Walau harus merasa secanggung itu saat breakfast kali ini, Reina memilih untuk tidak menghindar. Lagi pula untuk apa jika hanya menghindar saat sarapan? Di kantor mereka akan terus bertemu.
Sarapan kali ini Arga membuat nasi goreng dengan telur mata sapi. Berkat Reina yang kembali pulang Arga jadi terjun ke Dapur lagi, membuat sesuatu setelah sebelumnya hanya makan mie instan dan membuat sandwich.
"Oh ya, Bapak sudah tahu kabar terbaru soal Pak Kelvin?" Di sela makannya.
"Soal dia yang bawa perempuan ke Hotel saya?" Lalu, memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut.
"Iya. Gak takut fansnya pada kabur apa ya?"
"Bisa jadi fansnya ingin jadi perempuan itu. Siapa yang gak mau tidur dengan lelaki seperti Kelvin? Bukankah seperti itu yang akan dipikirkan fansnya?"
Reina menatap kagum pikiran Arga itu. Reina saja tidak kepikiran seperti itu. Ya, kedua orang itu memutuskan bersikap seperti biasa seolah kecupan tadi malam hanya angin lalu.
.
.
Arga dan Reina keluar dari dalam mobil sport Arga setelah sebelumnya seperti biasa, Arga yang mengemudi. Melangkah masuk bersamaan dengan Reina yang terlihat makin cantik, dan berkelas. Jika berjalan di samping Arga seperti itu, Reina bukan hanya pantas menjadi sekretarisnya, justru banyak yang menumpangi kapal ARe di Kantor.
Sepertinya para pengagum Arga dan Reina, jika tahu kedua orang itu telah bersatu dalam ikatan suci, akan menggila, bahwa kapal yang selama ini mereka tumpangi akhirnya berlayar.
Sampainya di depan lift, Reina yang sedari tadi memegang tablet. Menyentuh layar tablet berulang kali sebelum akhirnya menatap Arga. "Hari ini Bapak ada kunjungan ke Hotel kita yang di sini," kata Reina dengan nada wibawa.
"Rasanya saya malas ke sana hari ini." Sembari menatap pintu lift.
"Kenapa gitu?" tanya Reina dengan wajah bingung.
"Saya terlalu malas bertemu Kelvin kalau ternyata dia masih di sana." Pintu lift terbuka, Arga melangkah masuk lebih dahulu disusul Reina yang kembali berdiri di samping Arga. Kemudian, pintu menutup.
Sampainya di lantai atas, Arga masuk ke dalam ruangannya sementara Reina menempati meja kerjanya. Saat menoleh ke arah jendela Arga pun bisa melihat Reina. Meja kerja di seberang ruangannya tidak lagi kosong. Arga pun tersenyum bahagia, tanpa Reina tahu.
Reina mengangkat gagang telepon yang ada di meja, menekan tombol tombol telepon kantor itu. Kemudian, terpantau telepon kantor yang ada di meja Arga berbunyi, dan Arga mengangkatnya.
"Bagaimana kalau saya saja yang ke Hotel? Dengan begitu pekerjaan selesai dan Bapak pun gak akan bertemu Pak Kelvin."
Arga diam sejenak, menatap Reina melalui jendela. Reina yang tidak menyadari. Apa pilihan yang benar membiarkan Reina pergi sendiri?
"Saya lebih memilih bertemu Kelvin dari pada membiarkan kamu datang sendiri."
"Okay, kalau itu keputusan akhir Pak Arga." Lalu, Reina mengakhiri obrolan via telepon itu.
Baru saja meletakkan gagang telepon, telepon berdering dan tentu Reina segera mengangkatnya. "Dengan Reina di sini," ucap Reina.
"Ada yang ingin bertemu Pak Arga, Bu. Tapi, belum buat janji sebelumnya."
"Namanya?"
"Bu Soraya dengan anak perempuannya bernama Putri."
"Suruh tunggu sebentar, saya akan menanyakannya pada Pak Arga dulu."
"Baik, Bu."
Diletakkannya kembali gagang telepon, berjalan ke arah pintu ruangan Arga, mengetuknya, lalu melangkah masuk.
"Di Lobi ada seorang wanita bersama anak perempuannya bernama Putri, Bapak mengenal mereka? Mereka ingin bertemu Pak Arga," ucap Reina yang berdiri lumayan jauh dari posisi Arga.
"Saya akan menemuinya." Arga melangkahkan kaki. Bahkan melewati Reina tanpa penjelasan sama sekali perihal siapa wanita dan anak itu.
Reina keluar ruangan Arga, kembali ke mejanya di mana Arga sudah tidak ada. "Apa mungkin wanita dan anak itu yang waktu itu Indah lihat di Rumah Sakit yang katanya Pak Arga membiayai pengobatan anaknya?" gumam Reina dengan wajah penasaran.
Alih alih fokus pada pekerjaan, Reina pergi dari sana. Masuk ke dalam lift, ingin melihat apa yang terjadi di Lobi. Tidak membutuhkan waktu lama, pintu lift terbuka. Reina hanya berjalan tiga langkah dari lift. Menatap Arga yang tengah menggendong seorang anak perempuan kecil yang saat itu menarik banyak mata. Anak yang waktu Reina lihat di Rumah Sakit bersama Arga.
"Kira-kira siapa ya wanita sama anak itu? Apa mungkin rumor kalau Pak Arga sudah menikah benar? Jadi itu anak sama istrinya?" ucap salah seorang karyawati yang melangkah melewati Reina.
"Masa sih, wanita itu gak cocok sama Pak Arga. Kok bisa bisanya Pak Arga pilih wanita itu, bukannya yang penampilannya kayak Bu Reina," ujar karyawati satunya lagi di mana mereka berjalan berdua. Ya, mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lewati itu adalah Reina.
Reina yang tidak ingin mengganggu atau terlalu lama di sana, memilih membalikan tubuh. Berjalan ke arah lift, menekan tombol lift. Dan saat Reina melangkah masuk, Arga yang sudah menuruni anak itu dari gendongannya, melihat Reina yang memilih menatap lantai lift.
Ketika Arga kembali dari urusannya, Reina sedang mengerjakan pekerjaannya. Arga hanya melihatnya sebentar sebelum masuk ke dalam ruangan.
Drrrtt
Perhatian Reina sejenak teralihkan pada layar handphone yang menampilkan satu chat masuk dari Indah. Reina ambil handphone, membukanya. Indah membagikan sebuah link, saat membuka link Reina diarahkan ke suatu artikel dengan judul CEO KESAYANGAN KITA TERLIHAT BERSAMA WANITA DAN SEORANG ANAK KECIL PEREMPUAN, APA MUNGKIN ITU ISTRI DAN ANAKNYA?
Reina lihat dua foto yang didapat dengan wajah wanita dan anaknya yang diblur. Kedua foto diambil saat Arga menggendong anak itu.
Ada satu chat masuk dari Indah lagi.
Indah : itu kan anak yang biaya operasinya ditanggung Pak Arga. Bisa-bisanya artikel membuat rumor kayak gitu tanpa mencari tahu dulu kebenarannya.
Reina : bukankah mereka terlihat ingin menjatuhkan? Aku akan segera mengurusnya.
Indah : baiklah, Bu Sekretaris. Tugas saya sampai di sini saja.
Dibawanya handphone ke hadapan Arga. Meletakkan handphone di meja tepat di hadapan Arga. Arga ambil handphone Reina. "Apa yang harus saya lakukan dengan berita seperti itu?" tanya Reina yang sedang mode Sekretaris.
Arga letakkan kembali handphone di atas meja. "Kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan," kata Arga sembari menatap Reina.
Reina ambil handphone, lalu menghilang dari sana. Arga menoleh ke arah jendela di mana Reina sudah duduk di kursi, sedang menelepon seseorang.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan waktunya makan siang. Reina meregangkan otot-otot tangan yang sedikit kaku. Lalu, melihat ke arah Arga yang keluar dari dalam ruangannya.
"Gimana kalau kita makan siang bareng?" tanya Arga yang sudah berdiri di depan meja.
"Boleh, Pak. Tapi, Bapak yang traktir kan?" tanya Reina yang sebenarnya bercanda.
"Kamu boleh makan sepuasanya, Re. Tanpa perlu memikirkan jumlah yang harus dibayar." Arga dalam mode suami. Jika masih hanya menjadi atasan Reina, apa Arga akan bersikap seperti itu? Terlepas dari rasa cintanya, Arga kan akan lebih memilih tidak menunjukkan perhatiannya.