Sedari beberapa saat lalu, Arga terus menemani Reina yang sudah berada di Kamar Rawat Inap. Reina yang belum sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup asap. Tangan Arga yang tetap menggenggam tangan Reina, betapa takutnya Arga kehilangan Reina yang kata Dokter kondisinya tidak parah.
Baskara melangkah masuk setelah mengetuk pintu. Berdiri di samping Arga. "Kata polisi kebakaran terjadi karena adanya ledakan dari salah satu kompor di Kitchen."
"Ada korban?" Sembari menatap Reina.
"Gak ada, Pak. Semua tamu dan staf aman."
"Sudah periksa cctv kalau ada tamu atau staf yang mencurigakan?" Arga tidak bisa percaya begitu saja pada pihak berwajib. Karena Arga pikir ada yang sengaja ingin mencelakai Reina.
"Saya sudah memeriksanya dan gak ada hal yang mencurigakan, selain saya mendapat kabar dari kepala Chef kalau salah satu staf Kitchen menghilang dari saat kebakaran terjadi."
"Bagaimana dengan cctv di Kitchen?" Masih dengan menatap Reina.
"Saya gak menemukan apa-apa."
Pertarungan kali ini mungkin tidak akan mudah. Atau pelakunya sama dengan yang menyuruh seseorang mendorong Reina ke kolam renang? Apa mungkin Kelvin seingin itu Reina menghilang dari hidup Arga? Arga pikir Kelvin tahu sepenting apa Reina dalam hidupnya.
"Cek jadwal Kelvin, apa saja yang dia lakukan, dan siapa saja yang dia temui selama seminggu ini!"
"Baik, Pak." Baskara melangkah pergi dari sana.
Sepeninggalan Baskara, Arga yang selalu menatap Reina, mencium punggung tangan sang istri. "Ini semua salah aku, Re. Kalau saja aku gak meninggalkan kamu sendiri, kamu gak akan terluka."
Setelah 2 kali dalam bahaya dan itu terjadi saat tidak bersama Arga, Arga jadi takut jika harus membiarkan Reina sendiri. "Lain kali aku gak akan biarkan kamu sendiri." Arga tempelkan salah satu punggung tangan Reina pada pipinya.
.
.
Tak terasa hari sudah berganti malam saja dengan Arga yang baru keluar Kamar Mandi. Arga yang tidak meninggalkan Reina barang sedetik. Ketika Arga hendak mendudukkan diri di kursi, perlahan mata Reina terbuka.
"Re ...." Arga pun akhirnya bisa bernafas lega.
"Pak Arga," ucap Reina, lemah.
Arga segera menuangkan air mineral dalam botol ke gelas kosong yang ada di atas nakas yang sudah ada sedotannya. Lalu, memberikan pada Reina yang sedikit mengangkat badannya untuk meminum sedikit air. Dengan cepat Arga taruh gelas di tempat semula, kemudian duduk di kursi.
"Kamu kenapa bisa di Kitchen? Untuk apa kamu di sana?" tanya Arga yang ingin tahu alasan Reina di Kitchen.
"Saat kebakaran baru terjadi aku tahu dari manager hotel yang teleponan dengan salah satu staf, dan aku segera ke Kitchen buat memastikan semua staf sudah keluar dari sana, tapi aku malah terjebak di sana gara gara runtuhan atap jatuh dan tiba-tiba aku lemah terus pusing. Setelahnya, aku gak tahu lagi selain berharap ada yang menolong aku."
"Saya gak tahu lagi gimana jadinya kalau kamu terlambat ditemukan atau bahkan gak ada yang menyadari hilangnya kamu. Itu akan jadi hal yang sangat bahaya, Re. Kamu tahu? Manager hotel pun lupa soal kamu."
Seolah tak masalah dengan yang terjadi pada dirinya, Reina tersenyum. "Kalau pun sudah takdir saya pergi dari dunia ini secepat ini, saya bisa apa?"
"Reina! Saya gak mau ya dengar kamu ngomong gitu!" tegas Arga. Arga terlalu takut membayangkan hidup tanpa Reina yang selama 5 tahun ini mengisi hari-harinya.
Lagi-lagi Reina tersenyum. "Maaf ya Pak, saya pasti sudah buat Pak Arga khawatir."
"Saya janji gak akan membiarkan kamu sendiri." Melihat wajah serius dan tatapan dalam Arga, Reina pun kembali teringat perkataan Indah via telepon sebelumnya.
Apa benar Pak Arga suka sama aku? Kenapa rasanya sulit percaya.
"Ada apa, Re? Ada yang mau kamu katakan?" tanya Arga setelah melihat Reina melamun.
"Waktu Pak Arga gak sadarkan diri di Bar, saya sempat dengar dari Pak Baskara soal hubungan Pak Arga sama Pak Kelvin sebelum seperti sekarang."
"Saya harap kamu bisa menjauhi diri dari lelaki macam dia!"
"Mungkin saja kalau kesalahpahaman itu hilang Pak Kelvin gak akan mengganggu Pak Arga lagi."
Alih alih mengatakan sesuatu, Arga berdiri dari duduk, mengatakan bahwa Reina perlu diperiksa untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Bukannya menekan tombol untuk memanggil tim medis, Arga memilih berjalan keluar ruangan. Arga jelas berusaha menghindari pembicaraan itu.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Reina mendudukkan diri, mengambil handphone-nya yang ada di atas nakas, melihat layar handphone yang menunjukkan panggilan video dari Indah.
"Iya, In," ucap Reina saat panggilan video baru terhubung.
"Ya ampun, Re! Kamu gakpapa? Ada yang luka? Benar kan firasat aku kalau kamu mungkin saja terluka."
"Aku gakpapa, In. Gak terluka kok. Cuma kebanyakan menghirup asap saja."
Indah terdengar menghela nafas panjang. "Pas dapat kabar kalau the ravelin yang di Bandung kebakaran, aku langsung panik. Takut kalau ternyata kamu lagi di sana, walau sehari-hari kerjanya di Kantor, tapi kan kamu sama Arga suka kunjungan. Oh ya, gimana sama Pak Arga?"
"Pak Arga gakpapa, gak terluka sedikit pun karena kan hanya aku yang ke Hotel."
"Lho, gimana ceritanya? Biasanya selalu berdua."
"Kebetulan jadwal Pak Arga ketemu sama klien penting dari Jepang, makanya aku yang ke Hotel sendiri."
Sebelum Indah berbicara lagi, pintu yang terbuka membuat Reina mengakhiri obrolan itu. Saat melihat Arga datang bersama Dokter, Reina langsung menaruh handphone di atas nakas, lalu merebahkan tubuh. Membiarkan Dokter itu memeriksa.
"Semuanya baik-baik saja," kata Dokter setelah selesai memeriksa.
"Apa ada makanan atau minuman yang perlu Reina hindari?" tanya Arga.
"Gak ada sih, Pak. Cuma banyak banyakin minum air putih saja. Kalau gitu, saya permisi." Dokter tersenyum ramah.
"Terima kasih, Dok," ucap Reina sembari tersenyum.
Bukannya kembali duduk di kursi, Arga kali ini memilih mendudukkan diri di sofa panjang. Reina tatap Arga yang mulai sibuk dengan handphone-nya.
"Pak Arga," panggil Reina dan Arga langsung menoleh.
"Kenapa?"
"Saya mau mochi," ucap Reina tiba-tiba yang sengaja ingin melihat reaksi Arga yang selama ini selalu mengatakan jika Reina butuh apa-apa tinggal bilang.
Arga berdiri dari duduk, memasukkan handphone ke dalam saku celana. Berjalan ke arah Reina. "Mochi rasa apa?"
"Apa saja. Saya suka rasa semuanya."
"Tapi, kalau saya tinggal kamu, kamu gakpapa?"
Reina tersenyum. "Gakpapa, Pak. Gak akan ada yang berani menyakiti saya. Ini Rumah Sakit."
"Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya!"
"Baik, Pak Arga." Lalu, tersenyum.
Langkah Arga berhenti di depan pintu yang baru saja ia tutup. Arga menelepon seseorang, dan sekitar 10 menit Arga yang terus berdiri di depan ruangan Reina, datang dua orang laki-laki berbadan kekar menghampiri Arga.
"Apa pun yang terjadi kalian harus usahakan pasien di dalam baik-baik saja!"