Ketika itu Marco baru duduk di semester III FE, rektor mengangkatnya jadi komandan, karena menganggap sudah sepakat. Pengangkatan Marco berbarengan dengan peresmian nama untuk organisasi pencinta alam yang baru itu, the Adventure.
Banyak penolakan keras dari anggota senior, karena Marco dianggap belum waktunya memimpin organisasi kampus. Marco tidak gentar dengan boikot dari para seniornya. Dia jalan terus bersama para anggota yang menginginkan konsolidasi kuat di tubuh organisasi pencinta alam.
The Adventure harus mulai dengan modal nol, kecuali markas yang diberikan oleh pihak kampus. Seluruh peralatan yang mulanya jadi inventaris organisasi pencinta alam di tiap fakultas, tidak disetorkan ke homebase Adventure. Para senior menguasai peralatan itu untuk modal mendirikan organisasi pencinta alam tandingan. Rektor menyuruh organisasi tandingan itu untuk bubar, tapi para pentolannya malah minta diberi kesempatan untuk membuktikan, siapa yang bakalan lebih survive. Mereka terang-terangan menantang Marco.
Marco tidak peduli dengan tantangan itu. Dia membuat program kerja, dengan tujuan jangka pendek mencari dana untuk membeli peralatan. Dia mengajak para anggota Adventure untuk berbisnis, menjualkan barang milik orang lain, jika laku akan dapat komisi penjualan. Maka penuhlah homebase dengan barang dagangan, seperti ransel, sandal gunung, kaos, topi, bandana, stiker, dan beragam aksesoris yang biasa dipakai mahasiswa. Saat ada acara bazar dan pameran di kampus, stok barang makin banyak, karena memang permintaan meningkat. Anggota Adventure memperoleh komisi penjualan yang cukup besar setiap bulannya. Uang itu mereka kumpulkan, lalu sebagian besar dipakai untuk membeli peralatan buat kegiatan pendakian gunung dan climbing.
Secara bertahap dan dengan upaya sendiri, UKM Adventure membeli peralatan standar, seperti tenda, sleeping bag, matras, tambang, karabiner, dan peralatan navigasi darat seperti peta, kompas dan altimeter. Akan tetapi jerih payah itu malah dicibir oleh organisasi pencinta alam tandingan. Mereka menyebut satu-satunya prestasi Marco sebagai komandan adalah mengubah homebase menjadi pasar!
Beberapa rekan Marco yang merasa tidak nyaman dengan sindiran itu, akhirnya terbujuk untuk berpindah kubu ke organisasi tandingan. Merasa bisa menggembosi Adventure, maka para senior mulai membujuk para anggota Adventure untuk latihan bareng pada setiap dua minggu sekali. Latihan dasar berupa panjat tebing sangat diminati. Sedangkan di kubu Marco, jarang latihan karena peralatan yang minim.
Kesal dengan tindakan penggembosan itu, Marco lantas membalas dengan cara memecat semua anggotanya yang ikut latihan bareng organisasi pencinta alam tandingan. Orang-orang yang dipecat tidak terima dengan keputusan sepihak itu. Beberapa orang menggeret Marco dari ruang kuliah, untuk dipaksa mencabut keputusannya, atau bakal dikeroyok beramai-ramai.
Ketika itu Marco tidak menjawab dengan ucapan, melainkan dengan tinjunya yang mendarat di rahang salah seorang anggota Adventure yang sudah dipecatnya. Nyaris saja terjadi pengeroyokan terhadap Marco, kalau saja tidak buru-buru dipisah oleh para satpam kampus. Namun tinju itu ibarat menggebuk genderang perang!
Rebutan tempat buat parkir motor di kampus, ataupun sekadar bersenggolan di warteg, bisa bikin kedua kubu saling menyerang ke homebase lawan. Adu jotos tak terelakkan. Masa itu menjadi masa yang penuh konflik, ancaman, terror, bahkan tawuran massal di kampus. Untunglah tidak sampai jatuh korban jiwa, dan areal kampus juga tidak ada yang ikut dirusak. Biarpun berseteru, mereka tidak membawa-bawa pihak lain dalam konflik mereka. Betul-betul cuma antar parapendaki gunung itu saja.
Pada tahun berikutnya, Marco terpilih lagi menjadi komandan Adventure. Konflik dengan para senior sudah jauh berkurang, karena para senior itu banyak yang kemudian sibuk menyusun skripsi, ataupun ada yang sudah lulus kuliah. Perlahan tapi pasti, organisasi pencinta alam tandingan tersingkir dengan sendirinya. Para anggotanya yang masih aktif, secara suka rela bergabung dengan Adventure. Barang-barang inventaris dikembalikan ke kampus, kemudian diberikan ke homebase.
Maka amanlah kampus Universitas Taruma Bandung. Kemudian ada bantuan dana, untuk mendirikan dinding panjatan (Climbing wall) yang lebih tinggi dan kokoh. Di situlah para climber kampus berlatih. Beberapa orang climber, termasuk Marco, turut kompetisi lokal dan nasional. Ternyata mereka dapat mengukir prestasi.
Cepi mengakhiri penuturannya. “Begitulah yang terjadi, Pak. Sekarang ini tidak ada lagi konflik dalam organisasi Adventure, semua sudah berdamai.”
“Benarkah sudah damai?”
“Yang saya lihat semua baik-baik saja.”
Akhirnya Cepi diperbolehkan meninggalkan markas polisi itu.
Inspektur Ekky bergumam, “Semua tampak baik-baik saja, tapi tiba-tiba ada yang tewas dalam homebase. Sepertinya memang ada konflik internal yang belum tuntas. Bagai api dalam sekam, begitu terpercik bensin … Boom! Mungkin saya harus mencari tahu, siapa, atau hal apa, yang jadi percikan bensin itu. Kita lihat nanti, seperti apa kesaksian dari Marco, the wild guy.”
***
Marco datang memenuhi panggilan Polrestabes Bandung. Inspektur Ekky Wahyudi tadinya mengira Marco bakal datang bersama pengacara, karena Marco adalah putra dari seorang pengusaha kaya yang sanggup membayar jasa pengacara terkenal. Ternyata Marco datang sendiri.
“Apakah Anda tahu, kalau jus beracun itu kemungkinan besar ditujukan kepada Anda? Tapi salah sasaran malah diminum oleh Raymond.” tanya Inspektur Ekky, sang penyidik.
“Saya tidak tahu.” jawab Marco.
“Menurut info yang kami dapat dari beberapa mahasiswa, Anda pernah berselisih paham, bertengkar, bahkan berkelahi dengan orang lain, kan?”
“Ya, tapi kejadiannya sudah lama.”
Inspektur Ekky menatap tajam pada Marco. “Ceritakan saja, kapan, di mana, dengan siapa saja, dan karena masalah apa, Anda berkelahi!”
Dengan berat hati, akhirnya Marco bercerita tentang perseteruannya dengan beberapa orang. Semuanya berkisar pada pembentukan Adventure, organisasi pencinta alam kampus. Kisah yang dituturkannya kurang lebih sama dengan hal-hal yang telah dipaparkan oleh Cepi.
“Kalau mendengar dari cerita Anda, sepertinya tidak ada penyelesaian konflik dengan musyawarah, ishlah, ataupun persetujuan damai, antara kubu Anda, dengan kubu yang pada mulanya menolak pembentukan Adventure.” ujar Inspektur Ekky.
“Tapi memang sudah tidak ada konflik lagi, karena semua senior yang waktu itu membentuk organisasi pencinta alam tandingan, sudah lulus kuliah.” tukas Marco.
“Konfliknya reda, tapi bukan karena kalian telah saling memaafkan. Lawan-lawan Anda terpaksa meredakan konflik itu demi menuntaskan kuliah! Bisa jadi masih ada dendam yang belum dituntaskan. Apakah ada di antara para senior yang pernah berkelahi dengan Anda, saat ini bekerja di kampus, atau mungkin ngantor di dekat kampus?”
“Ya, ada.” jawab Marco. “Ada satu orang yang menjadi asisten dosen di Fakultas Teknik, namanya Dudung Koswara.”
Inspektur Ekky mencatat nama itu. “Ada lagi?” tanyanya.
“Di dekat kampus saya ada kantor cabang sebuah bank. Ada senior saya yang bekerja di situ, namanya Yusuf Saputra.”
“Tahu dari mana, kalau Yusuf Saputra bekerja di bank dekat kampus Anda?”
“Saya beberapa kali bertemu dengannya, di warung makan sekitar kampus.”
“Jadi Yusuf Saputra lebih suka makan bareng mahasiswa. Apakah saat Anda pesan bakso, Anda melihat Yusuf dan Dudung berada di tenda bakso itu?”
“Ya. Tapi di antara kami sudah tak ada permusuhan. Saya dan Yusuf bahkan sempat ngobrol di tenda bakso itu. Hubungan saya dengan Dudung juga baik.”
“Bagaimana hubungan Anda dengan anggota Adventure yang perempuan?”
“Saya menganggap mereka semua seperti adik.”
“Saat Anda berada di tenda es buah, ada dua orang mahasiswi yang juga mau beli es. Anda sempat bicara sedikit dengan mahasiswi itu, lalu Anda pergi. Apakah Anda merasa terganggu dengan kedatangan cewek-cewek itu? Siapa mereka?”
“Yang seorang bernama Sonya, dia anggota Adventure. Yang seorang lagi saya tidak tahu namanya. Saya pergi bukan karena kedatangan mereka. Saya merasa lapar, dan ingin makan makanan yang berkuah panas, makanya saya beli bakso. Ternyata di tenda bakso malah harus antri.”