku….”

“Kematian itu takdir yang tidak bisa dihindarkan.” ujar seorang ustaz yang ikut menjenguk Ujo. “Begini Pak ujo, kedatangan saya ke sini, atas permintaaan Pak Kosim. Rencananya Pak Kosim akan menitipkan anak-anak itu di panti asuhan yang saya kelola. Saya mau menerima, asalkan ada izin tertulis dari orang tua kandung si anak.”

“Maafkan saya Kang Ujo. “ ujar Kosim. “bukannya saya nggak mau mengasuh anak-anak, tapi… Kang Ujo tahu sendiri kondisi saya juga lagi susah.”

“Ya Sim, aku setuju anak-anak dititip sementara di panti asuhan. Ustaz, terima kasih mau menerima anak-anak saya. Mereka akan saya jemput lagi jika nanti saya bebas.”

“In Syaa Allah. Memang kondisi panti agak berdesak-desakan saat tidur, tapi anak-anak tampaknya senang, karena banyak teman. Anak sulung Pak Ujo akan saya daftarkan ke Madrasah Ibtidaiyah pada tahun ajaran baru nanti.”

“Biayanya bagaimana, Pak Ustaz? Saya tidak punya uang ....”

“Jangan khawatir, anak panti asuhan mendapat keringanan biaya sekolah. Panti kami punya donatur, jadi kalau ada biaya sekolah yang mesti dibayar, akan dibayar dari dana sumbangan donatur.”

Ujo cuma bisa mencium tangan ustaz sebagai ungkapan terima kasih. Lantas dia beralih pada Kosim. “Bagaimana keadaan…. orang yang saya pukuli itu?”

“Kata polisi, Marco sudah berangsur sembuh.”

“Alhamdulillah… saya berdosa besar kalau dia sampai mati! Kata polisi, bukan dia yang menabrak istri saya. Tapi orang lain… orang yang mati karena racun tikus yang saya bubuhkan pada jus alpukat! Kenapa bisa kebetulan, kalau racun itu tepat sasaran?”

“Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.” ucap ustaz, “Allah sudah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga begitulah yang terjadi.”

Ada pengacara dari sebuah LBH yang datang bersama Kosim.

“Bagaimana peluang Mang Ujo?” tanya ustaz. 

Pengacara itu menjawab dengan berbisik. “Penyidik akan menjerat Mang Ujo dengan pasal pembunuhan berencana terhadap Raymond dan penganiayaan berat terhadap Marco. Mang Ujo bisa kena… maksimal 20 tahun penjara! Akan kami upayakan agar pasalnya berubah, menjadi pasal penghilangan nyawa orang lain tanpa direncanakan. Karena Mang Ujo kan, tidak berniat meracuni Raymond. Cuma karena Raymond iseng, makanya dia yang tewas. Kalau rencana perubahan pasal ini berhasil, mungkin Mang Ujo cuma akan menghuni lapas selama … maksimal juga 10 tahun, mudah-mudahan bisa kurang! Banyak hal yang meringankan, antara lain dia menyesali perbuatannya, dan dia belum pernah dihukum.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags