Selesai makan, Arga dan Reina nampak meninggalkan Rumah Makan. Ketika sedang melangkah menuju mobil tiba-tiba tanpa permisi hujan turun dengan derasnya disertai kilatan dan suara guntur yang menakutkan, membuat Reina ingin cepat masuk ke dalam mobil, namun kursi roda yang semula didorong Arga mendadak berhenti bergerak. Tentu Reina merasa aneh, dan saat menoleh ke arah belakang Arga sedang mematung dengan kepala yang menengadah ke arah atas.
"Ada apa, Pak?" tanya Reina di tengah hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Suara Reina tenggelam dalam derasnya hujan, mungkin itu yang membuat Arga hanya diam, seolah tidak mendengar suara Reina. Reina pun tak ada pilihan lain selain, berdiri dari duduk. Berdiri di samping Arga, menghadap ke arahnya. "Pak Arga?" Arga masih saja diam dengan tatapan mata ke arah atas.
Tatapan matanya seperti bukan seseorang yang menikmati hujan, kosong. Reina pun mulai cemas, membalikan tubuh Arga menghadap padanya dengan sedikit tenaga, hingga pandangan Arga akhirnya jatuh pada Reina.
"Ada apa?" tanya Reina lembut.
Tubuh Arga mulai gemetar dan itu membuat Reina merasa ada yang salah dengan Arga. Alih-alih terus bertanya, Reina mengelus lembut salah satu lengan Arga, mencoba membuat Arga lebih tenang, karena wajahnya telah memperlihatkan ketakutan.
Tanpa kata, Arga memeluk Reina yang ikut-ikutan mematung karena shock dipeluk Arga. Pelukan Arga yang terasa erat membuat Reina mencoba mengelus lembut punggung Arga. Sedetik, dua detik, tentu belum terasa apa-apa hingga 2 menit terus berdiri Reina mulai merasa sakit pada kakinya yang cedera.
"Pak," ucap Reina yang merasa sudah tidak sanggup.
Arga lepas pelukannya. Menatap Reina yang terlihat menahan rasa sakit. "Saya sudah gak kuat berdiri, kaki saya sakit."
Mendengar hal itu Arga langsung mengangkat tubuh Reina. Membawa Reina menuju mobil. Setelah mendudukkan Reina di bangku, Arga segera masuk ke dalam mobil.
"Maaf ya sudah buat kamu berdiri lama," ucap Arga sembari menatap Reina penuh rasa bersalah.
Di tengah rasa sakitnya Reina masih bisa tersenyum. "Gakpapa, kalau itu bisa membuat Pak Arga lebih baik."
Duarr
Reina spontan menundukkan kepala karena terkejut dengan suara guntur disertai kilat itu. Salah satu tangan Arga terulur begitu saja menyentuh kepala Reina. Mengelusnya lembut. Reina mengangkat kepala hingga manik matanya bertemu dengan manik mata Arga. "Kamu gak tanya kenapa saya bisa sampai gemetar ketakutan?" tanya Arga, lembut.
Jika pertanyaan Reina hanya membangkitkan luka lama Arga yang menyakitkan, kenapa Reina harus bertanya? Reina tidak ingin membuat Arga kembali mengingat rasa sedihnya.
"Kalau ada hubungannya sama rasa sakit dan kesedihan yang pernah Pak Arga alami, lebih baik saya gak bertanya. Saya gak mau Pak Arga mengingatnya lagi."
Arga menyudahi kegiatannya mengelus kepala Reina, menurunkan tangan. Menatap dalam Reina yang sesungguhnya penasaran. "Sekitar usia 7 tahun saya pernah mengalami kecelakaan bersama Mama saya, dan saat itu sedang hujan deras. Hampir saja saya dan Mama saya merenggut nyawa kalau gak dapat pertolongan tepat waktu. Saya sempat sadar waktu kecelakaan itu, melihat betapa kacaunya hari itu. Meninggalkan trauma tersendiri buat saya."
Reina pun membayangkan betapa takut, sakit dan sedihnya Arga kala itu. Arga kecil yang tiba-tiba harus mengalami kejadian buruk yang membuatnya memiliki trauma.
"Pak Arga gak perlu mengingatnya lagi, ganti saja ingatan tentang hujan itu sama pengorbanan saya yang berdiri lumayan lama sampai kaki saya semakin sakit."
Lagi-lagi Reina mematung. Kali ini berkat Arga yang setelah 5 tahun untuk pertama kalinya tersenyum, walau senyum tipis. Reina tidak tahu kalau Arga bisa tersenyum. Bahkan senyum yang membuat Arga terlihat berbeda.
"Kamu kenapa?" tanya Arga yang merasa aneh.
"Pak Arga bisa senyum," ucap Reina dengan wajah konyolnya. Seolah senyum Arga adalah salah satu keajaiban dunia yang menakjubkan.
"Saya ini manusia, Re. Bukan robot. Tentu saja saya bisa tersenyum."
"Terus kenapa selama ini Pak Arga gak pernah senyum? Bahkan sama klien."
"Senyum saya itu mahal dan hanya untuk orang tertentu." Lalu, Arga menghadap ke arah depan di mana hujan sudah tidak sederas sebelumnya.
"Berapa harganya? Saya akan membayarnya biar Bapak bisa tersenyum setiap hari."
Dengan gerakan cepat, wajah Arga sudah berada tepat di depan wajah Reina. Reina terpaku. Hembusan napas Arga menyentuh kulit wajahnya, membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Kamu sungguh bisa membayarnya? Masalahnya saya gak perlu uang." Dengan tatapan yang seketika membuat Reina bergidik ngeri.
Kedua tangan Reina terulur menyentuh dada Arga, mendorongnya perlahan hingga wajah mereka berjauhan. "Kalau gitu, saya gak jadi bayar." Sembari menurunkan tangannya.
Ketika Reina menoleh ke arah pintu kaca mobil yang ada di sampingnya, Arga tersenyum penuh kemenangan karena sudah berhasil menggoda Reina. Setelahnya Arga menjalankan mobil.
.
.
Arga baru saja membiarkan staf laki-laki masuk, mengantarkan makan malam. Setelah meletakkan makanan makanan itu di atas meja makan, Arga menghampiri Reina yang sedang tertidur. Saat Arga menyentuh tangan Reina sontak Arga dibuat terkejut dengan tangan Reina yang terasa panas. Arga pun buru buru menyentuh dahi Reina di mana Reina benar-benar demam.
Mencari plaster penurun demam dan Arga tidak mendapatinya, hingga Arga menelepon manager Hotel untuk mencarikannya secepat mungkin. Dan tanpa membutuhkan waktu lama manager datang dengan beberapa bungkus plaster penurun demam dan obat.
Setelah manager Hotel berlalu dengan cepat Arga memasangkan plaster itu di dahi Reina. Sembari duduk di tepi ranjang, menghadap Reina, Arga terus menatap Reina dengan wajah khawatirnya. Merasa bersalah karena Reina bisa sakit seperti itu karena Arga. Jika Arga cepat membawa Reina berteduh, Reina pasti tidak akan jatuh sakit.
"Maafkan saya, Re," gumam Arga dengan nada suara sedih.
Makanan yang semula hangat telah menjadi dingin tanpa tersentuh sedikit pun. Fokus Arga hanya berpusat pada Reina yang terus diperhatikannya. Arga tidak beranjak ke mana-mana, tetap di sana. Setia menggenggam tangan Reina yang panasnya sudah mulai turun.
Perlahan kedua mata itu terbuka, membuat Arga sedikit bernafas lega. "Pak ...." ucap Reina dengan nada suara lemah.
"Saya di sini," kata Arga.
"Saya tidurnya lama ya? Sudah jam berapa?"
"Baru jam 10."
"Pak Arga sudah makan?"
"Belum."
"Kenapa? Seharusnya Pak Arga sudah makan. Nanti Pak Arga bisa sakit kalau telat makan."
"Dari pada mengkhawatirkan saya, seharusnya kamu mengkhawatirkan diri kamu sendiri. Apa kamu merasa pusing?"
"Mm. Sedikit."
"Kalau gitu, makan dulu biar kamu bisa minum obat." Arga beranjak dari sana untuk mengambil makanan.
Melihat Arga yang datang dengan membawa sepiring berisi makanan, Reina mendudukkan diri. "Biar saya suapin," ucap Arga.
"Gak, Pak. Saya bisa sendiri." Reina mengambil piring yang Arga pegang.
"Pak Arga gak makan?" Lalu, Reina memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
"Biarkan saya melihat kamu menghabiskan makanannya dulu."