Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Mang Ujo berjalan ke luar homebase, dia celingukan mencari Marco. Dilihatnya Marco sedang ngobrol dengan seorang gadis berjilbab, di teras sebuah ruang kuliah yang tidak jauh dari homebase. Marco sempat menoleh ke arah Mang Ujo.

Mang Ujo berteriak, “A, bakso sama jus ada di dalam situ.”

“Oke, makasih Mang.”

Marco merasa Maryam ingin bicara sesuatu padanya, tapi tidak nyaman berada di sekitar homebase, makanya dia mengajak Maryam bicara di teras ruangan lain.

“Ada apa sih, Maryam?”

Maryam bingung harus bicara apa, hingga sebuah ide terlintas di benaknya.

“Begini … aku kan, praktik ngajar di SMP, di Cicalengka. Di sana ada sebuah GOR, dekat SMP itu. Di depan GOR itu ada dinding panjat yang kayak itu.” Maryam menuding climbing wall. “Aku melihat beberapa muridku sering memanjat dinding itu, di sore hari. Tapi aku nggak melihat ada orang dewasa yang mendampingi mereka. Aku juga ragu, apakah mereka memanjat dengan peralatan yang memadai, atau sekedar manjat. Tapi mereka itu kayaknya semangat berlatih setiap sore.”

“Terus kenapa?”

“Hmmm … apakah anak usia SMP sudah boleh memanjat?”

“Boleh saja.”

“Aku khawatir mereka cedera, karena sepertinya mereka berlatih sendiri.”

“Baiklah, nanti aku hubungi organisasi panjat tebing di Cicalengka, aku ada beberapa teman di sana. Mungkin mereka ada yang bersedia menjadi instruktur.”

“Iya, terima kasih ….”

“Gimana praktik ngajarnya? Seru?”

“Oh … hmmm … ya.”

“Ada apa sih, sebenarnya? Kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu yang berat buat diomongkan?” Marco merasa paham apa yang dipikirkan Maryam. “Maaf ya Maryam, tapi apakah kamu lagi ada masalah keuangan? Kalau iya … bilang aja, nggak usah ragu. Aku akan bantu ….”

“Bukan masalah uang.” tukas Maryam cepat. “Beasiswaku masih lancar dan cukup.” Maryam menengok dulu ke arah homebase, tak dilihatnya lagi Silvi yang tadi duduk di bangku teras homebase.

“Begini Marco … aku cuma mau bilang … hati-hati sama orang-orang di sekeliling kamu, mungkin saja ada yang … pengin balas dendam sama kamu.”

“Balas dendam karena apa?”

“Bisa apa saja penyebabnya. Mungkin di masa lalu, kamu bikin kesalahan sama seseorang. Kamu merasa semua sudah diselesaikan, tapi bisa saja orang lain berpikir bahwa … harus ada pembalasan terhadap dirimu. Pokoknya kamu harus hati-hati sama orang-orang di sekitar kamu, apakah itu laki-laki, ataupun perempuan.”

Marco malah nyengir. “Kayaknya kamu mimpiin aku mengalami kecelakaan, ya? Makanya Maryam, kalau mau tidur, ya berdoa, jangan mikirin aku melulu.”

Maryam jadi kesal, karena tanggapan Marco malah seperti itu. “Aku harus pergi, ada urusan lain. Pokoknya kamu harus waspada, mungkin ada masalah dari masa lalumu yang belum kelar. Hati-hati, mungkin ada yang mau balas dendam padamu.”

  *** 

Sementara itu, di dalam homebase, ada Raymond sang komandan baru. Dia melihat makanan buat Marco yang terhidang di meja. Sebuah ide muncul di benaknya.

“Hei, coba lo keluar sebentar, lihat Marco lagi ngapain!” perintah Raymond pada salah satu gondronger. Orang yang disuruh segera keluar homebase, tapi tak lama dia sudah masuk lagi, lalu melapor,

“Bang Marco lagi ngobrol dengan ceweknya!”

Raymond menyeringai, lantas dia menyuruh beberapa orang untuk mengambil sesuatu dari tanaman yang tumbuh di taman belakang kampus. Beberapa menit kemudian orang-orang itu sudah kembali ke homebase, tertawa-tawa, lalu memberikan sebuah bungkusan kepada Raymond. Isi bungkusan itu adalah… buah mengkudu.

Buah yang bau itu diletakkan di atas ubin, lalu dilumatkan dengan batu. Setelah hancur, dimasukkan ke dalam gelas bekas jus alpukat. Sedangkan jus alpukatnya sudah diminum sampai habis oleh Raymond. Warna dari jus mengkudu itu memang nyaris mirip jus alpukat. Dengan sehelai kertas, gelas berisi jus mengkudu itu ditutup.

Marco masuk ke homebase, meletakkan ranselnya. Sedangkan para penghuni homebase pura-pura kembali pada aktivitasnya semula, sambil menunggu reaksi Marco. Akan tetapi Marco malah membuka lemari, mengorek-ngorek isinya.

“Cari apa lo?” tanya Raymond.

“Tambang yang merah ada di mana?” Marco menyahut dengan tanya juga. “Itu tambang bukan punya kita, gue pinjam dari Skyger, mau gue balikin. Ada di mana?”

“Di dalam boks.” jawab Raymond, lalu dia memberi isyarat pada temannya.

Temannya Raymond bicara, “Bang, tuh bakso sama jus alpukat, barusan diantarin pedagangnya. Katanya buat Abang ya?”

Marco berjalan mendekati meja, lalu membuka kertas penutup gelas, mengangkat gelas itu, dan meminumnya…. Matanya melotot. Secepat kilat dia berlari ke luar, lalu muntah-muntah di selokan kecil samping homebase. Seisi homebase terbahak-bahak. Dari luar terdengar beraneka ragam sumpah serapah dari mulut Marco. Lantas Marco masuk lagi ke homebase dengan gelas kosong di tangan. Jus mengkudu itu sudah dibuangnya.

“Siapa yang ngerjain gue?!” bentak Marco.

“Sekali-sekali kita kerjain, wajar lah! Nggak perlu ngamuk! Bang Marco juga dulu sering ngerjain kita!” jawab beberapa orang sambil masih tertawa-tawa geli.

Marco melotot menatap rekan-rekannya. Lalu diraihnya ransel dan sebuah helm yang tergeletak di atas lemari. Tak lupa gulungan tambang juga dia bawa. Marco berjalan cepat ke luar dari homebase.

“Bang, baksonya nggak dimakan?” teriak seseorang. “Baksonya mah nggak diapa-apain, Bang!”

Tiada sahutan, kecuali suara mesin motor yang distarter. Tak lama motor trail yang bising itu sudah tancap gas keluar dari kampus. Sedangkan para anggota Adventure masih menghabiskan sisa tawa kemenangan karena berhasil menjahili mantan komandan mereka. Dari mulut mereka, terdengar beberapa cerita tentang kejahilan Marco, terutama saat menggojlok anggota yang baru.

“Waktu diklat Adventure, Bang Marco nyuruh kita bawa bata merah, dibungkus koran, masuk ransel yang kita gendong saat long march dari Tahura Dago sampai kampus! Aku kira bata itu penting banget buat bikin sesuatu, makanya harus dibawa. Eee… Bang Marco bilang, kalau bata itu buat ngeberatin ransel kita doang!” 

“Bang Marco pernah mencampurkan kotoran kebo dan kambing, diaduk dengan air. Mata kita semua ditutup, lalu kita disuruh meminum cairan itu. Nggak ada yang mau minum. Tapi dia membentak-bentak kita, mengancam kita, memaksa kita minum kalau mau jadi anggota Adventure. Eeeh, ternyata yang diminumkan ke mulut kita itu adalah air kopi yang anget dan manis! Gue malu pake acara nangis segala! Kalau tahu itu kopi, kita nggak bakal nolak sampai histeris. Bahkan ada yang sampai pipis di celana segala macam, hi hi hi!”

“Eh, Bang Raymond malah pernah dikerjain sama Bang Marco. Bajigur pesanan Bang Raymond diganti dengan jamu pahit!”

Saat itu Raymond yang lagi duduk di salah satu sudut homebase, tidak bereaksi terhadap omongan rekan-rekannya. Pandangannya tampak kuyu, keringat mengalir di dahinya.

“Astaghfirullah…!” beberapa orang berteriak kaget saat sekonyong-konyong tubuh Raymond jatuh tersungkur ke lantai. Raymond menggelepar sesaat, lalu kejang-kejang.

“Dia sakit, lekas bawa ke ruang kesehatan!”

Di kampus itu ada ruang kesehatan untuk pertolongan pertama. Namun saat itu yang berjaga di ruang kesehatan adalah seorang perawat, karena dokter belum datang. Raymond dibaringkan di atas tempat tidur, dan diberi oksigen. Dokter tiba seperempat jam kemudian. Setelah memeriksa Raymond, dia menyuruh beberapa orang untuk menggotong tubuh Raymond, memasukkannya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Dokter turut dalam mobil yang mengantar Raymond. Namun Raymond tak tertolong, dia meninggal saat tiba di rumah sakit.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags