"Menurut Bu Reina?"
"Saya rasa Pak Arga bukan seseorang yang seperti itu." Lalu, menatao kembali Arga.
"Benar sekali. Itu semua hanya salah paham. Kekasih Pak Kelvin berbohong pada Pak Arga dengan mengatakan bahwa dia sudah putus dengan Pak Kelvin karena Pak Kelvin sudah mulai gak mempedulikannya. Pak Arga yang memang memiliki sedikit perasaan pada perempuan itu, menjadikannya kekasih. Pak Arga sudah menjelaskannya pada Pak Kelvin tapi Pak Kelvin gak percaya."
Salah satu tangan Reina terulut menyentuh kepala Arga, mengelusnya lembut. Reina tidak menyangka bahwa Arga memiliki luka hati yang tak main-main. Perlahan kedua mata itu terbuka. "Reina," ucap Arga dengan nada suara pelan namun masih bisa terdengar Reina.
"Kita pulang sekarang, Pak," ucap Reina lembut.
Mendadak Arga memeluk Reina dengan posisi masih duduk. Menempelkan kepalanya pada perut rata Reina.
"Kalau Pak Arga meluk saya kayak gini, gimana pulangnya?"
Arga mengusuk-usukkan kepalanya pada perut Reina, lalu mempererat pelukan. Reina yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala sembari tersenyum, merasa gemas. Reina menatap Baskara yang memasang wajah datar.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Reina.
"Biar saya bantu bawa Pak Arga ke mobil," kata Baskara.
Reina biarkan Baskara memapah Arga yang sudah setengah sadar. Baskara bantu Arga masuk ke dalam mobil, duduk di bangku depan.
"Kalau gitu, saya duluan," ucap Reina.
"Iya, Bu."
Masuk ke dalam mobil, Reina jalankan mobil dengan kecepatan sedang. Di tengah fokus mengemudi sesekali Reina menoleh ke arah Arga, memastikan suaminya itu baik-baik saja. Arga yang semula memejamkan mata, tiba-tiba mengeluarkan suara, seperti siap muntah. Reina yang melihat itu dengan cepat menghentikan mobil di tepi jalan.
"Pak Arga mau muntah ya?" tanya Reina yang sudah membuka sabuk pengaman.
Arga hanya menganggukkan kepala dengan terus membekap mulutnya. Buru buru Reina keluar dari dalam mobil, membuka pintu mobil samping Arga. Membantu Arga membuka sabuk pengaman, dan setelahnya Arga langsung keluar. Berjongkok di tepi jalan, memuntahkan apa pun yang berada dalam perutnya. Reina menatap kasihan Arga.
Setelah merasa lebih baik Arga berdiri dari jongkok, menatap Reina yang sedang mengambil minum dari dalam mobil. Memberikan botol air mineral yang baru saja segelnya dibuka pada Arga. Arga meminumnya sedikit, lalu memberikan lagi pada Reina.
"Sudah enakan?" tanya Reina.
"Lumayan."
"Sebaiknya kita pulang sekarang, biar Pak Arga bisa cepat istirahat."
Arga masuk kembali ke dalam mobil disusul Reina. Sampainya di Mansion, Reina memperhatikan Arga hingga masuk ke dalam Kamar, dan langsung merebahkan diri di kasur tanpa melepas sepatu. Reina yang semula hanya berdiri di ambang pintu, melangkah masuk. Melepas sepatu bahkan kaos kaki yang dipakai Arga, meletakkannya dekat nakas. Tak lupa menyelimuti Arga.
"Saya gak tahu kalau Pak Arga punya masa lalu yang menyakitkan," kata Reina sembari berdiri. Lalu, melipat kedua tangan di depan dada.
.
.
Pagi telah datang menyapa Arga yang baru saja terbangun dari tidur. Mendudukkan diri sembari memegangi kepala yang terasa sakit akibat pengar. Masuk ke dalam Kamar Mandi hanya untuk buang air kecil, mencuci muka dan gosok gigi. Keluar Kamar, dan saat memasuki area Dapur, Arga melihat Reina yang sudah memakai celemek, berdiri di depan kompor, mengaduk-aduk sesuatu di dalam panci.
"Kamu lagi masak apa?" tanya Arga sembari berjalan ke arah Reina.
"Sup ayam."
"Kamu bisa masak?" Sembari melihat ke dalam panci yang benar sup ayam.
Reina menggelengkan kepala dengan yakinnya. "Tapi, saya mau coba belajar."
"Tiba-tiba?"
"Biar saya bisa masakin Pak Arga, jadi gak Pak Arga terus yang membuatkan saya makanan." Lalu, kembali menatap panci yang sedang ia aduk-aduk.
Melihat Reina yang berniat baik memasakan Arga sup ayam, rasanya Arga ingin segera memeluk istrinya itu. Tapi, mungkin itu akan membuat Reina tidak nyaman, seperti itulah isi kepala Arga.
Ditutupnya panci, lalu menghadap ke arah Arga. "Sebaiknya Pak Arga duduk, nanti kalau berdiri terus bisa-bisa kepalanya semakin sakit."
Arga melangkahkan kaki, mendudukkan diri di kursi makan. Memperhatikan Reina yang kali pertama berperan sebagai istri. Apakah Reina mulai berpikir untuk menunjukkan perasaan yang selama ini ia pendam?
Menunggu sup ayam matang, Reina yang masih menggunakan celemek, mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Arga. Mengeluarkan handphone dari dalam saku celemek. Memainkannya.
"Semalam bagaimana cara saya pulang?" tanya Arga yang tidak ingat.
"Pak Arga menelepon saya, minta dijemput." Reina mencoba menggoda Arga.
"Serius? Seharusnya saya gak melakukan hal itu. Membuat kamu keluar tengah malam hanya untuk menjemput saya. Itu bahaya sekali, Re."
Reina meletakkan handphone di atas meja. "Bercanda, Pak. Pak Baskara yang menelepon saya, dan saya yang memutuskan untuk menjemput Bapak."
Arga menghela nafas. "Seharusnya kamu biarkan saja saya diantar Baskara. Gak baik buat kamu keluar tengah malam kayak gitu."
"Kasihan Pak Baskara kalau harus mengantar Pak Arga pulang juga setelah seharian bekerja dan menjaga Bapak di Bar."
Sebelum Arga mengatakan sesuatu, Reina beranjak dari duduk. Berjalan ke depan kompor, mematikan kompor di mana ayam sudah diperkirakan matang. Reina buka tutup panci, mulai menyiapkan sarapan untuk Arga.
Duduk saling berhadapan, mereka nikmati sarapan pagi ini bersama. Arga mencoba mencicipi kuahnya lebih dahulu, di mana rasa dari sup ayam membuat Arga terdiam seribu bahasa.
"Gimana? Enak gak?" tanya Reina dengan wajah penasaran.
"Enak." Lalu, Arga memakan sup ayam lagi.
Reina yang semula tersenyum senang perlahan senyumnya luntur saat sup ayam telah masuk ke dalam mulutnya. Menatap tak percaya Arga yang terus memakannya.
"Stop, Pak! Gak usah makan lagi! Bapak pasti terpaksa memakannya." Reina cemberut, karena masakannya ternyata tidak enak. ASIN.
"It's okay. Masih bisa dimakan kok."
Tentu saja Arga tetap memakannya setelah melihat perjuangan Reina mencoba belajar masak. Arga tidak ingin membuat Reina tambah kecewa setelah Reina tahu masakannya kurang enak.
"Maaf ya, Pak." Dengan wajah merasa bersalah dan sedih.
"It's okay, Re." Lalu, Arga tersenyum tipis. Senyum yang jarak sekali terlihat yang mampu membuat Reina merasa bahwa Arga memang tipe yang menghargai usaha seseorang. Reina tersentuh.
Dengan rasa ingin memuntahkannya, cuma ia tahan karena tidak bisa membiarkan Arga makan sendiri, Reina memaksakan diri untuk makan sup ayam buatannya.
"Lain kali biar saya yang masak," ucap Arga di sela makannya.
"Saya rasa juga gitu." Reina mungkin trauma untuk masak lagi.
"Kamu gak perlu bisa masak, karena saya menikahi kamu bukan untuk dibuatkan makanan setiap hari, bukan untuk melayani saya, tapi saya ingin kamu merasa aman bersama saya."
Cinta yang tak menuntut balasan... di mana lagi Reina bisa mendapatkan lelaki seperti Arga??