"Gak ada kok, Yah." Lalu, Reina memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
Lagi lagi Mahendra mencoba percaya, walau yakin bahwa ada yang sedang dipikirkan Reina.
Langkah kaki Arga terdengar tenang namun berat menyusuri lorong kantor yang mulai sibuk pagi itu. Karyawan berseliweran, mengucapkan salam, namun hanya dibalas anggukan kecil dari Arga yang terus melangkah menuju ruangannya.
Begitu masuk ke ruang kerja, ia menutup pintu perlahan. Ruangan itu masih sama—bersih, rapi, terang oleh cahaya matahari yang menembus tirai. Namun yang berbeda adalah satu hal... kursi kerja di seberang ruangan Arga yang tetap kosong sejak kepergian Reina yang sudah 2 hari.
Arga menyesali keputusannya namun Arga juga tidak bisa berbuat apa-apa. Arga tidak memiliki alasan untuk tidak mengizinkan Reina. Biasanya akan sering ada ketukan pintu atau telepon yang mengganggu di tengah fokus bekerja, tetapi hanya ada sekali-dua kali ketukan pintu dan telepon yang datangnya bukan dari sekretarisnya.
Arga bersandar, menatap langit-langit ruangan. "Sejak kapan kehadiranmu memengaruhi hidupku sedalam ini, Re?" gumamnya lirih.
Dering handphone pun membuyarkan lamunan Arga. Mengambil handphone yang berada di dalam saku jas, menatap layar handphone yang terdapat panggilan masuk dari Baskara.
"Kami sudah menemukanya, Pak!" ucap Baskara saat panggilan baru terhubung.
"Kirimkan lokasinya sekarang! Saya akan menemuinya." Dengan wajah bersungguh-sungguh. Secepat kilat Arga menghilang dari sana setelah mengakhiri teleponannya dengan Baskara.
Langit mendung menggantung di atas kota, seolah tahu ke mana langkah kaki Arga akan membawanya hari ini. Dengan tangan menggenggam kuat kemudi mobil, Arga melajukan kendaraannya menembus jalanan yang perlahan makin sempit dan berliku.
Lokasi yang dikirimkan Baskara bukanlah tempat biasa. Bahkan tidak pantas disebut kawasan pemukiman.
Arga menghentikan mobilnya di depan sebuah gang kecil, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Setiap langkahnya melewati dinding-dinding rumah yang catnya mengelupas, selokan yang terbuka, dan bau lembab yang menusuk hidung. Tak ada yang menyambut. Hanya suara anjing menggonggong dan tatapan curiga dari penduduk sekitar.
Beberapa meter di depan, berdiri sebuah rumah yang disebut Baskara dalam pesan terakhirnya. Rumah itu nyaris tak layak disebut tempat tinggal. Dindingnya retak, sebagian atapnya tampak sudah usang dan berlumut. Halaman depannya berantakan—penuh botol plastik, kain lusuh, dan sepatu bekas.
Ia mengetuk pintu besi berkarat itu keras. Tak ada jawaban. Lalu ia mengetuk lagi, lebih kuat. Tetap tidak juga ada yang membukakan, sampai akhirnya Arga dengan kekuatan penuh, mendobrak pintu itu. Arga tidak peduli jika harus merusak properti orang lain, Arga hanya ingin segera menemukan pelakunya.
Berjalan masuk di mana Rumah itu bisa dibilang tak layak huni. Satu sofa panjang yang kulitnya sudah robek robek hingga memperlihatkan isi sofa, tv yang sudah sangat ketinggalan zaman, dinding yang banyak sarang laba laba, lantai yang masih semen, dan bau debu yang sangat menyengat, bahkan banyak kecoa dan tikus yang berkeliaran.
Satu pintu di sudut Rumah mencuri perhatiannya. Setengah terbuka, seperti sengaja menantang. Arga mendekat perlahan, tangannya menyentuh kenop pintu berkarat. Ia mendorongnya pelan—kreeeekk...
Kamar itu gelap. Cahaya matahari hanya masuk dari celah-celah jendela yang tertutup tirai sobek. Isinya tak banyak: kasur usang, lemari reyot dengan pintu hampir copot, dan karpet kusam yang baunya membuat perut mual.
Langkahnya masuk ke Kamar, mata menyapu setiap sudut. Ada bekas jejak kaki yang baru—masih basah. Insting Arga langsung bekerja. Dia tahu seseorang baru saja ada di sana... atau masih ada.
Matanya menatap lemari. Pelan-pelan ia mendekat, lalu menarik gagang pintu lemari dengan cepat—kosong.
Saat itu juga, angin seperti berubah. Ada bunyi kecil. Langkah cepat. Sesuatu bergerak dari belakang.
—Srrt!
Dalam sepersekian detik, Arga membalikkan badan. Matanya menangkap kilatan logam—sebilah pisau tajam—meluncur ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Arga menjatuhkan tubuhnya ke samping, membuat pisau itu hanya menyayat udara.
Brak! Bahunya membentur dinding.
Pelaku, pria kurus itu, muncul dari balik tirai kamar dengan napas terengah. Wajahnya panik, namun tekad di matanya liar dan putus asa. "Anda gak seharusnya ikut campur!" teriaknya, menyerang lagi dengan ayunan liar.
Arga cepat bangkit, menepis tangan pelaku dengan gerakan cekatan. Pisau itu terlepas dan jatuh ke lantai, membentur lantai semen dengan suara nyaring. Keduanya sempat saling dorong—Arga menggenggam kerah pria itu dan menghantamkan tubuhnya ke dinding dengan keras.
"Gak ada satu orang pun yang lolos dari genggaman saya!" kata Arga dengan tatapan mata mematikan.
Arga mencengkeram lebih erat. "Siapa yang nyuruh Anda?!"
"Kalau sejak awal saya mudah menyerah, saya gak akan terima pekerjaan ini!" Dengan raut wajah yang sudah kebaca Arga bahwa pria di hadapannya tidak akan memberitahunya seperti itu saja siapa dalang sebenarnya.
"Okay, kalau Anda mau main-main dengan saya." Arga melayangkan pukulan keras ke arah wajah pria itu hingga wajah pria itu memerah.
Namun, pria itu tetap bungkam. Justru tersenyum licik. Seolah tidak ada takut-takutnya dengan Arga. Rahang Arga semakin mengeras, ia muak dengan kegigihan pria di hadapannya itu. Arga pun melayangkan pukula lagi, bukan sekali-dua kali melainkan berkali kali pada wajah pria itu hingga wajah pria itu sudah lebam dan berdarah.
"Saya rasa Anda gak takut dengan yang namanya mati," kata Arga sembari menatap pria itu yang mulai lemas.
"Saya adalah orang yang gak mudah mengingkari janji."
Arga melayangkan pukulan sekali lagi hingga pria itu tersungkur ke lantai sudah tidak berdaya. Mengambil pisau yang sebelumnya dipakai pria itu. Berdiri di hadapan pria itu dengan wajah bahwa Arga mampu melakukan apa pun.
"Pak," panggil Baskara yang berhasil menghentikan Arga yang hendak melayangkan pisau pada pria itu.
"Saya gak minta kamu ke sini," ucap Arga.
"Saya sudah menduga kalau gak akan mudah membuatnya buka mulut, dan saya sudah menemukan solusi yang membuatnya langsung buka mulut." Baskara memberikan sebuah foto pada Arga. Foto anak kecil perempuan bersama seorang pria.
Arga berjongkok. Memperlihatkan foto pada pria itu yang ekspresi wajahnya langsung berubah. "Anda tenang saja, saya gak akan menyakitinya. Syaratnya Anda sudah tahu sejak awal," ujar Arga.
"Saya ...."
"Kalau Anda tetap bungkam sampai akhir saya gak menjamin anak Anda satu-satunya akan aman!"
"Tolong Pak jangan sakiti anak saya! Saya juga menerima pekerjaan ini untuk membayar biaya pengobatannya." Dengan tatapan memohon belas kasihan.
"Jadi, siapa yang menyuruh Anda?"
"Pak Kelvin."
Arga buang sembarang pisau yang sedari tadi ia pegang beserta foto anak kecil perempuan itu. Melangkah pergi dari sana diikuti Baskara yang berjalan di belakang Arga.
"Sekarang dia sudah mulai berani memperlihatkan dirinya yang sebenarnya," gumam Arga dengan wajah penuh amarah.
"Apa perlu saya melakukan sesuatu agar membuat Pak Kelvin sadar?" tanya Baskara.
"Kita lihat dulu pergerakannya."