"Oh ya, Pak Arga. Rumornya kalau Bapak sudah menikah, apa benar?" tanya seorang kepala redaksi.
"Ternyata rumornya sudah sampai Bu Lusia yaa."
"Jadi benar atau nggak nih, Pak?" goda kepala redaksi.
Dengan wajah datarnya, Arga memperlihatkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Reina yang berada di sampingnya, bertanya-tanya, sejak kapan Arga memakainya?
"Wah, ternyata benar. Kalau gitu sudah gak ada kesempatan untuk wanita lain mengejar Pak Arga yaa."
"Semua tamu sudah kembali ke Kamar masing-masing, bagaimana kalau kita juga akhiri obrolan ini?" ucap Arga dengan nada sopan.
Kepala redaksi itu tersenyum ramah. "Tentu saja, Pak. Kebetulan saya mulai mengantuk."
"Semoga tidur Ibu nyenyak," kata Reina sambil tersenyum.
"Bu Reina juga." Lalu, tersenyum.
Reina dan Arga perhatikan kepala redaksi itu yang berjalan menjauh dari mereka. "Pak Arga," panggil Reina.
"Kenapa?"
"Apa Om Tio sudah pulang? Sejak kita ke Ballroom lagi saya gak melihatnya."
"Pas saya bawa kamu ke ruang kerja, Papa mengirim pesan kalau dia pulang duluan karena lagi kurang sehat."
"Pantas saja wajah Om Tio terlihat rada pucat."
"Reina."
"Iya?"
"Mau sampai kapan kamu manggil Papa dengan sebutan 'Om'? Papa pasti merasa kurang nyaman karena sekarang kan kamu menantunya."
Seketika Reina terdiam. Bingung harus menjawab apa karena Reina yang biasa memanggil Tio dengan 'Om' rasanya belum terbiasa dan mungkin akan merasa canggung jika memanggil Tio dengan 'Papa'.
"Kamu perlu membiasakan diri, Re."
"Iya, Pak. Cuma ...."
"Nanti Papa nyangkanya hubungan kita kurang baik, dan kamu akan terus menganggapnya hanya sebatas sahabat Ayah kamu."
Apa yang dikatakan Arga benar, dan itu membuat Reina merasa bersalah tapi juga bingung untuk memulainya. Jika orang lain pikir sesimpel itu tinggal panggil Papa saja, bagi Reina tidak sesederhana itu. Pasti nantinya akan canggung, bukan? Atau tidak?
"Kalau gitu, saya akan coba."
Arga tersenyum lembut, lalu menggapai salah satu tangan Reina. Membawa Reina melangkah keluar.
Hari sudah menunjukkan tengah malam lebih tepatnya jam 00.00, dan Arga tengah berdiri di depan pintu Kamar Reina. Berpikir, apakah ia ketuk saja pintu Kamar Reina? Namun, bagaimana jika ternyata Arga malah mengganggu Reina yang ternyata sudah tidur.
Dengan wajah sedikit lesu, Arga melangkah pergi dari sana. Sampainya di Dapur, Arga ambil kaleng minuman bersoda yang ia bawa ke meja makan. Mendudukkan diri di sana. Sembari galau karena belum bisa tidur dengan Reina, Arga meminum minuman bersoda itu.
Arga pikir setelah pernyataan cinta itu segalanya akan lebih muda, tapi Arga tahu sekali pun Reina memiliki perasaan padanya, Reina butuh waktu, karena bagaimana pun mereka menikah secara dadakan, tanpa adanya rencana sebelumnya. Dalam artian pernikahan itu bukan atas kemauan mereka.
"Bisakah kita menjadi suami-istri yang sebenarnya?" tanya Arga pada diri sendiri.
Mendengar suara langkah kaki seseorang membuat Arga sontak menoleh. Terlihat Reina dengan mata sedikit menutup berjalan ke arah Arga. Mendudukkan diri begitu saja di samping Arga, melingkarkan tangannya pada lengan Arga, lalu menjadikan bahu Arga sebagai bantalan.
"Reina?" panggil Arga sembari menatap Reina yang matanya sudah menutup sepenuhnya.
Reina tidak menjawab. Apa Reina mengigau sampai tidur dalam kondisi jalan?
"Reina?" Arga memanggilnya sekali lagi.
"Biarkan saya tidur seperti ini sebentar saja, Pak," ucap Reina tanpa membuka matanya.
"Ada apa? Ada yang mengganggu tidur kamu? Atau ada yang melempar batu lagi ke Kamar kamu?" Arga terlihat khawatir.
"Saya baru saja bermimpi buruk, dan saya gak mau sendirian." Setelahnya Arga diam.
Sudah sekitar 1 jam mereka dalam posisi seperti itu dengan Arga yang mulai terlihat mengantuk. Dengan gerakan pelan, Arga mengangkat tubuh yang terasa ringan itu. Membawa Reina kembali ke Kamar-nya. Menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh Reina.
Reina gak masalah kan ya kalau aku tidur di sampingnya? Aku kan gak melakukan apa apa selain tidur.
Pada akhirnya Arga merebahkan diri di samping Reina dengan jarak yang ia buat agar tidak mengejutkan Reina. Arga menghadap ke arah Reina dengan kedua tangan yang berada di bawah kepala yang ada di atas bantal. Diperhatikannya wajah sang istri yang sudah sangat ia cinta.
"Semoga mimpi kamu indah," ucap Arga dengan nada pelan.
.
.
Pagi baru saja muncul, menyapa Reina yang mulai membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat tentu langit-langit Kamar-nya, lalu setelah itu sesosok pria tampan yang tertidur dengan posisi miring ke arahnya.
Tentu terkejut namun hanya sedikit. Alih alih marah, Reina justru memiringkan tubuhnya menghadap Arga, memperhatikan setiap inci wajah tampan itu yang menjadi inceran para perempuan. Betapa beruntungnya Reina menjadi perempuan yang bisa mendapatkan Arga.
Salah satu tangan Reina terulur menyentuh alis Arga yang tebal dan hitam. Mengelus lembut alis itu hingga membuat tidur Arga terusik. Saat tubuh Arga bergerak Reina sontak menyingkirkan tangannya, namun saat Arga kembali diam, Reina melakukan aksinya lagi. Hingga tiba-tiba salah satu tangan Arga memegang tangan Reina yang tengah menyentuh alisnya.
Reina pun ketahuan sedang memandangi wajah Arga. Perlahan kedua mata Arga terbuka, bertemu dengan manik mata sang istri yang tersenyum canggung. "Saya pikir kamu akan tiba-tiba melompat dari tempat tidur pas tahu saya tidur di samping kamu," kata Arga yang masih memegang tangan Reina.
"Kenapa saya harus melakukan itu? Pak Arga bukan orang asing," kata Reina yang tanpa pikir panjang.
Arga tersenyum penuh arti. Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat, Arga sudah berada di atas Reina yang langsung bergidik ngeri.
Pak Arga gak akan melakukan apa-apa kan? Ini masih pagi lho. Tapi kan Re di drama saja pagi-pagi bisa melakukannya.
Sontak setiap 'adegan dewasa' yang melintas di kepalanya, membuat Reina menggelengkan kepala berkali-kali.
Arga tersenyum gemas. "Apa yang kamu pikirkan sampai menggelengkan kepala kayak gitu?"
"Nggak ada," bohong Reina.
"Oh ya? Kalau gitu, kita akan melakukan olahraga pagi."
Hah?! Olahraga pagi? Jangan bilang... oh tidak, aku belum siap!
Reina semakin cemas, dan akhirnya menyilangkan kedua tangan di depan dada. Arga yang melihat itu tambah gemas. Tersenyum lebar. Arga turun dari atas kasur, berjalan hingga depan pintu, membalikan tubuh ke arah Reina.
"Saya tunggu 10 menit. Saya pikir kamu pasti jarang sekali jogging, maka dari itu saya akan bawa kamu olahraga pagi sebelum berangkat kerja." Lalu, tersenyum menggoda Reina yang sudah salah paham.
Saat pintu baru saja menutup, Reina menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Merasa malu dengan kesalahpahaman yang ada. Tapi, jika orang lain di posisi Reina mungkin juga akan salah paham, bukan? Mengingat posisi Arga saat mengatakannya berada di atas Reina.