Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

- Peraturan Bagi Gondrongers -

kesatu: Tidak boleh punya niat untuk dicukur.

kedua : Tidak boleh malas keramas

ketiga : Tidak boleh marah kalau disangka cewek.

 

Maryam menutup mulut menahan tawa setelah membaca tulisan pada karton yang ditempel di pintu homebase. Isi tulisan itu tentu saja cuma peraturan iseng-iseng bagi para anggota pencinta alam yang mayoritas cowok gondrong alias gondrongers.

 Isi homebase itu seperti rumah tinggal, tapi dengan perabotan yang praktis. Ada selusin kursi dan dua meja cukup besar, ada tikar dan matras buat tiduran. Di sudut ada kompor gas, yang biasa mereka pakai buat memasak mi instan, dan sering pula dipinjam oleh pihak lain buat memasak. Mereka juga punya kompor multi fuel yang biasa dibawa saat naik gunung, tapi tentu saja kalau kompor tersebut tidak bisa dipinjam oleh pihak lain. Ada juga beberapa buah panci, penggorengan, dan peralatan makan.

Maryam berdiri di pintu masuk homebase, di mana daun pintunya terbuka lebar. Maryam melongok ke dalam, ada belasan orang di dalam markas pendaki gunung itu. Para anggota pencinta alam yang mayoritas cowok gondrong itu ada yang sedang ngobrol, main gitar, makan, mengonsep tugas kuliah, main game pada ponsel, atau cuma tiduran di tikar. Beberapa anggota yang perempuan juga ada yang sedang nongkrong di markas pendaki gunung itu. 

“Cari Bang Marco, ya Teh?” tanya seorang cowok gondrong, “Bang Marco lagi ada kuliah, mungkin sejam lagi baru kelar. Nanti juga dia ke sini.”

Sebelum beranjak dari tempat itu, telinga Maryam sempat menangkap ocehan dua orang yang ada dalam homebase.

“Jilbab aja syar’i, ternyata nyamperin cowok juga.”

“Cemburu lo?”

“Ngapain cemburu? Nggak level dong! Masak lo mau bandingin gue dengan tukang peyek?”

Maryam tidak mau menoleh ke arah suara itu, yang bicara itu suara perempuan dan laki-laki. Maryam berjalan menjauhi homebase. Dia teringat, selama kuliah dirinya memang tidak pernah mencari-cari Marco sampai mendatangi homebase. Jika dulu dia beberapa kali datang ke homebase, itu karena organisasinya yang meminjam homebase untuk memasak.

Maryam ingin kembali ke tempat kos, tapi urung, karena dia teringat ancaman Silvi terhadap Marco. Maryam merasa punya kewajiban memperingatkan Marco, minimal Marco tahu bahwa Silvi itu mau balas dendam. Supaya Marco waspada. Namun kemudian Maryam teringat, bahwa di tahun-tahun yang telah lewat, Marco pernah beberapa kali berkelahi di kampus.

Marco itu bertemperamen tinggi, gampang tersulut emosi. Bagaimana jika nanti dirinya memberitahu Marco soal rencana balas dendam Silvi, lantas Marco malah lebih dulu bergerak melakukan tindakan terhadap Silvi? Marco bisa dirugikan, Silvi juga terancam keselamatannya. Walau Maryam tidak terlalu akrab dengan Silvi, Maryam juga tidak tega jika Silvi terluka secara fisik.

Maryam tidak kembali ke tempat kosnya, karena dirinya khawatir terlupa pada tujuannya memberi peringatan kepada Marco. Maryam memilih duduk di teras masjid. Lokasi masjid berada di bagian yang lebih tinggi daripada ruang-ruang kuliah. Dari teras masjid bisa terpantau situasi di sebagian besar area kampus.

Setahu Maryam, Marco pernah cuti kuliah selama satu semester karena ikut ekspedisi pendakian ke Pegunungan Jaya Wijaya di Papua. Gara-gara cuti itulah, kuliah Marco jadi keteteran. Normalnya, mahasiswa yang sudah memasuki semester VIII, tidak lagi mengikuti kuliah di kelas, tapi menyelesaikan tugas akhir berupa praktik kerja atau magang, kemudian menyusun skripsi. Namun Marco belum bisa mengerjakan tugas akhir itu, karena masih ada beberapa mata kuliah yang harus diikutinya, bareng adik tingkat.

Maryam memandang ke teras ruang kuliah Fakultas Ekonomi, karena biasanya Marco ikut kuliah di salah satu ruang kelas di situ. Benar saja, beberapa saat kemudian salah satu pintu ruang kelas terbuka, dan seorang dosen keluar. Lantas puluhan mahasiswa juga bubar dari ruang kelas itu. Maryam melihat Marco berhenti di teras, mengobrol dengan beberapa orang. Maryam bergegas menuju homebase, karena biasanya juga Marco bakal datang ke markas itu. Maryam memilih menunggu Marco di dekat dinding panjatan yang tingginya 15 meter.

Sudah seperempat jam menunggu, Marco belum juga muncul. Maryam berpikir, jangan-jangan Marco ada kuliah lagi, dan sudah masuk lagi ke kelas untuk ikut kuliah berikutnya. Maryam pengin kirim pesan chat pada Marco, tapi malu. Selama ini dia jarang kirim-kiriman chat dengan Marco, kalaupun nge-chat, hanya sebatas urusan makanan yang dipesan Marco.

Maryam melihat penanda waktu pada ponselnya, pukul 10:40. Dia sudah akan beranjak pergi, saat melihat Marco sedang berjalan menuju homebase. Marco juga sudah melihat ke arah Maryam.

“Eh, ada gadis Pantura.” Marco tersenyum lebar, dan Maryam mendadak kesal.

Marco terkadang memang menyebut Maryam dengan julukan Gadis Pantura. Bahkan Marco pernah menunjukkan daftar kontak di ponselnya, dia menandai nomor Maryam dengan nama ‘Gadis Pantura’. Bikin Maryam jengkel. Padahal mengetik nama ‘Maryam’ lebih simple. 

 “Maryam, kamu sudah beres praktik ngajarnya?” tanya Marco.

“Eh … iya.” Maryam mendadak gugup, karena saat itu dia melihat Silvi berjalan mendekati homebase.

Silvi malah bicara pada Marco. “Bang, tuh Mbak Maryam sengaja nyari Abang, pengin bicara serius sama Abang katanya.”

“Bicara apa?” Marco menatap Maryam yang makin gugup.

Maryam bingung. Jika dia bicara pada Marco tentang niat Silvi, bisa banyak kemungkinan buruk yang terjadi. Andai Marco percaya, lantas bagaimana jika Marco melakukan tindakan kekerasan pada Silvi? Dengan senang hati Silvi bakal melaporkan Marco ke polisi. Andai Marco tidak percaya, bagaimana jika nanti Silvi yang melakukan tindak balas dendam terhadap Marco saat Marco lengah?

Silvi malah teriak lagi,  “Ayo Mbak Maryam, bilang aja terus terang sama dia!” lantas Silvi duduk santai di bangku kayu, yang ada di teras homebase.

“Ada apa?” tanya Marco.

Maryam tak tahu harus bicara apa. Ketika sedang berpikir, pandangan Maryam menangkap sosok seorang pedagang yang berjalan masuk ke dalam areal kampus sembari membawa baki. Pedagang itu tiba di depan pintu homebase.

Maryam mengenali sosok pedagang itu sebagai Mang Ujo, pedagang bakso yang kerap mampir di tempat kosnya.

Maryam berpikir, “Tumben Mang Ujo dagang di kampus, karena biasanya dia jualan keliling. Atau mungkin dia sudah lelah berkeliling, jadi sekarang memilih mangkal di kampus?”

“Ini baksonya, A.” Mang Ujo menghampiri Marco dengan membawa baki berisi semangkuk bakso dan segelas jus buah.

Marco menoleh pada Mang Ujo. “Oh iya, makasih Mang. Kebetulan saya sudah haus banget.” Marco mengambil gelas berisi jus alpukat pesanannya.  Dia menoleh pada Maryam.

“Maryam, kamu mau bakso? Atau jus buah? Atau dua-duanya? Aku pesankan ya? Nanti kita makan bareng.”

“Aku lagi shaum sunat.”

Marco urung meminum jus alpukat itu, tidak tega minum di depan orang yang sedang berpuasa. Dia menoleh lagi ke arah Mang Ujo, meletakkan gelas berisi jus di atas baki yang masih dipegang oleh Mang Ujo.

“Tolong taruh di meja, di dalam situ, ya Mang. Nanti saya mau makan di dalam situ saja. Nanti mangkuknya pasti saya balikin.”

Mang Ujo melangkah ke pintu homebase, lantas dia permisi hendak meletakkan mangkuk bakso dan gelas isi jus di atas meja.

“Punya siapa tuh?” tanya salah seorang mahasiswa yang lagi nongkrong di dalam homebase.

“Ini pesanan Aa yang gondrong.” jawab Mang Ujo.

“Aa gondrong yang mana?” tanya Raymond, yang sedang ada di dalam homebase.

Temannya Raymond menyeletuk, “Di sini gondrongersnya komplit Mang, ada yang gondrong lurus, gondrong keriting, gondrong gimbal, gondrong tanggung, gondrong brewok, gondrong ganteng, atau gondrong jelek? Mau yang mana Mang?”

“Ah, nggak mau, sama-sama wong lanang!” Ujo tersenyum lebar, lalu meletakkan semangkok bakso dan segelas jus alpukat di atas meja. “Yang pesan ini, adalah Aa gondrong yang di luar sana, sedang ngobrol.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags