Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Suasana di tempat keberangkatan mobil travel itu mulai ramai. Para penumpang yang hendak berangkat pagi ke berbagai kota tujuan, telah berdatangan. Mereka duduk di ruang tunggu, sembari sarapan pagi, menonton siaran TV, ataupun main ponsel. Maryam melirik ke arah Marco yang masih duduk di sebelahnya. Sejak tiba di pool travel itu, mereka belum saling bicara. Barusan sama-sama sarapan, sekarang Marco malah nonton siaran TV, dari pesawat TV yang terpasang di dinding ruangan.

“Marco ….” Bisik Maryam.

“Hmmm.”

“Sebenarnya … apa yang terjadi pada temanmu itu?”

“Siapa?”

“Kejadian yang di homebase.”

“Aku nggak tahu. Kamu nggak usah ikut ngebahas urusan itu.”

“Marco … kamu nggak melakukan apapun pada dia, kan?”

Marco menoleh ke arah Maryam. “Kenapa bertanya seperti itu?”

“Ehmmm … soalnya … dulu kan, kamu pernah berantem sama dia.” Dia yang dimaksud Maryam adalah Raymond.

“Aku sudah lupa. Jangan ngebahas lagi urusan itu!”

Maryam terdiam, kemudian dia mengambil ponsel, mengirim chat.

Maryam mengirim chat pada adiknya, mengabarkan dirinya akan tiba di Cirebon mungkin nanti siang. Maryam masih berpikir bahwa mobil travel sama dengan bus, yang biasa ngetem di beberapa tempat untuk mencari penumpang. Makanya dia memperhitungkan waktu tibanya di rumah orang tua, sesuai dengan lama perjalanan jika dirinya naik bus.

“Kamu nge-chat siapa?” tanya Marco.

“Adikku, bilang aku sampai Cirebon nanti siang.”

“Kalau berangkat jam tujuh pagi, mungkin jam sepuluh juga sudah sampai di Kota Cirebon. Mobil travel lewat tol, lebih cepat. Oh ya, nanti sampai di Cirebon, mobil ini bakal berhenti di pool travel, bukan di terminal bus Harjamukti. Jadi jangan minta adikmu menjemputmu di Terminal Harjamukti.”

“Pool-nya di mana?”

“Aku nggak tahu, nanti kamu tanya aja. Kalau nanti sudah sampai rumah, kasih kabar ke aku ya.”

Ponsel Marco berbunyi.

“Ada apa?” tanya Marco, yang menelepon adalah satpam di rumahnya.

“Ada surat panggilan dari Polrestabes Bandung, Den.”

“Sebentar lagi saya balik.”

Saatnya berangkat. Sesaat sebelum Maryam masuk ke mobil, dia mendengar Marco bicara padanya.

“Nggak usah buru-buru balik ke kampus. Mending liburan aja dulu di Cirebon.”

“Kenapa?”

Marco tak menjawab, malah memberi isyarat supaya Maryam segera naik ke mobil travel. Setelah duduk, Maryam menoleh ke jendela, berharap melihat Marco berdiri sembari melambai padanya. Ternyata dia tidak menemukan sosok Marco. Maryam mengira Marco langsung pergi ke area parkir untuk mengambil mobilnya.

Marco berjalan menjauhi tempat yang ramai, lantas menelepon satpam di rumahnya.

“Kang, tolong jangan bilang sama papa dan mama soal surat panggilan itu ya!”

***

Penyidik berpikir, jika target sebenarnya dari kasus “Jus Alpukat plus arsenik” adalah Marco, bisa jadi motifnya adalah konflik dalam tubuh organisasi Adventure. Kemudian penyidik memanggil anggota senior Adventure, yang tidak ada di homebase pada saat tewasnya Raymond. Tujuannya adalah penyidik ingin mencari keterangan dari anggota senior yang tidak terkait dengan peristiwa tewasnya Raymond. Penyidik meminta beberapa nama kepada wakil rektor bagian pembinaan UKM. Kemudian seorang mahasiswa senior datang ke markas Polrestabes Bandung, dia adalah Cepi Hidayat.

“Kapan Anda tahu kalau Raymond sudah meninggal?”

“Sore itu, dari chat di grup WA Adventure.”

“Setelah itu apa yang Anda lakukan?”

“Saya calling ke nomor Raymond, tapi nggak aktif. Terus saya calling ke beberapa orang lagi, ada yang percaya, ada yang tidak.”

“Anda menelepon Marco?”

“Ya.”

“Bagaimana reaksinya?”

“Dia nggak percaya, dikiranya cuma gurauan garing.”

“Kenapa sampai ada yang tidak percaya dengan berita kematian rekan?”

“Mungkin akibat seringnya anak-anak Adventure itu saling menjahili satu sama lain, dan kayaknya kejahilan mereka itu sudah berlebihan.” tutur Cepi.

 “Anda berteman dekat dengan Raymond?”

“Saya berteman baik dengan semua anggota Adventure. Hanya saja tentu tidak semua jadi teman dekat, karena tidak satu angkatan.”

“Apakah Raymond pernah bertengkar dengan orang lain?”

Cepi terdiam cukup lama. Dia berpikir, kalaupun bukan dari mulutnya, polisi akan menemukan kebenaran dari mulut anggota Adventure yang lain. Maka Cepi memilih untuk bicara apa adanya, sesuai yang pernah dia saksikan.

“Ya, Raymond pernah bertengkar dengan Marco.”

“Selain dengan Marco, dengan siapa lagi Raymond pernah bertengkar?”

“Setahu saya hanya dengan Marco.”

“Alasan pertengkarannya apa?”

“Sepertinya hanya persaingan untuk mewakili kampus ke beberapa kompetisi panjat dinding. Selama ini lebih sering Marco yang dikirim untuk ikut kompetisi.”

“Kalau Marco, pernah bertengkar dengan siapa lagi, selain dengan Raytmond?”

“Marco berantem dengan banyak orang.”

“Berantem itu apa maksudnya? Bertengkar adu mulut? Atau berkelahi?”

“Berkelahi, tawuran.”

“Masalah apa?”

“Dulu pernah ada konflik di organisasi pencinta alam kampus.”

“Konflik seperti apa?”

“Rebutan jabatan komandan.”

“Memangnya siapa yang jadi komandan waktu itu?”

“Marco.”

“Apakah waktu masih ada konflik itu, sering terjadi perkelahian di kampus?”

“Nggak sering, tapi … ya begitulah, tiba-tiba saja ada yang gelut, lalu merembet ke yang lain ikut-ikutan gelut, akhirnya jadi tawuran.”

“Apakah waktu itu, Raymond dan Marco sudah bermusuhan?”

Cepi menggelengkan kepala. “Waktu itu belum ada Raymond di organisasi pencinta alam kampus. Yang suka gelut itu Marco dengan senior-senior kami.”

He’s a wild guy! Pikir Inspektur Ekky.

 “Apakah waktu itu ada korban luka parah, atau bahkan korban jiwa?”

“Cuma luka-luka saja, dibawa ke rumah sakit, dijahit, besoknya pulang.”

“Apa sih, yang mereka pertengkarkan?”

“Ada konflik internal dalam organisasi kami”

“Seperti apa konfliknya? Bagaimana permulaannya?”

Cepi menceritakan sebuah situasi saat pembentukan organisasi Adventure. Ceritanya sebagai berikut:

Pada mulanya ada beberapa organisasi pencinta alam di kampus Universitas Taruma Bandung, yang didirikan pada setiap fakultas. Tak jarang secara bersamaan mereka mengajukan proposal kepada pihak kampus, untuk mengadakan kegiatan tertentu. Karena tidak mungkin memprioritaskan fakultas tententu, lantas Rektor membuat aturan, bahwa setiap Unit Kegiatan Mahasiswa cuma diizinkan memiliki satu wadah resmi. Jika ada lebih dari satu organisasi untuk kegiatan yang sama, maka organisasi-organisasi itu harus dileburkan jadi satu, demi memudahkan pendanaan dan kontrol dari pihak kampus.

Dengan aturan itu, maka 7 organisasi pencinta alam di 7 Fakultas, harus digabung jadi satu. Saat itu banyak yang menolak, karena ego fakultas masing-masing, tapi juga tak sedikit yang setuju. Rektor memberi batas waktu untuk pendirian organisasi yang baru. Jika mayoritas anak-anak pendaki gunung itu tetap menolak organisasi baru, maka Rektor tidak mengizinkan ada organisasi pencinta alam di kampus, hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Akhirnya suara mayoritas setuju dengan organisasi baru hasil penggabungan itu. Namun muncul masalah lain, semua fakultas merasa paling berhak menempatkan orangnya untuk memimpin. Hingga mendekati batas waktu yang ditentukan oleh Rektor, belum juga ada kata sepakat tentang komandan baru. Untuk menyelamatkan organisasi pencinta alam dari kebuntuan, puluhan anggota mengajukan usul, mereka tulis semua nama anggota pencinta alam yang dianggap sudah cukup berpengalaman dalam urusan mendaki gunung, dari semua fakultas, dari semua angkatan. Ada lebih dari 50 nama. Nama-nama itu ditulis dalam kertas kecil, lalu dimasukkan ke dalam gelas, dan gelas itu dikirim kepada Rektor untuk dipilih. Kesepakatan bersama, nama siapapun yang dipilih oleh rektor, itulah komandan baru.

Di hadapan rektor, gelas berisi puluhan gulungan kertas itu dikocok mirip arisan, lantas Rektor mengambil salah satu gulungan kertas, membuka gulungan kertas itu, lantas menatap para aktivis pencinta alam.

“Kalian sudah sepakat, nama siapapun yang saya baca, akan jadi komandan?”

“Iya Pak.”

Rektor membaca nama pada kertas. “Marco Radea Wiratama.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags