Dengan langkah berat Reina melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Ayahnya berada dengan Arga yang setia merangkulnya. Di depan tubuh yang sudah terbujur kaku dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh, tangis Reina pecah. Dipeluknya sang Ayah yang kali ini hanya terdiam, tidak membalas pelukan Reina.
Isakan tangis yang memilukan itu menghancurkan hati Arga. Tak ada yang bisa Arga lakukan selain menemani Reina, memperlihatkan pada Reina jika ia tidak sendiri.
"Maafin aku, Yah! Maafin aku yang akhir-akhir ini sibuk dengan dunia sendiri jadi belum ada waktu ngobrol sama Ayah." Sambil terus memeluk Mahendra.
Reina menyesali semuanya. Waktu yang ia habiskan bersama Ayahnya tidaklah banyak. Bagi Reina waktu sebulan itu sebentar dan tidak ada apa-apanya, lagi pula setelah kembali tinggal bersama Arga, Reina terus sibuk dengan Arga, tanpa pernah berbicara dengan Ayahnya lagi.
"Seharusnya di saat terakhir Ayah, aku ada di samping Ayah ...." Reina menegakkan tubuhnya. Berusaha kuat, karena ini memang sudah jalan takdirnya. Namun...
Arga putar tubuh Reina lembut hingga menghadap ke arahnya, menatapnya sebentar sebelum akhirnya membawa Reina ke dalam dekapan. Reina balas pelukan Arga dengan erat.
Beberapa saat kemudian...
Pemakaman berjalan lancar dengan beberapa kerabat dan kenalan yang berada di sana. Sorot mata Indah tak kalah sedih dari Reina, karena Indah memiliki kenangan yang baik dengan Mahendra. Mahendra yang sempat menyinggung soal pernikahan pada Indah.
Satu persatu orang mulai melangkah pergi, begitu pun Indah yang merasa Reina butuh ruang untuk menenangkan diri. Reina berjongkok di samping batu nisan, menyentuhnya dengan air mata yang lagi lagi jatuh membasahi pipi.
Apa karena sekarang sudah ada yang menjaga aku sebaik Ayah, jadi Ayah benar pergi? Kalau saja aku menolak pernikahan ini sepertinya aku akan memiliki lebih banyak waktu sama Ayah karena Ayah masih harus menjaga aku.
Arga berjongkok di samping Arga, merangkulnya. "Aku yakin Ayah kamu pergi dengan tenang, karena di saat dia pergi sudah ada yang menggantikannya menjaga kamu." Sembari menatap Reina.
Tidak ada yang Reina katakan selain berdiri dari jongkok, melangkah pergi dari sana dengan langkah lamban. Arga mengikuti Reina dari belakang, menjaga Reina dalam diam.
Masuk ke dalam mobil yang Arga kendarai, Reina hanya diam dengan menatap ke arah samping, melihat apa saja yang melintas di hadapannya. Arga sesekali menoleh ke arah Reina karena khawatir. Mendadak Arga teringat betapa sukanya Reina dengan mochi. Kebetulan melihat stan orang yang menjual mochi, Arga menghentikan mobil di tepi jalan tanpa adanya pertanyaan dari Reina yang seolah masa bodo dengan apa yang dilakukan Arga.
Kembali duduk di kursi pengemudi, Arga berikan kantong plastik berisi kotak dengan semua rasa mochi pada Reina yang menerimanya dengan wajah datar. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sampai di Mansion. Ketika mobil baru terhenti, Reina langsung keluar dari dalam, berjalan menuju pintu. Disusul Arga yang mengikuti Reina yang sudah masuk ke dalam Mansion lebih dahulu.
Langkah Arga terhenti di Ruang Tamu, memperhatikan Reina yang naik ke lantai 2, masuk ke dalam Kamar-nya. Arga tentu tidak marah Reina yang mengabaikannya karena Arga terlalu mengerti perasaan yang sedang dirasakan Reina.
Jas yang sedari tadi dipegangnya, Arga mengeluarkan sesuatu dari dalam saku yaitu mochi yang belum ia makan. Itu adalah sesuatu yang pertama kali Reina berikan pada Arga, dan sepertinya Reina tidak menyadari hal itu. Arga berjalan ke arah Dapur, menaruh mochi dalam kemasan itu di kulkas. Arga ingin menyimpan sesuatu yang untuk pertama kalinya Reina berikan padanya.
Arga geser kursi makan, mendudukkan diri di sana. Mengeluarkan handphone dari dalam saku celana, berencana memesan makanan karena Arga ingat bahwa Reina belum makan apa-apa.
"Apa ya yang Reina suka? Seharusnya aku tanya makanan kesukaannya." Sembari menatap layar handphone yany memperlihatkan berbagai macam menu.
"Atau aku masak sendiri saja? Tapi, aku kan gak tahu apa yang lagi Reina inginkan."
Bakpao! Arga pun mengingatnya. Dengan cepat Arga memesan bakpao ayam kesukaan Reina. Selesai memesan Arga taruh handphone di atas meja, lalu menyandarkan badan ke sandaran kursi. "Kalau Reina lagi gak mau makan nasi, makan mochi sama bakpao pasti sudah cukup buat mengisi perutnya," gumam Arga.
Tidak membutuhkan waktu lama, Arga menghampiri kurir yang mengantar makanan yang katanya sudah di depan Mansion. Arga terima kantong berisi bakpao itu, langsung membawanya pada Reina.
Sampainya depan pintu Kamar Reina, diketuknya pintu namun tak juga ada jawaban hingga Arga mencoba membuka di mana pintu tidak terkunci. Melangkah masuk sembari menatap Reina yang seluruh tubuhnya ditutup selimut. Menaruh kantong berisi bakpao di atas nakas di mana kantong berisi mochi masih utuh.
Perlahan Arga mendudukkan diri di tepi ranjang menghadap ke arah Reina. "Re, makan dulu yaa. Kamu dari tadi belum makan lho," ucap Arga dengan nada lembut.
Reina tetap diam tak bergeming sama sekali, hingga Arga menarik selimut Reina dengan lembut dan manik mata Arga bertemu dengan manik mata Reina yang berkaca-kaca. Ternyata sedari tadi Reina sedang menangis.
"Menangis juga butuh tenaga. Kalau kamu gak makan apa-apa, justru kamu akan sakit. Ayah kamu di atas sana akan sedih melihatnya."
Tiba-tiba Reina langsung duduk, memeluk Arga yang langsung membalas pelukan Reina. "Sekarang saya sudah gak punya siapa-siapa."
"Kata siapa? Kamu masih punya saya. Saya ini bukan orang asing. Kamu jangan lupa kalau saya ini suami kamu."
Reina lepas pelukannya. Menatap dalam Arga. "Suatu hari Pak Arga pasti juga akan meninggalkan saya, dan pada saat itu saya benar-benar akan sendiri."
Salah satu tangan Arga terulur menyentuh lembut pipi Reina yang basah air mata. "Saya gak akan ke mana-mana, saya akan tetap bersama kamu sampai rambut kita memutih."
Reina bisa merasakan bahwa ada kejujuran dan ketulusan dari kata kata Arga. Tapi, apa Reina sudah benar-benar siap membangun rumah tangga bersama Arga? Bagaimana dengan tujuan awalnya? Apa Reina sudah siap terluka lebih dalam saat rahasia itu terbongkar?
"Bagaimana mungkin kita sama-sama kalau Bapak saja menikahi saya karena terpaksa? Untuk terus bersama itu butuh cinta." Tangis Reina mulai berhenti digantikan wajah serius.
"Saya gak tahu kalau kata cinta itu diperlukan, saya pikir kamu akan mengerti sendiri dari perhatian yang saya berikan. Bukankah sudah sangat jelas dari tindakan saya setelah kita menikah?"
Mendadak Reina malu sendiri dengan isi kepalanya yang mulai mengerti, dan menyadari bahwa selama ini....
"I love you, Reina," ucap Arga.
Seketika Reina mematung. Rasa sedihnya mendadak hilang entah ke mana. Bahkan digantikan seperti ada kupu kupu yang berterbangan di perutnya saat bibir Arga mendarat di bibir Reina.