"Kok lama ya? Memangnya di sekitar sini gak ada yang jual mochi?" gumam Reina yang merasa Arga sudah pergi cukup lama.
Hingga pintu terbuka Reina akhirnya bisa bernafas lega, setelah sebelumnya khawatir jika terjadi sesuatu pada Arga. Arga mendudukkan diri di kursi, lalu menyerahkan kantong berisi mochi pada Reina.
"Kok semua rasa?" Sembari menoleh ke arah Arga setelah melihat isi kantong.
"Karena saya gak tahu rasa yang benar benar kamu suka, walau pun kamu bilang bisa makan semua rasa."
Reina kembali menatap ke dalam kantong, lalu menyodorkan satu bungkus mochi rasa cokelat pada Arga. "Pak Arga bisa makan rasa cokelat, kan?" Arga ambil mochi itu, memperhatikan Reina yang mulai makan mochinya.
Tanpa Reina sadari di mana Reina sibuk nonton suatu drama china sambil makan mochi, Arga yang berjalan ke arah sofa, memasukkan mochi dalam kemasan itu ke dalam saku jas. Setelahnya kembali duduk di kursi.
.
.
Arga melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya di mana sudah jam 11 malam, dan Reina masih saja sibuk menatap layar handphone. Tanpa berkata sebelumnya, Arga langsung mengambil handphone Reina. Reina yang melihat itu menatap tak percaya apa yang Arga lakukan.
"Pak Arga itu tinggal dikit lagi mau habis episode 10!"
"Sudah waktunya tidur, Reina. Kamu butuh banyak istirahat."
"Sebentar lagi saja, Pak." Dengan wajah memohon.
"Nggak, Reina!" tegas Arga.
Memasang wajah kesal, Reina merebahkan dirinya. Bahkan tidur dengan posisi membelakangi Arga. "Menyebalkan," gumam Reina dengan nada pelan namun masih bisa terdengar oleh Arga yang menggelengkan kepala.
Arga taruh handphone Reina di atas nakas, lalu memperhatikan punggung Reina yang membalikan tubuhnya hingga menghadap Arga. "Apa waktu Pak Arga memukul Pak Kelvin karena Pak Kelvin mengatakan sesuatu yang gak pantas?" tanya Reina yang nyatanya belum mengantuk.
"Intinya kamu jangan dekat-dekat dia."
"Gimana bisa saya dekat dekat sama dia, kita saja gak pernah ketemu selain di Hotel waktu itu."
"Kalau dia mencoba mendekati kamu, kamu harus langsung bilang ke saya!"
"Bapak takut kehilangan saya ya?" Niatnya hanya ingin menggoda Arga, di mana Reina hanya bercanda mengatakan hal seperti itu namun setelahnya Reina merasa salah bicara. Malu sendiri hingga kembali membelakangi Arga.
"Saya sudah berkali kali kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup saya, dan siapa yang akan terbiasa dengan hal itu? Saya gak mau kamu juga menghilang dari hidup saya." Akhirnya Arga pun mulai memperlihatkan isi hatinya pada Reina.
Reina yang memiliki perasaan pada Arga tentu saja hatinya langsung tersentuh saat mendengar perkataan Arga. Lebih dari tersentuh Reina bahagia karena ternyata Reina memiliki arti dalam hidup Arga, bukan hanya sekadar sekretaris. Bahkan mulai yakin jika suaminya itu memiliki rasa padanya.
Tidak membutuhkan waktu lama, Reina pun tertidur dengan Arga yang masih setia memperhatikan. Kemudian, Arga mendapat telepon dari Revan. Berjalan hingga di depan jendela, Arga angkat panggilan masuk itu.
"Hallo," ucap Arga.
"Kakak mau tahu sesuatu yang menarik gak?" tanya Revan di seberang sana dengan nada antusias.
"Sesuatu apa?"
"Temannya Reina ada di sini! Yang reporter itu, Kak."
"Bagaimana bisa dia di sana?"
"Katanya sih ada yang mau dia liput di sini."
"Kamu gak ngomong apa-apa kan sama dia?"
"Nggak." Jika Arga tahu bahwa Revan telah mengatakan sesuatu, mungkin Revan akan dibuat tidak bisa kembali ke Jakarta.
"Mau tahu gak apa yang aku dengar dari Indah?"
"Apa?"
"Reina itu punya perasaan sama Kakak!"
Arga menoleh sebentar ke arah Reina yang masih posisi membelakanginya. Melihat Reina yang selama ini hanya bersikap sebagai sekretaris, tentu Arga tidak akan langsung percaya.
"Sudah dulu, Van. Sudah waktunya Kakak istirahat."
"Wahh, kayaknya Kak Arga gak percaya. Apa sesulit itu buat percaya? Kak Arga gak pernah berpikir kalau mungkin saja Reina menyukai Kakak seperti perempuan lainnya. Siapa yang berani menolak wajah tampan seorang Arga!"
"Sudah, kita gak usah bahas hal itu lagi."
Selesai dengan teleponan, Arga kembali mendudukkan diri di kursi, lalu Reina membalikan tubuh menjadi telentang. Saat Arga menatap wajah yang terlihat damai dalam tidur, tiba-tiba Reina mengerutkan dahinya seolah Reina sedang bermimpi yang tidak bagus.
Salah satu tangan Arga terulur menyentuh dahi Reina, mengelus lembut dahi Reina hingga kerutan tak lagi nampak. Arga tidak akan membiarkan hidup Reina tidak bahagia.
Tengah malam sekitar jam 2 Arga yang sudah tertidur kebangun berkat seseorang yang terus menepuk nepuk punggungnya. Arga yang ketiduran di kursi dengan kepala yang ada di atas kasur, menegakkan badan. Menatap seorang Dokter pria paruh baya yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
"Ada apa ya?" tanya Arga dengan suara khas orang bangun tidur.
"Sekitar 1 jam lalu Pak Mahendra datang ke Rumah Sakit karena merasa gak enak dengan dadanya, terus tiba-tiba ...." melihat raut wajah Dokter itu Arga mulai khawatir dan rasa ngantuknya seketika pergi.
"Terjadi henti jantung hingga saat ini Pak Mahendra dinyatakan ... sudah tiada!"
Deg
Sontak Arga menoleh ke arah Reina yang masih nyenyak dalam tidurnya. Arga tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Reina saat tahu satu satunya keluarga yang ia miliki, pergi juga dan secepat itu.
Arga berdiri dari duduk, dengan rasa tidak enak karena harus membangunkan, Arga tepuk tepuk pelan lengan Reina. "Reina, bangun, Re," ucap Arga dengan nada lembut.
Tidur Reina pun terusik, dan perlahan kedua mata itu terbuka. "Ada apa, Pak?"
"Duduk dulu," ucap Arga. Lalu, membantu Reina mendudukkan diri.
Melihat wajah Arga yang tidak seperti biasanya terlebih ada seorang Dokter di sana, perasaan Reina mendadak tidak menentu. "Ada apa?" tanya Reina sekali lagi.
"Ayah kamu ada di Rumah Sakit sejak 1 jam lalu."
Reina menoleh ke arah jam dinding, lalu kembali menatap Arga. "Apa yang Ayah lakukan di sini jam segini? Kalau Ayah mau melihat aku kan bisa besok. Lagi pula kondisi aku baik-baik saja gak harus segera dilihat, Pak Arga pasti sudah menjelaskannya sama Ayah."
"Ayah kamu datang ke sini karena merasa gak enak sama dadanya."
"Apa? Terus bagaimana mana kondisi Ayah?" Dengan wajah khawatir.
Arga menggapai kedua tangan Reina, menggenggamnya. "Tiba-tiba terjadi henti jantung dan ...."
Reina menggelengkan kepalanya karena tidak ingin apa yang baru saja memasuki pikirannya itu benar. "Apa yang terjadi sama Ayah, Pak?"
Melihat mata Reina yang sudah berkaca-kaca, Arga memeluknya. "Ayah kamu sudah pergi menemui Tuhan," ucap Arga dengan wajah sendu.
Air mata Reina pun jatuh. Hal yang paling ia takuti selama ini pun terjadi. "Ayah gak mungkin ninggalin aku," gumam Reina.
Alih-alih mengatakan sesuatu, Arga mengelus lembut punggung Reina.