Reina duduk di kursi besi ruang rawat inap, jemarinya menggenggam tas kecil di pangkuannya. Ruangan itu sepi, hanya terdengar mesin monitor denyut jantung Ayahnya.
Setelah menolak mati-matian, berusaha membuat Ayahnya mengerti alasannya menolak perjodohan, pada akhirnya bahkan tidak membutuhkan waktu lama seorang perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan besar itu, menerimanya. Reina hanya tidak ingin membuat Ayahnya sedih di saat kondisi yang kurang baik. Reina tidak sanggup jika harus kehilangan sesosok Ayah juga.
Aku pun gak bisa egois sampai akhir. Di atas kebahagiaan aku ada kebahagiaan Ayah yang lebih penting. Kalau Ayah ingin aku menikah, maka aku akan melakukan. Aku hanya seorang anak yang gak mau Ayahnya pergi secepat itu, membuat perasaan Ayah gak baik-baik saja cuma memperburuk kondisinya, bukan? Selain Ayah yang ingin aku memiliki seseorang yang bisa menjaga aku, Ayah pasti punya alasan lain yang baik untuk kehidupan aku. Aku harus percaya kalau apa yang Ayah lakukan itu demi kebaikan aku, bukan?
Sembari duduk di kursi, Reina terus menatap Ayahnya yang sedang tertidur. Raut wajah Reina terlihat begitu sedih, tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Ayahnya.
Tok tok tok
Reina menoleh ke arah pintu yang terbuka menampakkan Arga-CEO. Arga menghentikan langkah kaki di samping Reina yang berdiri dari duduk, sebagai bentuk hormat pada atasannya itu. "Bagaimana keadaan Om Mahendra?" tanya Arga sembari menatap pria paruh baya itu.
"Sudah lebih baik, Pak." Sembari menatap Ayahnya.
"Untuk satu hari ini saya izinkan kamu untuk menemani Ayah kamu," kata Arga dengan wajah datarnya.
"Kalau ada apa apa, Bapak bisa langsung menghubungi saya." Sembari menatap Arga yang memasukkan kedua tangan ke masing-masing saku celana.
Ceklek
Sontak Reina menoleh ke arah pintu disusul Arga. Masuk seorang Dokter muda lumayan tampan yang tak kalah tampan dari Arga. Dokter yang biasa dipanggil Revan itu berdiri di sisi lain brankar. Menatap Ayahnya Reina sebelum menatap Reina dan Arga secara bergantian.
"Melihat kondisi Om Mahendra yang lebih baik saya saranin untuk menjaga suasana hatinya," kata Revan pada Reina.
"Menjaga suasana hati Ayah hanya dengan menerima perjodohan di antara kita," ucap Reina sembari menatap serius Revan.
"Saya tahu ini pasti berat buat kamu, tapi mungkin ini yang terbaik buat kamu yang bisa Ayah kamu lakukan untuk kamu." Revan terlihat ingin membuat Reina mengerti dan semakin menerima perjodohan itu.
"Saya gak menyangka kalau akan menikah dengan Adik dari bos saya sendiri." Sembari menatap Revan, lalu menoleh ke arah Arga yang masih setia berdiri di samping Reina. Tentu Arga hanya memasang wajah datar nan dingin. Seolah tidak peduli pernikahan yang segera terjadi antara Adik satu-satunya dengan Sekretaris-nya itu.
Reina kembali menatap Revan yang tengah menatap Ayahnya Reina. "Saya harap ini benar-benar pernikahan biasa di mana Ayah hanya ingin ada seseorang yang menjaga saya." Tatapan Reina seperti mengisyaratkan bahwa ada pikiran lain yang bersarang di kepalanya.
Revan mencoba tersenyum hangat. "Seorang Ayah hanya ingin anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, dan terjamin." Setelahnya Revan undur diri dari sana dengan alasan harus memeriksa pasien lain.
Entah apa yang ingin Reina katakan pada Arga sampai Reina menghadap ke arah Arga. Wajahnya pun lebih serius dari sebelumnya. "Saya berharap gak ada yang Bapak sembunyikan dari saya!"
"Maksud kamu apa? Saya gak mengerti. Apa yang mungkin saya sembunyikan?"
Reina selangkah lebih dekat ke arah Arga yang akhirnya berdiri menghadap Reina. "Soal pernikahan antara saya dengan Adik Bapak. Semuanya terlalu tiba-tiba dan seperti terburu-buru. Seperti saat saya mencari pekerjaan, Ayah yang merekomendasi perusahaan Bapak, dan sekarang Ayah ingin saya menikah dengan Pak Revan. Kenapa Ayah gak minta saya menikah dengan anak temannya yang lain? Atau merekomendasikan perusahaan yang lain?" ucap Reina dengan wajah penuh curiga.
Dengan wajah santai Arga melipat kedua tangan di depan dada. "Saya gak tahu apa yang ada dalam kepala kamu saat ini, tapi satu hal yang perlu kamu tahu kalau keluarga saya dan Ayah kamu gak ada hubungan yang mencurigakan selain Papa saya dan Ayah kamu yang bersahabatan. Kedekatan mereka bisa saja membuat kamu masuk terlalu dalam dengan keluarga saya, bukan?"
Perkataan Arga benar dan itu disetujui Reina namun tetap saja Reina merasa ada 'sesuatu' yang lebih dari sekedar perjodohan biasa. Kenapa rasanya seperti Ayahnya sengaja mengikat Reina dengan keluarga Arga.
Di tengah ketegangan yang ada dering handphone membuyarkan semuanya. Reina mendapat telepon yang membuatnya melangkah pergi dari sana. Setelah pintu tertutup Arga melangkah mendekati Mahendra yang perlahan matanya terbuka.
"Seperti itulah Reina yang terlalu banyak berpikir," kata Mahendra yang sempat mendengar obrolan antara Arga dan Reina.
"Kalau Reina tahu apa yang terjadi mungkin dia akan menyalahkan dirinya sendiri," ucap Arga dengan tatapan penuh perhatian.
"Hanya ini yang bisa Om lakukan sebagai seorang Ayah." Dengan raut wajah sendu.
"Kita mungkin berpikir ini yang terbaik buat Reina, tapi bisa saja bukan ini yang dia inginkan terlepas dari Reina yang tahu alasan sebenarnya di balik perjodohan yang ada," kata Arga dengan wajah datarnya.
"Reina butuh seseorang yang bisa menjaganya lebih baik dari Om."
Reina tiba di sebuah Cafe yang tidak jauh dari Rumah Sakit. Menempati salah satu meja yang sudah terdapat seorang perempuan berambut cokelat tua, lurus sebahu yang saat itu terurai. "Gimana?" tanya Reina tak sabaran mendengar perkataan dari perempuan yang tak lain adalah teman dekatnya itu.
"Sabar! Kita pesan dulu." Indah mengangkat salah satu tangan sembari menatap pelayan perempuan yang sedang berdiri dekat meja kasir.
Pelayan itu menghampiri meja Reina, memberikan daftar menu di mana Indah langsung memesan diikuti Reina yang hanya memesan segelas ice vanilla latte.
"Untung kamu suruh aku cari tahu soal Revan sebelum pernikahan kalian," kata Indah yang membuat Reina semakin penasaran.
"Apa yang kamu temukan?"
"Revan memiliki seorang kekasih yang sampai sekarang mereka masih menjalin hubungan. Dari yang aku dengar Revan sangat mencintai kekasihnya bahkan sampai berencana menikahi!"
Reina yang mendengar hal itu alih-alih terkejut lebih tepatnya curiga. "Kalau dia sudah punya seseorang yang siap dia nikahi, kenapa mau menerima perjodohan itu? Kenapa bersikap seolah pernikahan itu adalah jalan yang baik untuk kita berdua? Bukannya seharusnya dia memutuskan kekasihnya itu saat ini juga?"
"Aku juga ngerasa aneh sih," kata Indah sembari menaruh kedua tangan di atas meja.
"Rasanya kayak ada sesuatu ...."
"Kamu mau aku mencari tahu lebih lanjut?" tanya Indah dengan wajah siap membantu.
"Boleh, In. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
Keluar dari dalam ruangan Mahendra, Revan yang terlihat sedang berjalan menghampiri Arga. "Kak, aku rasa aku gak bisa menikahi Reina ...."