Dari dalam ruangan, melalui jendela, Arga terus memperhatikan Reina yang tengah bekerja. Mengetikan sesuatu di keyboard komputer. Wajahnya memang serius, namun Arga tahu bahwa istrinya sedang tidak bahagia.
"Apa yang harus aku lakukan Re agar kamu kembali bahagia?" tanya Arga pada dirinya sendiri dengan wajah sendu.
.
.
Sampai pada hari di mana semua staf yang berada di Kantor pusat berangkat menuju Bali. Reina berada di kelas bisnis bersama Arga, Baskara dan beberapa Direkrut. Arga menoleh ke arah bangku sampingnya di mana Reina tengah bersandar dengan mata terpejam dan telinga yang memakai earphone.
Sejak hari Reina memecahkan gelas, tak ada yang Reina bicarakan seperti biasa selain soal pekerjaan. Reina lebih banyak terdiam dan mengurung diri di Kamar, sampai Arga tidak berani mengganggunya. Arga yang rindu tidur bersama Reina lagi.
Di sisi lain Arga terdapat Baskara yang menoleh ke arah Arga. "Pak," panggil Baskara dengan suara pelan namun masih bisa tertangkap telinga Arga.
"Ada apa?" tanya Arga dengan wajah datar.
"Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
Arga menoleh ke arah Reina, memastikan jika Reina masih tertidur. "Hal penting apa?" Sembari menatap Baskara.
"Saat baru tiba di Bandara, saya mendapat info terbaru soal Pak Samuel yang katanya hari ini juga menuju Bali."
"Mau apa dia ke Bali?"
"Katanya sih mau menghadiri suatu acara."
"Cari acara apa yang akan dihadirinya dan Hotel mana yang akan ditinggalinya!"
"Baik, Pak."
Setelahnya Arga menyandarkan kepala ke sandara bangku, Arga menatap Reina. Reina yang selama beberapa hari ini masih terlihat tidak bahagia, dan itu membuat Arga terus memikirkan cara mengembalikan senyum Reina.
Hingga kegiatan Arga menatap istrinya itu terganggu dengan datang seorang perempuan yang diikuti pramugara. Arga sontak menegakkan badannya, duduk dengan benar.
Perempuan itu menyodorkan kedua tangan yang memegang sebuah paper bag. "Maaf Pak Arga sudah menganggu waktunya, saya cuma mau kasih cookies buatan saya sendiri." Lalu, tersenyum manis.
Arga menerima paper bag dengan wajah dinginnya. "Kamu bisa kembali ke tempat kamu!" ucap Arga dengan nada sedikit tegas.
Perempuan itu tersenyum lagi, lalu menghilang dari sana dengan pramugara itu. Arga taruh paper bag itu di belakang kursi depannya. Ketika menoleh ke arah Reina, Reina sudah bangun, bahkan sedang memainkan handphone dengan masih bersandar pada sandaran tempat duduk.
Dikeluarkannya satu buah kotak berisi cookies cokelat, lalu menoleh ke arah Reina. "Kamu mau?" tanya Arga, lembut.
Reina menatap kotak yang dipegang Arga. "Pak Arga ngasih ke saya?"
"Iya. Kamu bisa memiliki semuanya."
"Maaf, saya gak bisa menerimanya. Karyawati itu memberikannya untuk Pak Arga bisa mencicipi cookies buatannya." Reina kembali fokus pada layar handphone. Tidak mempedulikan Arga yang menaruh kembali kotak cookies di dalam paper bag dengan wajah sendu.
Jika Reina tidak bahagia, maka Arga juga tidak bahagia. Arga sandarkan kembali kepala ke sandaran tempat duduk, lalu melipat kedua tangan di depan dada.
Apa pun caranya, aku akan coba mengembalikan senyum kamu lagi, Re...
Baskara lagi-lagi memanggil Arga yang tentu langsung menanggapi. "Acara wedding anak temannya dan kebetulan sudah reservasi untuk 2 malam di the ravelin."
Mendengar nama hotel-nya tentu Arga ingin menolak manusia yang satu itu berada di Hotel-nya, namun karena Samuel salah satu orang berpengaruh dalam dunia perbisnisan, Arga tidak bisa bertindak semaunya.
Nyatanya Reina sudah mematikan musik, hanya saja belum melepas earphone sehingga ia mendengar obrolan Arga dan Baskara. Mulai bertanya-tanya dengan seseorang yang mereka bicarakan.
Siapa yang sudah reservasi di hotel kami selama 2 malam? Apa seseorang yang penting untuk Pak Arga?
Setelah menempuh sekitar 2 jam, mereka pun sampai di Bandara. 6 buah bus sudah berbaris di depan Bandara, dengan sebuah mobil sport hitam yang terparkir di belakang bus terakhir.
Arga ingin mengajak Reina naik mobil bersamanya, namun Reina sudah lebih dahulu masuk ke dalam bus terakhir. Saking rahasianya pernikahan mereka Arga sampai tidak bisa membawakan koper Reina.
Reina duduk di dekat jendela dengan salah seorang karyawati di sebelahnya. Perjalanan kali ini Reina tidak merasa antusias, bukan karena ke Bali, melainkan karena isi kepalanya. Terlalu banyak hal yang dipikirkannya.
Sampai terdengar suara dering dari dalam tote bag yang berada di pangkuan. Reina segera mengangkat telepon dari Indah itu.
"Hallo, In."
"Bagaimana? Sudah menemukan sesuatu?" Reina meminta bantuan Indah untuk menyelidiki apa kematian Ayahnya ada sangkut pautnya dengan orang lain.
"Aku sudah menggeledah seisi Rumah tapi gak menemukan apa-apa, hanya rekaman cctv dari Rumah depan dan cctv dari Rumah kamu sebelum Ayah gak ada."
"Apa yang kamu lihat?" Wajah Reina mendadak sangat serius.
"Dari cctv depan Rumah kamu saat malam Ayah ke Rumah Sakit itu terdapat kurir yang mengantarkan paket sekitar jam 12 malam."
"Kurir macam apa yang mengantar paket jam segitu?!" Dengan wajah merasa aneh.
"Aku rasa ada sesuatu dengan paket itu dan sepertinya ada hubungannya dengan Ayah yang sehabis itu ke Rumah Sakit."
"Terus apa yang kamu temukan di cctv kedua?"
"Pak Baskara yang datang beberapa hari yang lalu."
"Untuk apa dia ke sana?"
"Bukankah sudah jelas suruhan Pak Arga? Pak Arga pasti merasa ada kejanggalan, makanya menyuruh Pak Baskara memeriksanya. Dan aku rasa mereka menemukan sesuatu yang disembunyikan dari kamu," kata Indah yang terdengar yakin.
"Bagaimana cara aku mengetahui apa yang mereka sembunyikan?" tanya Reina dengan wajah bingung.
"Aku pikir mereka gak akan pernah mengatakannya kalau hal itu juga menyangkut kamu. Mana mungkin Pak Arga menempatkan kamu dalam bahaya."
"Apa yang harus kita lakukan, In?"
"Aku akan coba cari tahu apa yang Pak Baskara sembunyikan."
"Oke, makasih ya In sudah mau bantuin aku." Dengan wajah terharu karena sahabatnya sebaik itu.
"Sama-sama, Re. Kalau gitu, aku tutup ya teleponnya."
"Iya."
Tidak membutuhkan waktu lama, rombongan Kantor pusat sudah sampai di the ravelin Bali. Arga melangkah masuk lebih dahulu disusul staf lainnya, dengan beberapa staf Hotel yang sudah menyambut mereka di Lobi.
Tidak langsung pergi ke Kamar, Arga memperhatikan karyawan dan karyawatinya yang perlahan menghilang dari pandangan.
"Kamu bisa istirahat juga, Bas." Sembari menatap Baskara.
"Baik, Pak. Kalau gitu saya permisi." Baskara melangkah pergi dari sana.
"Kalau gitu, saya ambil kunci Kamar dulu, Pak."
"Gak perlu, Re," kata Arga saat Reina hendak melangkah.
"Kenapa?"
Arga menunjukkan sebuah kunci kamar yang berada pada salah sgau tangannya. "Saya sudah mengambilnya." Arga ingin mengambil alih koper Reina, namun Reina mencegahnya.
"Gakpapa, Pak. Saya bawa sendiri."
Arga pun melangkahkan kaki dengan wajah tidak bahagia, diikuti Reina.