Di tengah lamunannya sembari menatap langit-langit Kamar, Reina terus teringat ucapan Arga waktu di Restaurant ramen. Bahwa apa pun yang Arga sembunyikan itu demi kebaikan Reina.
"Jadi apa yang Pak Arga sembunyikan? Kenapa demi kebaikan aku?" gumam Reina dengan wajah bingung.
Namun, mendadak lamunannya buyar beriringan dengan ketukan pintu. Reina beringsut dari kasur, berjalan ke arah pintu, membukanya. "Ada apa, Pak? Butuh sesuatu?" tanya Reina.
"Saya ... saya boleh tidur di Kamar kamu malam ini?" tanya Arga yang semula terlihat ragu untuk bicara.
Mengingat sebelumnya mereka pernah tidur bersama walau tanpa melakukan apa-apa, Reina terlihat tidak terkejut atau tertekan dengan permintaan Arga. Tanpa kata, Reina menyikir dari depan pintu, dan Arga melangkah masuk.
Reina kembali menutup pintu sementara Arga sudah duduk di atas kasur. "Saya janji gak akan melakukan apa-apa," ucap Arga sembari menatap Reina yang berjalan.
"Saya percaya," kata Reina sembari mendudukkan diri di samping Arga.
Tanpa menampakkan keragukan sama sekali Reina merebahkan tubuhnya, namun dengan sedikit rasa gugup yang ada. Siapa yang benar-benar bisa tenang berada di samping orang tercinta terlebih dengan posisi yang seperti itu?
Dengan posisi telentang, Reina mencoba tertidur namun nyatanya seperti sulit, hanya dapat menutup kedua mata. Akhirnya Reina memiringkan tubuh, membelakangi Arga.
"Kamu tahu, Re? Nyatanya menikah dengan kamu itu gak pernah ada dalam daftar harapan saya. Saya pikir menjaga kamu dari jauh sudah cukup, tapi melihat kamu bersama laki-laki lain ternyata menyiksa saya." Sembari menatap langit-langit Kamar.
Ucapan Arga menarik perhatian Reina sepenuhnya hingga Reina membalikan tubuhnya menghadap Arga. "Jadi itu alasan Pak Arga memutuskan mau menggantikan Pak Revan?"
Arga merubah posisinya menghadap Reina. "Saya bersyukur Revan memutuskan untuk mundur."
"Kalau Pak Revan tetap mempertahankan pernikahan itu, kita gak akan seperti sekarang. Saya gak akan pernah tahu kalau Pak Arga memiliki perasaan pada saya entah sejak kapan."
"Saya pikir kenyataannya gak pernah seperti itu. Saya yang tetap akan menjadi suami kamu."
Tentu saja ucapan Arga yang satu itu membuat Reina semakin mengingat perkataan Indah tentang yang dikatakan Revan. Bahwa Arga yang membuar Revan kabur sebelum hari pernikahan.
Di tengah suasana yang damai itu Reina tersenyum. Senyum yang selalu dapat melelehkan hati Arga. Salah satu tangan Arga menyentuh salah satu tangan Reina. "Kamu tahu nanti kita akan liburan ke mana?" tanya Arga, lembut.
"Benar, saya lupa menanyakannya. Ke mana jadinya kita akan berlibur?"
"Bali. Semua staf Kantor akan saya biarkan merasakan menginap di Hotel kita yang di Bali."
"Saya senang mendengarnya." Seraya tersenyum.
"Sekarang sudah waktunya tidur."
"Mm." Reina menutup kedua matanya dengan tangan Arga yang masih menyentuh tangan Reina.
Bukannya mencoba tidur juga, Arga memilih menatap wajah cantik istrinya itu entah sampai kapan. Intinya ia ingin menikmati wajah yang selama 5 tahun ini sudah menemaninya.
Sekitar 1 jam sudah berlalu, Arga yang masih menatap Reina, mendengar suara getar yang berada dari atas nakas. Arga mendudukkan diri dengan perlahan, mengambil handphone yang menampilkan panggilan dari Baskara. Jika bukan masalah penting, Baskara tidak akan menelepon Arga tengah malam seperti itu, bukan?
Perlahan Arga beringsut dari atas kasur. Melangkah keluar Kamar dengan jalan yang dibuat pelan. Membiarkan pintu terbuka sedikit, berdiri tak jauh dari depan pintu.
"Hallo, Bas."
"Saya sudah menemukan kurir yang mengirim paket itu, Pak. Dan semuanya mengarah pada Pak Samuel!"
Reina terbangun dari tidurnya karena nyatanya ia belum benar-benar tertidur. Beringsut dari atas kasur, berjalan ke arah pintu dengan langkah sangat pelan. Dapat Reina lihat Arga yang sedang teleponan dengan tangan yang terbebas dari handphone, mengepal sempurna.
Ada apa? Apa ada masalah? Aku merasa saat ini Pak Arga sedang marah
"Saya pikir pria paruh baya itu sudah tobat, ternyata diamnya dia selama ini sepertinya sedang merencanakan sesuatu," ucap Arga dengan wajah penuh kemarahan.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak?"
"Untuk sekarang kita hanya perlu memperketat penjagaan pada Reina."
"Baik, Pak."
Kenapa Pak Arga harus melakukan hal itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku sedang dalam bahaya?
"Kalau saja pria paruh baya itu tetap diam, Om Mahendara akan baik-baik saja."
Deg
Reina yang tidak ingin Arga tahu bahwa ia mendengar pembicaraan Arga, segera kembali ke tempat tidur dengan hati yang tidak karuan. Kembali dengan posisi membelakangi Arga, Reina memikirkan setiap perkataan Arga, terlebih kalimat terakhir Arga yang ia dengar.
Siapa pria paruh baya yang dimaksud Pak Arga? Apa hubungannya dengan Ayah? Apa pria paruh baya itu ada hubungannya dengan meninggalnya Ayah? Atau nyatanya kepergian Ayah bukan murni karena penyakit Ayah yang tiba-tiba datang?
Setiap pemikiran yang ada membuat Reina takut. Takut bahwa kenyataannya lebih pahit dari yang ia bayangkan, dan Reina harus menerimanya.
Arga kembali merebahkan tubuh di samping Reina, menghadap ke arah Reina yang sepertinya tak ada niatan menghadap ke arah Arga.
.
.
Reina bangun lebih awal dari Arga. Berada di Dapur untuk mengambil minum. Saat menuang air ke dalam gelas pikirannya jauh berada di depan sana. Reina masih memikirkan ucapan Arga semalam.
Apa jangan-jangan kepergian Ayah ada hubungannya sama aku? Ayah pergi karena aku?
Pikiran itu pun membawa Reina pada gelas yang pecah saat sedang dipegang. Menatap pecahan kaca tanpa raut wajah terkejut sama sekali. Sementara Arga yang berjalan menghampiri Reina memasang wajah khawatir.
"Re, kamu gakpapa kan?" tanya Arga sembari melihat kaki Reina dan tangan Reina yang tidak ada luka sama sekali.
"Biar saya yang membersihkan," ucap Arga yang segera mengambil sapu dan serokan sampah.
Reina hanya menatap Arga dengan pikiran yang penuh.
"Apa kepergian Ayah ada hubungannya sama saya?" tanya Reina sembari menatap Arga yang sedang membuang pecahan gelas ke tempah sampah.
Sontak pertanyaan itu membuat hati Arga langsung tak karuan. Arga taruh sapu dan serokan sampah di tempat semula, lalu berdiri tepat di hadapan Reina yang wajahnya terlihat tidak bahagia.
"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Mana mungkin kepergian Ayah ada hubungannya sama kamu. Jelas-jelas Dokter mengatakan karena penyakit Ayah."
Tentu saja Arga tidak akan mengatakannya, dan Reina sudah menduga. Karena tugas Arga adalah untuk melindungi Reina, tidak menyeret Reina masuk ke dalam masalah.
"Pak Arga tahu? Saya gak akan pernah memaafkan diri saya sendiri kalau ternyata saya penyebab Ayah pergi." Dengan wajah serius.
Arga meraih kedua tangan Reina, menggenggamnya lembut. "Ayah pergi bukan karena kamu. Kepergian Ayah bukan salah kamu. Ayah pasti sedih melihat kamu seperti ini, Re."
Aku akan mencari tahu! Aku pastikan bahwa apa pun yang Pak Arga sembunyikan, aku mengetahuinya!