Tidak seperti biasanya Arga menyuruh Reina yang membersihkan segala macam artikel yang bisa merusak reputasinya, kali ini Arga meminta Baskara untuk menghapus artikel artikel tidak benar.
Untuk dua kalinya Baskara datang menemui Arga dan itu semakin menarik perhatian Reina yang bertanya-tanya, mengenai apa yang mereka lakukan.
"Saya sudah menyuruh tim untuk menghapus setiap artikel dan postingan yang ada, tapi karena sudah trending dan dibagikan berkali-kali jadi sulit untuk menutupi sepenuhnya," jelas Baskara yang berdiri di depan meja kerja Arga.
Melalui jendela, Reina bisa melihat wajah serius keduanya, jika pasti ada sesuatu, tanpa perlu Reina mendengar apa yang mereka bicarakan. Selesai Baskara bicara dan keluar dari ruangan Arga, Reina masuk ke dalam. Berdiri di depan meja kerja, menatap Arga yang semula menatap layar komputer, mulai menatap Reina.
"Ada apa? Ada yang menganggu pikiran kamu? Kamu bisa ceritakan sama saya."
"Apa yang Pak Arga dan Pak Baskara bicarakan? Apa saya gak boleh tahu?" Lalu, memasang wajah cemberut. Reina yang biasanya tidak akan melakukan hal seperti itu walau beberapa kali pernah kesal dengan Arga yang seperti memiliki banyak rahasia. Bukankah tanpa Reina sadari ia mulai ingin memiliki Arga?
Arga beranjak dari sana. Berdiri tepat di hadapan Reina yang masih memasang wajah cemberut. "Saya gak lagi mencoba menyembunyikan sesuatu dari kamu."
"Terus, kenapa Pak Arga gak bilang apa-apa? Kalau bukan masalah serius Pak Baskara gak akan datang sampai dua kali. Ahh, benar. Pak Arga kan memiliki banyak rahasia." Reina membalikan tubuhnya, membelakangi Arga.
Melipat kedua tangan di depan dada, Reina terlihat sekesal itu pada Arga yang tidak langsung memberitahunya. Kedua tangan Arga terulur begitu saja memeluk Reina dari belakang, membuat Reina membeku.
"Saya menyuruh Baskara menghapus semua artikel dan postingan yang melibatkan saya, kamu, dan Kelvin. Tapi, karena artikel itu sudah dibagikan berkali-kali jadinya gak bisa dihilangin sepenuhnya."
"Kenapa Pak Arga gak menyuruh saya? Biasanya juga saya yang menangani masalah seperti itu." Dengan nada ketus.
Daripada membalikan tubuh Reina hingga menghadap ke arahnya, Arga beralih posisi menjadi berdiri di hadapan Reina. "Saya gak mau kamu semakin stres dengan mengurus masalah itu. Sudah cukup kamu kepikiran dengan berita yang ada."
Melihat sorot mata Arga yang mengatakan bahwa memang seperti itulah yang ia rasakan, Reina pun mengerti. Wajah yang semula ditekuk perlahan mulai terlihat seperti biasa. Reina mencoba memperlihatkan senyum manisnya. Arga yang melihat hal itu, tersenyum juga.
Arga melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Gimana kalau kita bicarakan makan siang nanti mau makan apa?" tanya Arga.
"Mmm, saya belum tahu."
"Ramen gimana? Kamu kan suka."
"Boleh, Pak." Seraya tersenyum.
Salah satu tangan Arga melepaskan pinggang Reina, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah waktunya meeting," ucap Arga sembari menoleh ke arah Reina. Lalu, melepaskan pinggang Reina sepenuhnya.
"Kalau gitu, Pak Arga duluan. Saya mau ke Toilet dulu."
"Gak mau saya temanin?"
Reina tersenyum. "Saya gak akan kenapa-kenapa."
"Ya sudah, kalau gitu saya duluan."
"Mm." Seraya tersenyum.
Baru saja masuk ke dalam salah satu bilik, Reina mendengar percakapan antar dua orang karyawati.
"Menurut kamu gimana sama berita yang beredar itu? Apa yang terjadi antara mereka?"
"Kalau menurut aku sih Kelvin itu pengganggunya. Bu Reina dan Pak Arga kan bekerja sama sudah dari lama, pasti tumbuh perasaan di antara mereka. Kalau Bu Reina sama Kelvin kayak gak mungkin. Maksudnya diam diam mereka kenal di luar tanpa ada yang tahu? Rumor Bu Reina bersama Kelvin juga gak ada sebelumnya."
"Benar juga sih yang kamu bilang, tapi bentar deh. Bukannya rumor soal Pak Arga sudah menikah itu trending topik juga ya? Jadi maksudnya gimana nih? Bu Reina bukan mencoba jadi pelakor, kan?"
Reina terus mendengarkannya dengan perasaan tak menentu. Berdiri di balik pintu tertutup yang tak satu pun tahu bahwa di dalam sana terdapat Reina.
"Gak mungkin lah. Bu Reina itu terkenal tegas dan bertanggung jawab. Perempuan berkelas mana mungkin merendahkan diri hanya untuk jadi yang kedua."
"Iya juga sih. Ya, semoga saja berita berita yang gak baik itu cepat berlalu. Kasihan Pak Arga dan Bu Reina."
Mendengar langkah kaki yang perlahan menjauh, Reina keluar dari dalam bilik. Berjalan hingga di depan cermin. Menatap dirinya yang memang terlihat bukan seperti perempuan biasa. Reina tidak percaya bahwa ada karyawati yang segitu percaya padanya, bahwa Reina tidak akan menjadi perempuan yang buruk.
Ketika Reina sedang berjalan di Lobi menuju tempat rapat, tiba-tiba Kelvin menghampiri Reina. Membuat langkah Reina terpaksa berhenti, jika tidak Reina pikir Kelvin akan menemui Arga.
"Saya pikir Pak Kelvin gak mungkin gak tahu soal rumor yang beredar di antara kita," ucap Reina dengan nada tegas dan wajah dingin.
"Justru itu saya ke sini, ingin menemui kamu." Lalu, tersenyum.
"Saya ada rapat jadi gak ada waktu!"
"Saya yakin kamu pasti memiliki waktu untuk saya, kalau tahu ...." Kelvin membisikkan sesuatu pada Reina yang membuat Reina akhirnya mengikuti Kelvin.
Arga mulai khawatir karena rapat sudah dimulai, namun Reina belum juga menampakkan diri.
"Bu Amel lihat Reina?" tanya Arga saat melihat salah satu bawahannya yang baru saja memasuki ruang rapat.
"Oh, Bu Reina. Saya lihat pergi bersama artis Kelvin."
Sontak raut wajah Arga berubah, tidak senang. Di tengah seorang lelaki yang berbicara di depan sana, sedang mempresentasikan sesuatu, Arga justru mencoba menelepon Reina.
"Kamu di mana?" tanya Arga saat panggilan baru terhubung.
"Maaf, Pak. Saya ada urusan sebentar jadi gak bisa menghadiri meeting."
"Kembali sekarang!" tegas Arga dengan wajah sangat serius.
"Maaf banget, Pak. Saya gak bisa."
Mendengar hal itu dengan wajah marah dan tegang, Arga matikan panggilan tersebut.
Ternyata Kelvin membawa Reina ke sebuah Cafe yang tidak jauh dari Kantor. "Kamu mau pesan apa?" tanya Kelvin yang berdiri di hadapan Reina, depan kasir.
"Apa saja," jawab Reina dengan wajah dingin.
Setelah mendapat pesanan mereka, mereka menempati salah satu meja.
"Langsung saja, Pak. Apa yang Pak Kelvin inginkan dari saya?"
Kelvin meminum sedikit ice americanonya. "Melihat sikap kamu, pasti kamu sudah mendengar masa lalu saya dengan Kelvin."
"Saya gak bisa bersikap lunak seperti perempuan lainnya."
Kelvin tersenyum seolah perkataan Reina lucu. "Saya gak mengharapkan kamu bersikap manis seperti perempuan-perempuan yang saya temui."
"Kalau gitu, untuk apa Pak Kelvin menemui saya?"
"Saya bukan orang yang seburuk yang kamu pikirkan."
"Bagaimana saya bisa percaya?"
"Saya tahu sesuatu tentang Arga yang gak kamu tahu."
Reina mengernyit. "Sesuatu apa?"