Sementara itu di markas polisi, beberapa orang penyidik juga sedang membicarakan kasus Marco.
Inspektur Ekky Wahyudi berujar, “Sore ini pengacara meminta izin untuk beberapa orang bisa menjenguk Marco. Sudah saya izinkan, karena saya ingin tahu bagaimana reaksi Marco saat dijenguk oleh seseorang.”
“Siapa?” tanya Ipda. Binsar.
“Lihat saja nanti.”
Sekitar pukul empat sore, pengacara keluarga Wiratama datang ke markas Polrestabes Bandung untuk mengantar tiga orang yang ingin menjenguk Marco. Mereka adalah Cepi, Johan, dan Maryam. Mereka bisa menemui tahanan di sebuah ruangan, mirip ruang tamu, dalam area Sat. Reskrim.
Johan yang duluan bicara, karena melihat sorot mata Marco yang tampak curiga padanya.
“Bang, aku ini memang teman sekelas Raymond, tapi aku selalu netral, Bang. Aku justru ingin tahu, apa yang terjadi sebetulnya? Aku ada di homebase waktu itu. Aku merekam semuanya, tapi aku tidak melihat ada yang membubuhkan sesuatu ke gelas jus itu. Aku yakin, kejadian itu adalah sebuah ketidaksengajaan! Raymond tewas karena kebetulan dia yang meminum jus alpukat itu. Sebetulnya yang tewas bisa siapa saja yang saat itu ikutan minum jus beracun itu!”
“Menurutmu begitu?” gumam Marco, sambil duduk bertopang dagu.
“Kenapa ada sisa serbuk arsenik dalam bagasi motor lo?” tanya Cepi.
“Entah.” Marco malah mengerling ke arah Maryam, “Kenapa kamu ke sini?”
Maryam bicara dengan agak terbata-bata, “Marco, aku bersedia bersaksi, mungkin bisa membebaskan….”
Marco langsung memotong ucapan Maryam, “Tidak perlu!”
“Tapi kamu nggak bersalah, nggak seharusnya berada di sini!”
“Kamu jangan ikut campur urusanku! Pulang sana!”
“Marco, aku hanya ingin membantu ….”
“Aku nggak butuh bantuanmu, Maryam! Mestinya saat ini kamu masih ada di Cirebon! Aku sudah bilang, kamu pulang kampung dulu, yang lama di sana! Kenapa malah balik ke Bandung?”
“Dekan menyuruh mahasiswa yang sudah beres praktik mengajar, untuk segera mengajukan judul skripsi, supaya nanti bisa ditentukan siapa dosen pembimbingnya. Makanya aku kembali ke kampus untuk mengajukan judul skripsi.”
Marco memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak lagi menatap Maryam, lalu bicara, “Maryam, pulanglah, urus saja skripsimu!”
“Marco, aku datang hanya ingin membantumu ….”
Kalimat Maryam langsung diputus oleh kata-kata pedas yang keluar dari mulut Marco.
“Maryam, jangan pernah datang lagi ke sini! Jangan sampai orang tuaku mengira, aku pacaran dengan kamu! Selama ini aku cuma kasihan sama kamu! Sadar nggak sih kamu, kalau kita tidak sebanding?!”
Kalimat itu sangat telak memukul perasaan Maryam. Tanpa bicara lagi, Maryam langsung berdiri, lalu berlari keluar dari ruangan itu.
Johan jadi sewot. “Aku nggak nyangka, Abang tega bicara seperti itu sama Kak Maryam!”
“Salahmu sendiri, kenapa mengajak Maryam ke sini!” Marco berdiri.
“Gue yang ngajak Maryam.” ujar Cepi.
“Mustinya jangan!”
“Kenapa sih, lo sekeras itu sama Maryam?” tanya Cepi.
Marco tak menjawab. Seorang polisi lantas menggiringnya kembali ke sel tahanan.
Cepi mencari-cari Maryam di teras, dan di halaman kantor polisi itu, tapi tidak ada. Menurut petugas jaga, Maryam sudah berlari meninggalkan Mapolrestabes, lalu naik angkot. Maryam pasti langsung pulang ke tempat kosnya, pikir Cepi.
Cepi pulang ke tempat kos. Sekitar pukul delapan malam, dia menelepon ke nomor Maryam.
“Aku ada di warung soto dekat tempat kos kamu. Ayo makan malam bareng!”
“Makasih Cepi, aku sudah makan tadi sore.”
“Jujur saja, aku kaget mendengar omongan Marco sama kamu. Bisa-bisanya dia ngomong kasar begitu sama kamu!”
“Sudahlah Cepi, jangan ngomongin orang lain! Kamu makan aja!”
“Kamu nggak tersinggung sama omongan si Marco?”
“Mulanya iya, tapi… sudahlah, aku maafkan aja.”
“Pasti sejak dulu dia sering ngomong kasar sama kamu, ya?”
“Nggak kok ….”
“Nggak usah nutupin kelakuan Marco yang bikin empet! Pasti dia sering bikin kamu tersinggung! Tapi kamu terlalu baik, jadi dia dimaafkan melulu!”
“Nggak seperti itu, Cepi. Aku sudah kenal Marco cukup lama, nggak pernah sekalipun dia menyinggung perasaanku. Tapi sekarang keadaannya lain. Kayaknya dia stress, depresi, karena ditahan. Aku bisa memaklumi kalau dia bicara ngawur! Jadi aku memaafkannya, supaya dia nggak terbebani.”
“Ya sudahlah.” Cepi mengakhiri kontak telepon.
Esok pagi, ketika Maryam sedang mencuci pakaian, seorang penghuni kos mendatanginya.
“Mbak Maryam, di teras ada cewek nanyain Mbak Maryam.”
Maryam meninggalkan cuciannya. Dia mengira yang mencarinya itu seseorang yang mau pesan peyek. Maryam tiba di teras depan, melihat seorang gadis muda sedang berdiri. Walau tidak kenal, tapi Maryam merasa pernah melihat gadis itu, di homebase Adventure. Berarti gadis itu adalah mahasiswa juga di kampusnya.
“Hey Mbak, kenalin, namaku Windy.” ucap gadis itu, “Aku anggota Adventure.”
“Ada apa, ya?”
“Aku pengin ngobrol serius dengan Mbak Maryam, tapi nggak di sini, mesti di tempat yang jauh dari kampus.”
“Ngobrol tentang apa?”
“Tentang Bang Marco.”
***
“Silakan pesan apa saja yang kalian inginkan!” ujar Windy. “Aku yang traktir, karena aku yang ngundang kalian ke sini.”
Tiga orang mahasiswi duduk melingkari meja di sebuah rumah makan yang jauh dari kampus Universitas Taruma Bandung. Suasana rumah makan itu sudah agak sepi pada pukul dua siang. Jam makan siang sudah terlewat. Windy sengaja mencari suasana sepi untuk bicara, di tempat yang cukup jauh dari orang-orang yang mengenal mereka. Sebenarnya yang diundang oleh Windy hanya Maryam, tapi Windy tahu jika Maryam merasa curiga dengan undangannya, maka Windy mempersilakan Maryam membawa teman. Maryam mengajak Nining, sahabatnya.
Pesanan makanan telah dihidangkan. Windy mempersilakan kedua seniornya untuk makan. Maryam dan Nining makan mi ayam, sementara Windi makan siomay saus kacang dan minum jus jeruk.
“Kita akan bicara dulu soal Raymond.” Windy menatap Maryam. “Aku ada di homebase waktu kejadian yang menimpa Raymond.”
“Jadi apa sebetulnya tujuan kamu ngundang saya ke sini?” tanya Maryam.
“Tentang kejadian di homebase. Saat itu banyak orang dalam homebase, sekitar 25 orang. Lalu datang tukang bakso itu, ngantarin bakso dan jus alpukat buat Bang Marco. Makanan itu ditaruh di atas meja. Saat itu Raymond punya rencana jahil buat Bang Marco. Semua ketawa-ketawa, lalu ada yang mengintai Bang Marco yang waktu itu lagi ngobrol dengan Mbak Maryam.”
Windy lanjut bertutur, “Lantas ada yang pergi ke halaman belakang kampus buat mengambil mengkudu. Saat itu nggak ada yang terlalu fokus pada jus alpukat, tapi… aku melihat seseorang memasukkan serbuk pada jus alpukat itu.”
“Siapa?” Maryam dan Nining bareng bertanya.
“Aku nggak akan sebut namanya, kecuali di hadapan polisi….”
“Kamu melihat seseorang memasukkan serbuk ke jus itu, kenapa kamu membiarkannya?” tanya Maryam.
“Waktu itu aku nggak tahu Mbak, aku nggak mengira bakal ada peristiwa tragis itu. Tadinya aku kira, serbuk yang dibubuhkan itu semacam gula diet, yang nggak bahaya sama sekali.”
Windy bicara lagi. “Aku tahu saat itu Mbak Maryam lagi ngobrol dengan Bang Marco. Secara tanpa sengaja, Mbak Maryam sudah menghindarkan Bang Marco dari kematian karena diracuni. Mungkin di mata dia, Mbak Maryam itu dewi penolong, dan seumur hidup dia akan berterima kasih kepadamu dengan cara apa pun!”
“Jadi rencana kamu bagaimana, Windy?” tanya Maryam.
“Aku suka sama Bang Marco, sejak aku mulai kuliah. Makanya aku pilih masuk UKM Adventure, supaya bisa dekat dengan dia.” Windy menatap Maryam. “Aku bisa bersaksi tentang siapa orang yang memasukkan serbuk ke jus alpukat itu. Kesaksianku mungkin dapat membebaskan Bang Marco dari tuduhan sebagai pembunuh Raymond.”
Maryam bicara, “Kenapa saat polisi memeriksa kesaksian anggota Adventure, kamu nggak bilang soal itu? Seolah kamu nggak tahu apa-apa?”