Kembalinya ke Jakarta, Reina meminta izin pada Arga untuk sementara, saat masa penyembuhan kakinya Reina tinggal di Rumah Ayahnya, dan Arga mengizinkannya.
Suasana kantor yang biasanya sibuk kini terasa begitu hampa. Langkah kaki pegawai, suara keyboard, bahkan bunyi mesin fotokopi… semuanya terdengar jauh, seperti gema di dalam ruang kosong. Arga duduk di balik meja kerjanya, menatap layar monitor yang tak berubah sejak satu jam terakhir. Tangannya memegang pena, tapi pikirannya jauh. Bukan pada laporan, bukan pada klien—melainkan pada seseorang yang tak lagi duduk di seberang ruangannya.
Bahkan ketika sampai Mansion, rasa hampa pun semakin menyelimuti Arga yang sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Reina di Mansion-nya. Hunian itu kembali sepi, tak ada langkah kaki selain milik Arga sendiri. Tidak ada seseorang yang akan mengobrol singkat dengan Arga.
Arga pikir keputusannya benar dengan membiarkan Reina yang mungkin merindukan Ayahnya, pulang. Nyatanya Arga mulai tersiksa dengan tidak adanya sesosok Reina yang hampir 24 jam bersamanya.
Berbeda dengan Reina yang nampak sedang menikmati waktu sendirinya itu yang sepertinya terasa menenangkan. Sesekali perempuan yang tengah duduk di atas kasur dengan mata tertuju pada laptop, tertawa. Ya, di tengah bulan yang menerangi langit malam Reina asik nonton drama China. Seolah tidak masalah tidak ada Arga yang selama di Bali terus menjaganya.
Tok tok tok
Perhatian Reina pun teralihkan pada pintu yang perlahan terbuka menampakkan Ayah-nya yang tersenyum lembut padanya. "Suara tawa kamu terdengar sampai luar lho," kata Ayah-nya sembari berjalan ke arah Reina.
"Habisnya dramanya lucu banget, Yah." Sembari menatap Ayah-nya lalu kembali menatap layar laptop.
Mahendra mendudukkan diri di samping Reina, ikut menatap layar laptop. Lalu, menatap Reina yang wajahnya baik-baik saja seperti tidak menyimpan sesuatu yang tidak membuat tenang. "Kamu sama Arga gak bertengkar kan? Sampai kamu memilih pulang," tanya Ayah-nya khawatir.
Reina tatap Ayah-nya dengan senyum penuh cinta. "Aku sama Pak Arga baik-baik saja, Yah. Aku minta pulang karena gak mau sendirian di Mansion. Ayah tahu sendiri kalau Pak Arga akan lebih banyak waktu di Kantor. Mau masuk kerja tapi Pak Arga gak mengizinkan. Jadi, dari pada sendirian di hunian besar itu lebih baik di sini sama Ayah." Reina menggandeng tangan Ayah-nya, lalu bersandar pada bahu sang Ayah. Kembali menatap layar laptop.
Mahendra mencoba percaya. Mengelus lembut tangan Reina yang memeluk salah satu lengannya sembari menatap layar laptop.
Seperti tanpa Reina, Arga yang sejujurnya malas masak walau bisa, makan malam kali ini hanya mie instan. Jika ada Reina, Arga pasti tidak akan malas masak karena Reina perlu makan makanan yang bergizi. Sembari menonton berita di tv, Arga menikmati mie instannya itu.
Terdengar dering handphone dari atas meja yang memperlihatkan panggilan masuk dari Baskara. Arga letakkan mangkuk mie di atas meja, mengambil handphone.
"Hallo," ucap Arga.
"Saya sudah menemukan pelakunya, Pak. Bahkan sekarang sedang melacaknya!"
"Kalau sudah ketemu lokasinya, kabari saya!"
"Baik, Pak." Panggilan berakhir.
Sesaat sebelum meletakkan kembali handphone di atas meja, Arga menggenggam handphone cukup erat dengan wajah sudah tidak sabar bertemu pelaku yang sudah berani-beraninya mencelakai Reina.
Kembali pada Reina yang terlihat sedang menikmati makan malam bersama Ayahnya dan juga Indah yang datang sesaat sebelum makan malam.
"Reina sudah menikah, Indah gak mau cepat nyusul?" tanya Mahendra yang asal tanya.
"Mau sih, Om. Cuma kan pacar Indah belum mau."
"Kenapa? Bukannya kalian pacaran sudah lama?" Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
"Katanya sih belum siap, karena kan menikah itu butuh persiapan buat sebelum dan sesudahnya. Kalau ternyata gak cocok setelah menikah, gimana? Pacar Indah itu takut banget kalau kehidupan pernikahan jauh berbeda dengan hubungan pacaran."
"Iya sih, harus siap lahir-batin. Gak bisa langsung nikah gitu saja, tanpa adanya persiapan. Nanti yang ada tekanan batin mulu terus bisa bisa ujungnya pisah."
"Tapi, Indah percaya kalau Reina dan Pak Arga sudah mempersiapkannya," ucap Indah sembari menoleh ke arah Reina yang duduk di sampingnya.
"Mempersiapkan apa?" Sembari mengerutkan dahi.
"Mempersiapkan apa yaa ...." Indah memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
Setelah makan, Reina mengajak Indah ke Kamar-nya. Duduk di atas kasur, saling berhadapan dengan wajah serius. "Jadi gimana?" tanya Reina.
Indah mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas yang ia berikan pada Reina yang dengan cepat membukanya. Terdapat beberapa foto Revan dengan jas putih kebesarannya sedang memberikan suntikkan pada anak-anak Afrika.
"Aku masih gak ngerti," kata Reina sembari meletakkan foto-foto itu di atas kasur.
"Kalau memang Revan ingin jadi Dokter sukarelawan di sana kan bisa melakukannya setelah menikah dengan kamu, kenapa sampai kabur ya?" Indah pun ikut bingung dengan masalah sahabatnya itu.
"Pasti ada hal lain!" Dengan wajah sangat yakin.
"Tapi, apa?" tanya Indah.
"Aku juga gak tahu. Gak kepikiran apa-apa."
"Tanya Pak Arga, gimana?"
"Percuma, In. Pak Arga akan akan memberitahu aku. Waktu itu saja kan jawabannya karena Revan lebih pilih kekasihnya."
"Apa coba aku temui Revan langsung?"
"Hah? Maksudnya kamu mau ke Afrika?"
"Iya. Kenapa?"
Reina memasang wajah tak percaya karena Indah setotalitas itu dalam membantu. Padahal itu masalah Reina, tapi Indah yang antusias. "Kalau kata aku sih gak perlu sampai segitunya," ucap Reina.
"Kan biar kita bisa tahu rahasia apa yang mereka sembunyikan."
"Iya sih, cuma kayaknya kalau sampai mengirim kamu ke Afrika ...." tentu saja Reina tidak enak.
Indah menyentuh salah satu bahu Reina. "Kamu gak usah gak enak lagi pula memang sudah dari lama aku ingin ke sana, melihat kehidupan masyarakat di sana secara langsung, cuma ya belum ada waktu saja."
"Kamu gak lagi pura-pura kan? Kamu gak harus segitunya dalam membantu aku, In."
Indah tersenyum hangat. "Aku bersungguh-sungguh, Re."
"Terserah kamu saja."
.
.
Pagi telah datang menyapa Arga yang ketiduran di sofa. Mendudukkan diri, melihat ke arah jam dinding di mana sudah jam mau jam tujuh. "Aku lupa, belum membuatkan sarapan untuk Reina," gumam Arga yang melangkah pergi dari sana.
Sampainy di Dapur, saat sedang memeriksa bahan makanan dalam kulkas, Arga terdiam. "Reina kan di Rumah Ayahnya," gumam Arga dengan wajah sendu. Ditutupnya kembali kulkas, melangkah pergi dari Dapur.
Ketika sedang sarapan nasi goreng bersama Ayahnya yang duduk tepat di hadapan Reina, Reina kepikiran Arga.
Pak Arga pasti sarapan kan? Kira kira sarapan apa ya? Apa sandwich yang waktu itu dia buatkan untuk apa?
"Ayah rasa ada yang mengganggu pikiran kamu," kata Mahendra sembari melihat putrinya sedang melamun.