Kadang, sesuatu yang sudah tertutup rapi, belum sepenuhnya selesai.
Bisa jadi, ada sesuatu yang membuat pintu itu terbuka lagi.
Sesuatu yang belum sempat terselesaikan dengan sempurna,
Dan harus dibuka dengan paksa, tuk mendapat penyelesaian.
Kelak, jika sudah berhasil terselesaikan sempurna,
Pintu masa lalu kan tertutup sendirinya
Menghalangi agar yang lalu bisa kembali lagi
Agar semua manusia hanya bisa menuju satu arah pandang,
Yaitu masa depan,
Yang masih bersih dan tanpa noda.
**
Sepertinya, perjalanan mereka akan berbeda. Perjalanan yang mereka kira akan sepi, akan menjadi menyenangkan seteah pertemuan tanpa sengaja yang menyatukan mereka. Diandra Anastasia, menjadi saksi, bahwa masa lalu tak bisa sepenuhnya hilang, apalagi jika mereka berpisah tanpa didahului sebuah masalah. Nyatanya, rasa yang tersisa pun masih ada, hingga saat mereka kembali bertemu, rasanya sangat berbunga. Seperti mereka kembali lagi, tuk melanjutkan kisah yang pernah terhenti sejenak.
Lucu, memang. Diandra hadir saat Bayu sudah memiliki Ayu, yang akan ia bawa ke dalam hubungan yang paling serius, yakni ibadah terlama di dunia, yang membawa mereka menuju pintu surga nantinya. Namun, bisa-bisanya ia kembali bimbang hanya karena kedatangan Diandra?
Apakah sosok masa lalu, bisa menang dengan sosok yang sudah melangkah lebih jauh?
**
Keduanya tiba di penginapan mungil, namun bernuansa romantis. Penginapan Bantal Guling, namanya. Penginapan ini terletak di dekat Alun-Alun kota Bandung.
Penginapan ini menyajikan fasilitas lengkap, dengan harga yang terjangkau. AC, TV, akses Wi-Fi, kamar mandi beserta shower yang menjadi pemanis, dan tak lupa asupan sarapan pagi yang tersaji mesra untuk para tamu yang menginap disini. Soal harga, tenang saja, tak sampai seratus lima puluh ribu, para tamu sudah bisa bermalam di tempat ini.
"Aku masuk kamar dulu, ya. Mau mandi sama bersih-bersih sebentar," kata Andra, usai mendapat kunci kamar dari sang resepsionis.
Bayu mengangguk. "Aku juga," katanya, sambil menunjukan kunci kamar yang juga sudah ada di tangannya.
Kemudian keduanya tersenyum, sembari berjalan menuju lorong yang berbeda. Kamar Bayu terletak di sisi sebelah kanan dari taman penginapan, sementara kamar Andra terletak di sisi sebelah kiri.
Dan entah mengapa, di dalam hati mereka, ada hasrat menggebu tuk cepat membersihkan diri, agar mereka bisa bertemu lagi di taman hotel ini, untuk sekedar mengobrol sembari minum teh bersama.
Malam ini, akan syahdu, sepertinya. Meski diiringi sebuah perasaan bersalah, yang bahkan pria itu belum menyadarinya.
*
Drrrt... Drrrrt...
Ponsel Bayu bergetar terus-menerus. Ia masih mengeringkan rambutnya yang setengah basah, akibat mandi beberapa menit lalu. Ia tau, Ayu yang menghubunginya. Ia tau, sudah waktunya ia untuk memberi kabar.
Ia membuka beberapa pesan masuk di ponselnya. Dari, Ayu.
Ayu:
Mas, dimana?
Ayu:
Mas, sudah sholat isya?
Ayu:
Menginap dimana?
Ayu:
Aku tunggu kabar Mas, selalu.
Bayu menghela nafas berat. Pesan Whatsapp dari Ayu, hanya ia baca saja. Membalas pun, ia seakan tak punya tenaga.
Entah kenapa, pertemuannya dengan Andra, membuat perasaannya menjadi aneh.
Perasaan ini sesungguhnya bukan tanpa sebab. Keraguan Bayu timbul sejak perkataan Joko—ayah Ayu—tadi pagi. Membuatnya ragu, apakah keluarga Ayu benar-benar menerimanya? Atau keluarga Ayu justru ingin mereka berpisah?
Daripada menatap layar ponsel dan memberi kabar kepada tunangannya, ia lebih memilih untuk keluar kamar, dan menuju tempat yang tadi ia janjikan dengan Andra.
Katakan ia jahat. Namun begitulah nyatanya. Bayu lebih memprioritaskan Andra, daripada Ayu yang sudah lebih jauh dengannya.
*
"Hai, udah lama nunggunya?" tanya Bayu.
Rupanya, Andra sudah duduk manis, dengan secangkir teh di hadapannya. Taman bunga yang dihiasi lampu-lampu di sekelilingnya, sungguh, membuat suasana malam ini menjadi sangat syahdu rasanya.
Andra tersenyum. "Lumayan. Aku pikir, kamu ketiduran."
"Nggak lah... Aku kan kalau mandi memang sedikit lama."
"Bukan sedikit," balas Andra cepat. "Kamu tuh kalau mandi lama banget. Masih inget nggak, dulu kita sering telat kelas, gara-gara nungguin kamu mandi? Belum berubah kamu, Bay. Hahaha.."
Keduanya tertawa mengenang masa itu. Masa kuliah yang indah, yang membuat mereka menghadapi serangkaian ujian dengan semangat. Segala kesulitan pun terasa berbunga, ketika ada sang pendamping di sampingnya.
"Kamu sadar nggak, sih, separuh masa kuliah, kita lalui bareng? Mulai dari semester tiga sampai lulus, kita bareng..." ungkap Andra. Pikirannya melayang ke masa lalu.
"Sadar..." jawab Bayu. "Terima kasih, Ndra, sudah jadi sumber semangatku untuk kuliah, sampai akhirnya kita sama-sama lulus dengan predikat cumlaude.."
"Sama-sama.. Ya, meskipun setelahnya, kita memilih jalan yang berbeda, ya.."
Bayu tertawa getir. "Sesuai kesepakatan, kan?"
"Iya.. Nyesel, nggak?" tanya Andra.
"Nggak tau... Dilema, sih. Sedih, karena kita pisah, ketika kita sedang sayang-sayangnya. Tapi kalau dilanjut, juga nggak akan bisa, dan malah akan jadi boomerang untuk kita ke depannya." Bayu menyeruput teh di cangkir, yang ada di hadapannya. "Kamu yang bikinin aku teh?"
"Iya. Teh semi tawar. As your wish, Bay. Teh manis, gulanya sedikit."
Bayu tersenyum. "Masih hafal aja."
“Dua tahun, loh.. Hahaha..” Andra berdeham, berusaha mengembalikan topik yang sempat teralih karena secangkir teh. "Tadi kamu bilang... Boomerang? Maksudnya?"
"Iya. Malah menyakiti diri, kalau kita nggak memutuskan untuk berakhir. Karena mau bagaimanapun, kita nggak akan pernah bisa bersatu, kan, Ndra?"
Andra menunduk lemas. Benar, mereka putus begitu saja, tanpa pertengkaran, tanpa masalah. Itu yang menyakitkan, dimana hubungan yang sudah terjalin dengan baik dilandaskan rasa pengertian, harus berakhir begitu saja. Membenci pun tak bisa, karena tak ada masalah yang mereka buat bersama.
Tak ada masalah, namun ada satu kendala paling besar. Kendala yang sulit tuk dipecahkan dalam sebuah hubungan. Kendala yang membuat setiap pasangan berpikir ribuan kali untuk menghadapinya.
"Kita putus tanpa pertengkaran, ya, Bay.. Saat semua kondisi baik-baik saja... Tapi kita sudah membuat komitmen untuk berakhir setelah lulus," ujar Andra pilu.
"Dan kita melakukannya. Karena kita setia pada janji dan komitmen."
Andra menghela nafas. "Jatuhnya kayak pacaran kontrak nggak sih, hubungan kita?"
"Nggak, lah. Pacaran kontrak terlalu main-main untuk kita yang menjalaninya dengan serius," balas Bayu gamblang. "Dan nyatanya, banyak pelajaran yang kita ambil ketika pacaran, kan? Tentang pantang menyerah, arti perjuangan, saling berlomba untuk lulus cepat, saling mendukung dalam segala hal..."
"Positive vibes, ya, kalua kata anak jaman sekarang..."
Ia mengangguk. “Setidaknya, hubungan kita menyalurkan energi baik."
Hubungan mereka memang sangat positif. Bahkan, banyak pihak yang menyayangkan tentang berakhirnya hubungan mereka. Jangankan orang lain, dua insan yang menjalani pun, terkadang menyesali keputusan mereka tuk berpisah. Tapi bagaimana lagi. Persoalan ini memang memiliki solusi yang buntu, kecuali jika salah satu pihak berani mendobrak gerbang tinggi di antara mereka.
Permasalahan klasik, terlihat sederhana. Namun justru menimbulkan luka paling dalam serta pemikiran paling keras di tiap laju perjalanannya.
Ya, perbedaan agama, jawabannya.
"Perbedaan agama bukan hal main-main, Ndra.. Itu masalah akhirat. Benteng diantara kita terlalu besar. " Bayu meneguk ludahnya. Pilu, ia rasakan.
"Bisa, kok. Kalau salah satu mau mengalah," sahut Andra.
"Mengalah?" Bayu menatap Andra. "Aku jelas nggak bisa. Aku terlalu mencintai agamaku. Itu sudah melekat dan menjadi jati diriku. Dan kamu pun nggak mau, kan? Aku pun tau, kamu mencintai agamamu..."
Sakit, ya? Hal ini adalah hal yang ratusan kali mereka bahas kala menjalin hubungan dahulu kala. Sebenarnya, mereka selalu menghindari topik ini, namun entah bagaimana, topik ini justru menjadi topik yang paling sering mereka bincangkan.
"Sekarang aku paham, semua agama itu sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan." Andra menatap langit malam.
Deg.
"Maksudnya?" tanya Bayu.
"Aku sekarang berpikir... Pindah agama bukan suatu hal tabu. Kalau pun aku harus, aku siap melakukannya," jawab Andra, lantang dan lancar.
"Kamu mau pindah agama?"
Andra mengangkat bahu. "Nggak... Nggak.. Nggak usah dipikirkan, Bay.."
Bayu tidak sebodoh itu. Ia mengerti istilah dari kode yang dikatakan Andra. Mungkin, Andra ingin kembali padanya. Mungkin, Andra sudah merelakan diri andaikan ia harus mengganti agamanya, demi bersatu dengan Bayu.
Namun sayang, semua terlambat. Saat ini, sudah ada Ayu yang menunggu kepulangan jiwa dan raga Bayu. Ia sudah dimiliki seorang wanita yang juga mati-matian memperbaiki diri.
"Besok kita mau kemana?" tanya Andra. Terlihat jelas, ia mengalihkan topik pembicaraan. Ia sadar, topik itu terlalu sensitif untuk mereka yang sudah lama terpisah jarak. Terpisah jarak, namun rasa, masih sama.
Bayu menggaruk tengkuknya. Merasa bersalah, karena tak bisa menuntaskan topik sensitif yang Andra buka. Tapi Bayu belum siap merusak suasana, kalau-kalau Andra tau, bahwa dirinya sudah ada yang punya.
"Bay?" panggil Andra lagi.
"Eh?" Dan otomatis, Bayu tersadar dari lamunannya.
"Besok kita mau kemana?" Andra mengulangi pertanyaannya.
Bayu tersenyum kecil. "Lihat aja besok. Aku akan bawa kamu berpetualang. Siapkan energi aja..."
"Oke. Sorenya, temenin aku bikin thesis, ya? Ada tempat bagus untuk nongkrong sambil belajar." Andra menjentikan jarinya.
"Oh, ya? Apa namanya?"
Andra terkekeh. "Sama seperti jawaban kamu... Lihat aja besok!"
"Eh, masih aja suka balas dendam ya, kamu," kata Bayu, cepat.
Keduanya tertawa lagi. Suasana yang semula tegang, menjadi renyah.
Lelaki itu menghela nafas. Entah dengan siapa ia berlabuh di akhir, ia tau, semua pasti yang terbaik. Tidak mungkin Tuhan menyesatkan hamba-Nya pada seseorang yang salah, kan?
Namun manusia tidak bisa mengatur Semesta. Terkadang, rasa nyaman bisa membuat kita kembali ke seseorang, yang sejatinya adalah jodoh kita yang sebenarnya. Hanya waktu yang bisa menjawab. Tunggu saja, semua tabir akan terungkap satu per satu, di waktu yang paling baik, dari yang terbaik.
Tak sabar untuk menanti petualangan di esok hari. Mereka yakin, semua kan menyenangkan. Meski mungkin, akan ada fase dimana mereka menyadari, bahwa kebersamaan mereka tidak lah abadi.
**