Setelah pernyataan cinta itu rasanya justru jadi canggung, hanya untuk Reina, sementara Arga merasa biasa. Reina bahkan tidak berani menatap manik mata Arga yang sedari tadi terus memperhatikannya yang sedang makan bakpao.
Walau pernyataan cinta itu mengejutkan dan mendadak sekali, namun Reina bersyukur bahwa masih ada Arga yang ia miliki.
"Pak Arga sendiri sudah makan?" tanya Reina di sela makannya.
Terlalu memikirkan Reina, Arga pun mengabaikan dirinya sendiri yang belum makan, berpikir bahwa melewatkan makan tidak akan membuatnya sakit karena Arga lebih kuat dari Reina.
Melihat Arga yang diam, membuat Reina mengetahui sendiri bahwa lelaki di hadapannya juga belum makan. Reina menghela nafas, lalu mengambil satu bakpao yang tersisa di dalam kantong, memberikannya pada Arga.
"Gimana bisa Pak Arga mengkhawatirkan saya sedangkan Pak Arga sendiri belum makan? Pak Arga gak mikir kalau saya mungkin saja khawatir?" Reina memarahi Arga yang cuma bisa diam.
Tanpa kata, Arga mulai memakan bakpao. Reina yang melihat itu tersenyum. Di balik wajah dingin dan sikap tegasnya Arga memiliki sisi penurut yang hanya ia tunjukkan pada orang tertentu.
Merasa gemas dengan wajah Arga yang seperti anak kecil habis dimarahi Ibu-nya, Reina mengelus lembut kepala Arga sambil terus makan bakpao miliknya yang tinggal sedikit.
.
.
Hari ini terpantau ada sebuah pesta besar pada salah satu hotel ternama tanah air THE RAVELIN yang berlokasi di Jakarta. Ballroom Hotel sudah penuh dengan tamu undangan di mana Arga akan merayakan ulang tahun Hotel pertama yang dibangun Papa-nya itu.
Tidak ditemani Reina, Arga menyapa para tamu bersama Papa-nya. Sedangkan Reina sibuk menyapa orang-orang yang ia kenal sendirian, sampai seorang pria yang langsung menyita perhatian banyak orang, bahkan kamera-kamera dari reporter seketika tertuju padanya, menghampiri Reina.
"Hai," sapa Kelvin sambil tersenyum.
Melihat banyaknya orang dan awak media, Reina pun mencoba bersikap ramah dengan tersenyum juga. "Selamat datang, Pak Kelvin."
Seketika Reina teringat bahwa di daftar tamu tidak ada Kelvin, bagaimana caranya Kelvin masuk sedangkan memerlukan undangan?
"Kamu cantik dengan gaun merah itu," puji Kelvin yang sengaja menggoda Reina.
"Terima kasih." Lalu, Reina tersenyum terpaksa.
"Dari pada menjadi sekretaris Arga, bagaimana kalau jadi asisten saya? Bayarannya mungkin jauh lebih besar. Kamu tahu sendiri kalau saya ini artis ternama."
"Maaf, Pak. Tapi, saya gak ada bakat jadi asisten seorang artis."
"Kan bisa belajar."
Tiba-tiba Kelvin melingkarkan salah satu tangannya pada pinggang Reina, menariknya lebih dekat. Hingga jarak yang hanya tersisa sedikit itu membuat orang-orang histeris. Bahkan mungkin setelah ini akan terbit sebuah berita 'Kelvin dan sekretaris Arga? Apa yang terjadi? Mungkinkah mereka memiliki hubungan?'
Arga dari tempatnya berdiri sudah mencoba menahan emosi, namun apa yang Kelvin lakukan sudah tidak bisa ditoleransi! Dengan langkah pasti dan tegas, serta tatapan mematikan, Arga menghampiri kedua orang itu. Menyingkirkan tangan tidak sopan Kelvin dengan kasar, lalu menarik salah satu tangan Reina, lembut. Membawanya pergi dari sana.
Reina terus mengikuti Arga yang tak melepas pegangan tangannya bahkan saat mereka di lift, di mana keduanya hanya saling diam, hingga Arga membawa Reina masuk ke dalam Ruang Kerja-nya yang ada di Hotel.
Barulah Arga melepas pegangan tangannya, mendudukkan diri di kursi kerja sementara Reina duduk di sofa panjang, menatap ke arah Arga yang menatap ke arah lain dengan wajah marahnya. Reina tahu jika suaminya itu sedang cemburu.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Reina keluarkan handphone dari dalam tas yang seperti dompet itu. Layar menunjukkan panggilan masuk dari Indah, di mana Reina tentu menerimanya.
"Hallo, In."
"Aku baru saja sampai nih, kamu di mana? Aku cuma lihat Pak Tio dan Kelvin. Bahkan Pak Arga gak ada, kalian lagi berduaan ya?"
"Aku ke sana sekarang."
"Okay."
Setelah panggilan berakhir, Reina beranjak dari sana. Berjalan ke arah pintu tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Arga. Ketika Reina hendak memutar knop pintu, tiba-tiba Arga yang sudah berada di belakang Reina membalikan tubuh Reina hingga menghadap Arga.
"Saya perlu menemui Indah, Pak."
"Saya gak mengizinkan kamu keluar dari ruangan ini!"
"Alasannya?" Reina masih saja bertanya walau sudah tahu jawabannya.
"Kamu pasti gak masalah dengan adanya rumor di antara kamu dan Kelvin," kata Arga dengan nada dingin seperti biasanya.
"Pak Arga tahu gak rumor apa yang kalau pun terjadi saya terima-terima saja? Gak akan saya bantah?"
"Apa?"
Reina mendekatkan wajahnya ke telingan Arga. "Kalau mungkin CEO kesayangan kita semua memiliki hubungan dengan sekretarisnya sendiri," bisik Reina.
Reina jauhkan kembali wajahnya, tersenyum manis. Tiba-tiba Arga melingkarkan salah satu tangannya pada pinggang Reina, bahkan menariknya, seperti apa yang sebelumnya Kelvin lakukan.
Tanpa Arga tahu, degup jantung Reina menggila. Atau Arga sudah tahu? Mulai menyadari perasaan Reina padanya?
"Untuk apa membantahnya kalau memang benar adanya?" tanya Arga dengan lembut.
Tidak ingin membuat Arga khawatir atau takut kehilangannya, Reina memeluk Arga. "Saya gak akan ke mana-mana. Saya akan tetap di sini bersama Bapak. Saya gak akan membiarkan satu orang pun merusak hubungan kita."
Arga balas pelukan Reina dengan tersenyum bahagia. Walau Reina belum mengutarakan isi hatinya, Arga yakin jika perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Jika Reina tidak memiliki perasaan pada Arga, Arga pikir Reina tetap akan menjaga jarak setelah pernyataan cinta itu.
Berpikir jika mungkin suasana hati Arga sudah membaik, Reina lepas pelukan itu, Arga pun melakukan hal yang sama. "Jadi sudah boleh ketemu Indah kan?"
"Iya." Hati Arga pun luluh. Namun, tetap dalam pengawasan Arga yang kembali juga ke Ballroom.
Arga memang berbicara dengan tamu-tamunya, namun mata elangnya tak lepas dari Reina. Diam-diam Arga memperhatikan Reina yang mengobrol dengan Indah. Masih ada Kelvin di sana, Arga tidak akan memberikan kesempatan Kelvin mendekati istrinya lagi.
"Seriusan, Re. Kalian ngapain sih malah berduaan bukannya menyapa para tamu?" tanya Indah dengan wajah penasaran.
"Jawab pertanyaan aku dulu, kok kamu sudah pulang saja? Bukannya katanya akan di sana selama 2 minggu?"
"Gini ya, Re. Tiba-tiba perasaan aku gak enak yang buat aku bahkan tidur pun gak nyenyak, aku gak tahu kenapa sampai akhirnya aku memutuskan pulang saja. Dan kamu tahu? Baru saja aku mendarat, aku langsung dapat kabar kalau Om Mahendra meninggal."
"Gak heran sih kalau kamu memiliki perasaan kayak gitu. Kamu sama Ayah kan cukup dekat, sampai Ayah tuh sudah kayak Ayah kamu sendiri. Seorang Ayah yang mengkhawatirkan putri keduanya."
"Aku benar-benar gak nyangka kalau Om Mahendra akan secepat ini meninggalkan kita."
Di tengah rasa sedihnya, Reina mencoba tersenyum.