Mang Sueb, pedagang es buah di dekat Kampus Universitas Taruma Bandung, sedang berada di kantor polisi untuk memberi kesaksian.
“Jadi pada saat Marco membeli jus alpukat dari gerobak saya, ada dua orang mahasiswi yang mau beli es buah. Setelah Marco pergi, salah satu cewek menyebut Marco sebagai orang yang belagu banget. Lantas temannya menyahut, “Ah, lo sewot karena sudah setahun ikut-ikutan naik gunung, masih belum bisa juga menaklukkan Marco! Cari aja yang lain! Masih banyak cowok gondrong!” Lalu cewek itu menjawab, “Kalau gondrong tapi kere, ogah! Gua maunya yang tajir!” Lalu temannya bilang, “Dasar matre!” Lalu kedua cewek itu makan es buah. Begitulah ceritanya , Pak.”
Inspektur Ekky bicara, “Mang Sueb sudah boleh pulang. Terima kasih sudah mau datang. Kalau nanti saya butuh keterangan lagi, Mang Sueb mau kan, dipanggil lagi ke sini?”
“Iya Pak. Tapi… apakah saya sudah boleh dagang lagi Pak?”
“Silakan Mang Sueb, mudah-mudahan laris.”
Inspektur Ekky menyuruh anak buahnya memanggil saksi berikutnya yang sudah menunggu di ruang tamu. Saksi itu adalah Ujo, tukang bakso.
Mang Ujo datang ke kantor polisi setelah dijemput dari rumahnya, untuk dimintai kesaksiannya.
“Saya baru lima hari jualan di kampus, kok sudah ada kejadian seperti ini? Saya nggak tahu apa-apa Pak, racunnya juga ada dalam jus, bukan dalam bakso saya.”
“Belum ada seorang pun yang saya tuduh telah meracuni jus alpukat. Saya memanggil Mang Ujo ke sini cuma untuk minta keterangan. Waktu Marco datang ke tenda bakso Mang Ujo, apakah dia membawa gelas berisi jus alpukat?”
“Iya Pak.”
“Jus itu masih penuh? Belum diminumnya saat dia lagi jalan?”
“Masih segelas penuh, Pak.”
“Lalu bagaimana?”
“Dia pesan mie bakso. Tapi waktu itu saya lagi meladeni pembeli lain yang sudah datang duluan. Dia duduk di bangku sambil memandang ke luar tenda. Lalu dia berdiri lagi, menghampiri saya. Saya bilang, sebentar lagi baksonya saya buatkan. Tapi dia bilang, dia mau menemui dosen. Pesanan baksonya minta dikirim ke markas yang ada panjatannya itu, bareng dengan jus alpukatnya. Lalu dia membayar, dan pergi. Setelah baksonya saya bikin, lalu saya antar pake baki ke markas itu, jus alpukatnya juga.”
“Selama Marco duduk menunggu pesanan bakso, apakah jus itu diminumnya?”
“Kayaknya nggak, waktu saya kirim, jus itu masih segelas penuh.”
“Setelah Marco pergi, Mang Ujo tetap meladeni pesanan bakso kan? Nah, jus itu ada dimana?”
“Ditaruh di ujung meja, dekat teko. Marco sendiri yang meletakkannya di situ.”
“Hmmm… berarti posisi Mang Ujo membelakangi jus itu. Apakah saat itu ada pembeli lain yang duduk di bangku?”
“Ya ada atuh Pak, makanya saya sibuk meladeni juga. Kalau nggak salah, ada lima orang, dua laki-laki, tiga perempuan.”
“Apakah mereka semua mahasiswa kampus itu?”
“Yang perempuan memang mahasiswa. Tapi kalau yang laki-laki dua orang itu, kayaknya bukan. Pakaiannya kemeja lengan panjang yang rapi, pakai celana panjang yang buat orang kantoran, bukan celana jeans. Potongan rambut juga pendek dan rapi, beda dengan mahasiswa mah. Mungkin karyawan yang kantornya dekat kampus. Kan, ada banyak kantor dekat kampus itu.”
”Saat Marco datang, kelima orang itu sudah ada di tenda bakso?”
“Ya. Tapi mereka itu datangnya nggak bareng. Yang cewek-cewek datang duluan, barulah kedua laki-laki itu. Lalu mereka berlima ngobrol.”
“Apakah kelihatannya Marco mengenal salah seorang, atau beberapa orang, di antara orang-orang yang sudah datang duluan ke tenda bakso?”
“Kayaknya dia kenal sama kedua laki-laki itu.”
“Bagaimana sikap Marco saat melihat kedua laki-laki itu?”
“Saat masuk ke tenda, dia pesan bakso, lalu saya bilang tunggu sebentar. Lalu saya dengar Marco bilang, “Hei, apa kabar?” Lalu dia menyalami salah seorang dari laki-laki itu. Mereka ngobrol sebentar, tentang tempat kerja laki-laki itu. Setelah itu, Marco duduk, dan memandang ke luar tenda.”
“Setelah Marco pergi, apakah ada yang ngomongin Marco?”
“Ya, saya dengar kedua laki-laki itu menyebut Marco sebagai pengkhianat, penjilat, pemecah belah kekompakan anak-anak pendaki gunung.”
“Lalu apa lagi yang mereka katakan?”
“Kata mereka, sekali-sekali Marco harus dipermalukan di hadapan seisi kampus, hitung-hitung balas dendam. Barulah sakit hati mereka dianggap lunas.”
***
Keesokan pagi, pukul enam, ponsel Maryam berbunyi. Panggilan dari Marco. Maryam mengira Marco ingin titip sesuatu.
“Nggak, aku nggak mau titip apa-apa. Kamu sudah siap berangkat?”
“Sudah.”
“Aku sudah ada di mulut gang tempat kos kamu. Lekas ke sini! Nanti aku antar kamu ke pool travel.”
Maryam berpikir Marco menunggunya di mulut gang dengan motor trail. Separuh hatinya ingin duduk di boncengan motor Marco, separuh hati lagi dia tahu hal itu dilarang agamanya, karena Marco bukan mahramnya.
“Marco, aku mau naik angkot.”
“Aku bawa mobil, mau sekalian antar bibi asisten rumah tangga untuk belanja bulanan. Bibi ada di mobilku, jadi kamu nggak usah khawatir … ayo cepatlah ke sini Maryam! Kalau mobilku parkir kelamaan di sini, bisa menghalangi pejalan kaki.”
Sepagi itu, banyak penghuni kos yang masih lelap di bawah selimut. Kalaupun sudah bangun, biasanya mereka memilih mengecek dulu notifikasi medsosnya, ketimbang buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Maryam berjalan ke luar rumah kos, masih sempat pamit pada pemilik kos yang sedang memasak di dapur. Maryam berjalan cepat menyusuri gang, menenteng tas yang agak besar.
Tiba di mulut gang, dia melihat Marco sedang berdiri di sebelah minibus hitam yang terparkir di tepi jalan.
“Hey Maryam, ayo sini masuk!” Marco membuka pintu mobil. “Kamu duduk di depan aja, bibi nggak mau di depan, suka pusing katanya.”
“Mana bibi?” tanya Maryam, dia belum mau naik.
“Sedang beli sarapan.” Marco menoleh ke arah trotoar. Maryam melihat seorang wanita usia sekitar 50 tahunan, sedang berdiri di dekat penjual kue-kue jajan pasar. Di sekitar kampus Maryam memang banyak pedagang makanan, dari pagi hingga malam. Jika punya uang, tentu tidak akan sulit mencicipi beragam makanan.
Wanita yang dipanggil Bibi itu kemudian masuk ke mobil, duduk di jok tengah. Maryam melihat ada keranjang untuk belanja tergeletak di bawah jok kursi. Berarti benar kata Marco, dia mau menjemput Maryam, sekalian mengantarkan asisten rumahnya untuk belanja bulanan. Maryam duduk di sebelah Marco yang mengemudikan mobil. Maryam tidak bicara sepanjang perjalanan, khawatir mengganggu konsentrasi Marco. Lagipula mulutnya juga rasa terkunci, karena rasa gugup, malu, deg-degan. Marco juga tidak bicara, fokus pada kemudi. Akhirnya mereka tiba di pool mobil travel.
Masih banyak waktu untuk menunggu waktu keberangkatan. Bibi yang bernama Rumsih itu mengeluarkan makanan yang tadi dibelinya, ada lontong isi oncom, bakwan sayur, lemper isi ayam dan pisang molen untuk sarapan. Marco mulai makan, dan menyuruh Maryam juga makan. Di pool travel itu ada juga toko oleh-oleh, di toko itu bibi membeli air mineral buat minum majikannya.
“Den, bibi mau belanja sekarang aja ya.”
“Kan, belum buka supermarketnya.”
“Bibi mah nggak belanja di supermarket, mau belanja di pasar aja. Bibi hapal daerah sini, di dekat sini ada pasar. Bibi mah lebih senang belanja di pasar daripada di supermarket. Bibi mau naik angkot aja.”
“Bibi naik taksi aja.” Marco mengambil ponselnya, hendak pesan taksi online.
“Naik angkot juga nggak apa-apa atuh Den. Bibi mah lebih senang naik angkot. Lagian, kasian sopir angkot sudah jarang penumpang.”
“Ya sudahlah, terserah bibi aja. Uang belanja sudah dibawa, kan?”
“Sudah atuh. Bibi pergi dulu ya.”
“Nanti pulangnya naik taksi aja ya Bi, angkot nggak masuk ke kompleks kita.”
Bi Rumsih cuma tersenyum, lantas pamit. Wanita itu juga menoleh ke arah Maryam. “Bibi ke pasar dulu ya, Neng.”
“Iya Bi, hati-hati.”