Romansa cinta lama yang berakhir tanpa aba, seakan kembali muncul ke permukaan.
Kembali menagih janji yang dulu sempat terucap.
Kembali saling menatap layaknya yang mereka lakukan dulu, nyaris di setiap harinya.
Rasa itu, kembali ada.
Sepertinya, rasa itu tak pernah hilang.
Hanya memudar sesaat bak teralihkan nuansa.
Namun saat kembali menatap, rasa itu keluar dari sarangnya, dan kembali menetap pada hati sang empunya.
**
Setelah menyusuri beragam jalan berliku, terutama di daerah Ciamis hingga Tasik, akhirnya, setelah dua belas jam, lelaki itu menginjakan kaki di kota Bandung. Lega rasanya. Empat ratus kilo meter, berhasil ia tembus sempurna dengan kecepatan lumayan tinggi.
Jam menunjukan pukul lima sore. Ini artinya, Bayu menghabiskan dua belas jam perjalanan dari Yogyakarta, untuk sampai ke Bandung.
Dan disinilah ia. Di Bandung. Dengan langkah seorang diri, tanpa tau barang seorang pun disini.
Benar-benar petualang nekat.
Yang pertama ia lakukan, adalah memberi tau kepada Ibunya, bahwa ia sudah sampai di tempat tujuan.
Bayu:
Bu, Bayu sudah sampai.
Ibu:
Alhamdulillah. Hati-hati, ya, nduk..
Bayu:
Nggih.
Ibu:
Jangan lupa sholatnya, nduk.
Bayu:
Pasti, bu.
Ibu:
Sip, cah bagus.
Setelahnya, ia memasukan ponselnya lagi. Ia melanjutkan perjalanannya ke sebuah angkringan yang pernah disambanginya bersama Bapak dulu kala.
Sebuah angkringan, di kawasan Jalan Tamansari, Kota Bandung yang menjadi rumah bagi sejumlah kampus ternama.
Sepi, sendiri, tanpa teman yang menemani.
Namun ia yakin, perjalanan kali ini, akan ia nikmati. Dan ia tau, akan ada suatu keajaiban yang indah, di balik perjalanannya kali ini.
**
Pohon rindang memayungi kawasan Jalan Tamansari, Kota Bandung. Di salah satu sudut jalan, tedapat pertigaan yang ramai oleh deretan penjual makanan. Dan dari sedemikian banyak tenda penjual makanan yang berjejer, terdapat satu tenda yang kerap dipadati pengunjung. Di depannya terpampang tulisan "Mas Jo Angkringan Jogya". Angkringan sederhana itu berlokasi di pertigaan Jalan Tamansari dan Jalan Gelap Nyawang.
Bayu memarkirkan motornya di parkiran. Masih jam setengah enam, tetapi suasana sudah gelap saja. Para mahasiswa—yang kemungkinan di dominasi oleh mahasiswa ITB, karena angkirngan ini terletak dekat kampus ternama tersebut—sudah menempati tempat masing-masing, dengan santapan milik mereka masing-masing.
"Pak, kopi jos satu gelas, ya.." kata Bayu, sambil menunjukan telunjuknya, yang berarti, 'satu gelas' saja.
"Oke, Mas." Sang penjual pun mengangguk, sembari mengibaskan kipas di tangannya ke arah kepala ayam yang tengah ia bakar.
Berada di kawasan kampus dan membanderol harga yang sangat bersahabat membuat angkringan yang satu ini selalu dipadati pengunjung, terutama para mahasiswa. Layaknya angkringan ala Yogyakarta, Angkringan Mas jo menyediakan nasi kucing, aneka sate, ayam goreng, tahu dan tempe dan aneka minuman tradisional seperti teh, jeruk hangat, dan kopi jos.
Berbeda dengan Angkringan Yogyakarta yang ramai, di Mas Jo kesannya lebih sepi. Selain tempatnya lebih kecil, disini posisi lesehan lebih tersembunyi sehingga lebih memunculkan suasana privat. Dan Bayu segera memposisikan dirinya duduk, di sebuah tikar, alias lesehan, sembari menunggu datangnya kopi jos yang sudah ia idam-idamkan sejak perjalanan tadi pagi.
Lelaki itu menyeruput kopi dari cangkir yang ada di tangannya. Kopi panas, sebagai penghangat akan suhu Bandung yang dingin dan menusuk tulangnya.
"Kopi itu enak, nak. Pahit-pahit nikmat... Kayak hidup ini... Segala masalah, kalau dinikmati, diikuti arusnya, sembari dibawa dalam doa, lama-lama juga selesai dengan sendirinya.. Nikmat pokoknya kalau kita percaya dengan Allah..." Itu nasihat sang ayah, ketika tiba di angkringan Bandung ini.
"Iya, Pak.. Percaya saja ya sama Allah.. Meski kadang masalah itu berat.."
"Seberat-beratnya masalah, kita pasti mampu.. Karena Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.. Maka dari itu, percaya saja.. Dan nikmati semua masalah yang ada. Toh nanti juga lewat sendiri, selesai sendiri..." kata sang ayah, sembari menghabiskan kopi hingga titik terakhirnya.
Flashbacknya berakhir. Ia kembali ke masa kini, yang sendiri, tanpa suara dan bayangan Almarhum ayahnya. Ia kembali membuka mata, bahwa ia hanya bersama bayangannya, berpetualang dengan nekat dan persiapan sangat seadanya.
Memulai perjalanan seorang diri, bukan hal yang sepi bagi lelaki ini. Justru disini, ia bisa memulai petualangan barunya, dengan hati yang lega dan lepas tanpa beban. Ia bisa melalangbuana bak burung terbang di angkasa, yang mengikuti arah angin serta tak pernah khawatir akan apapun juga.
Lelaki itu menyeruput kopi dari cangkir yang ada di tangannya. Kopi panas, sebagai penghangat akan suhu Bandung yang dingin dan menusuk tulangnya.
Lantunan musik yang dinyanyikan oleh pengamen jalanan, membuatnya makin terbawa suasana. Angkringan pinggir jalan, secangkir kopi, serta alunan musik dari pengamen, membuat dirinya tersenyum. Mirip seperti Yogyakarta, namun bukan. Karena sekarang, ia ada di Bandung, dengan satu ransel besar berlogo Eiger di punggungnya, serta motor Vixion merah, adalah saksi perjalanannya kali ini.
“Ta, gaduh KUHP teu?”
“Gaduh, kunaon kitu?”
“Nambut atuh! abdi hilap teu nyandak KUHP tadi ti bumi, ayeuna aya pelajaran Hukum Pidana.”
Percakapan berbumbu Sunda, mewarnai telinga lelaki ini. Meski tak ahli dan tak mampu menirukan, tapi lelaki berdarah Yogyakarta ini lumayan paham tentang apa yang kedua mahasiswi tersebut perbincangkan.
Sungguh, suasana persis seperti Yogyakarta. Angkringan, kopi, bahasa daerah, dan mahasiswa dengan perbincangan seputar perkuliahan. Bedanya, saat ini ia berada di Bandung. Sendirian, tanpa kawan bicara ataupun teman seperjalanan.
Drrrt... Ponselnya bergetar. Benar saja, belum sempat menghela nafas, gadis bernama Ayu—yang adalah kekasihnya—sudah menghubunginya. Dengan cepat, ia membuka aplikasi bersimbol bundar dengan warna hijau—alias WhatsApp—yang selalu menjadi media baginya dan Ayu tuk sekedar bertukar kabar melalui ketikan.
Ayu:
Mas, sudah sampai mana?
Lelaki tersebut tersenyum, lalu membalas cepat.
Bayu:
Sudah di Bandung. Lagi mampir angkringan, minum kopi.
Ayu:
Oh, iya. Hati-hati, ya, Mas. Mau menginap dimana malam ini?
Dan belum sempat lelaki itu membalas, ia sudah terlena oleh lantunan lagu yang para pengamen ini lantunkan. Lagu klasik, dari penyanyi indie, yang lagunya bisa dinikmati oleh setiap telinga yang mendengarnya.
Saat kuberjalan... Tanpa ragu, tanpa bimbang
Takkan kulepaskan.... Engkau dari genggaman tanganku
U-hu-hu-hu hu-hu ...
U-hu-hu-hu hu-hu ...
Lagu berjudul 'Liburan Indie' ini, adalah lagu yang sangat sering lelaki ini dengarkan di setiap perjalanannya kala travelling di setiap kota. Lagu ini persis seperti dirinya. Lagu ini mewakili perasaannya, yang melalangbuana liburan kemanapun, tanpa beban sedikitpun.
Melepas lelah... Pergi jauh kembali lagi...
Bersamamu selalu... Tak ingin berakhir waktuku
Liburan selalu membuatnya hidup. Seakan lupa waktu. Seakan ia lupa akan tumpukan pekerjaan di kantor, dengan puluhan digit angka yang membebani pikirannya. Seakan ia lupa dengan segala keadaan yang menderanya. Seakan ia lupa dengan Ayu, yang selalu menantinya untuk pulang.
Menikmati pagi, sore, dan malam...
Secangkir kopi panas, santai tanpa batas....
Lalu ada Sir Dandy bernyanyi....
Mocca kembali lagi...
Musik indie di tivi....
Namun tetap, satu yang ia tahu. Kemanapun ia pergi berkelana, ia 'pasti' akan 'pulang'. Kembali ke Yogyakarta, kembali pada Ibunya, kembali menemui Ayu yang menanti kabarnya setiap waktu.
Dan lamunan pria itu buyar, tatkala ada sebuah tangan yang menepuk bahunya.
"Bayu, ya?" tanya sebuah sumber suara.
Suara yang tak asing. Tepukan pelan di pundak, seperti kebiasaan seorang wanita di masa lalunya.
Bayu tersadar, kemudian menatap gadis berambut pendek sebahu, dengan kacamata tebal yang terpampang sebagai hiasan di kedua matanya.
Ah, benar.
Gadis itu cantik. Gadis itu pintar. Gadis itu mengagumkan.
Gadis itu, adalah sosok yang Bayu kenal. Dan kini, sosok itu kembali, tepat di saat liburan indie-nya sedang ia laksanakan. Tepat disaat Bayu sudah terlibat pertunangan dengan sosok wanita taat yang selalu menantinya tuk pulang.
"Diandra?" jawab Bayu, dengan gugup.
Dunianya, seakan berbalik tiba-tiba. Seakan semua upaya yang ia lakukan tuk lupa, kembali dengan sekejap. Sekejap, secepat kedipan mata, serta satu tepukan di pundak yang gadis itu lakukan padanya.
Ternyata, rasanya masih ada, seperti tiga tahun silam.
"Boleh ikut duduk?" tanya perempuan yang akrab disa[a Andra. Gadis itu selalu dating dengan tingkah santainya, tanpa gugup, tanpa canggung sedikitpun. Seolah, mereka adalah teman, tanpa pernah punya masa lalu kelam.
Bayu mengangguk kikuk. "Oh.. Ya, silakan..."
Dan keduanya, kini duduk berhadapan. Sang gadis menatap sang pria dengan senyum merekah, namun sorot mata sendu. Sementara sang pria, masih berusaha bersikap biasa, sembari menyeruput kopi jos miliknya sendiri.
"Kopi jos, kan?" tebak Andra. "Dari dulu... Nggak berubah.."
Bayu terkekeh. "Kamu juga, masih hafal aja..."
Kopi Jos memang sudah tidak asing lagi bagi para penikmat kopi, rasa dan aromanya yang nikmat dan khas membuat kopi asal Yogyakarta ini memiliki banyak penggemar, baik itu anak muda maupun dewasa. Kopi Jos adalah kopi hitam yang seduh dengan gula, yang membuat kopi jos berbeda dengan kopi lainnya adalah arang membara yang dimasukkan ke dalam kopi, ketika arang tersebut dimasukan dalam cangkir berisi kopi akan terdengar suara jos, karena itulah kopi ini dikenal dengan sebutan kopi jos.
"Ya ampun, Bay.. Dua tahun, loh, kita bareng... Dan nggak terhitung, sudah beratus-ratus gelas kopi jos yang sudah kamu habiskan, sepanjang kebersamaan kita."
Deg.
Jantung Bayu berdebar tiba-tiba. Ada dua kalimat yang membuat dadanya nyeri seketika. Dua tahun, loh, kita bareng. Dan, sepanjang kebersamaan kita.
Dua kalimat sederhana, namun mampi membuat Bayu terbang ke tahun-tahun sebelum ini.
"Kamu ngapain ke Bandung?" tanya Andra, seolah tau sikap lelaki dihadapannya yang mendadak salah tingkah, karena kalimatnya tadi.
"Biasa," balas Bayu, singkat.
"Solo traveling?" tebak Andra.
Dan Bayu menjentikan jarinya. "Betul. Sekalian mau ke rumah Pakde Yudhi, di Bandung.."
"Oh, Pakde Yudhi..." Andra mengangguk-angguk, seolah paham siapa sosok itu.
"Iya.."
"Ngomong-ngomong, hobi kamu juga masih sama, ya.."
Bayu terkekeh. "Sebenarnya, perjalanan ini adalah bentuk napak tilas dari perjalananku dan Bapak tiga tahun lalu... Aku kangen Bapak. Jadi, aku melakukan perjalanan ini sendirian, sekaligus menyegarkan pikiran. Belakangan ini, pikiranku penat, Ndra."
"Penat?" tanya Andra. "Memang, kenapa?"
Pernikahanku terancam gagal. Ingin rasanya ia berkata seperti itu pada Diandra—alias Andra—yang adalah mantan kekasihnya di jaman kuliah dulu. Mereka sama-sama mengemban pendidikan di Universitas Gadjah Mada, di fakultas Hukum yang sama, sekitar enam tahun lalu.
"Biasa, masalah pekerjaan," kata Bayu, memaksakan tawanya.
"Kamu sendiri, ngapain di Bandung?" tanya Bayu, mengalihkan topik pembicaraannya, sembari menyeruput kopi jos di genggamannya.
"Aku mau refreshing.. Gila, ternyata S-2 sesulit itu, ya. Aku lagi tahap thesis nih. Dan aku pusing banget. Makanya aku lari ke Bandung, buat cari angin.." Andra mengibaskan tangannya.
"Ya ampun. Masih aja suka belajar? Masih aja ambisius pengen kuliah setinggi-tingginya, ya?"
Andra tertawa. "Aku dapat beasiswa S-2 di Universitas Indonesia, nggak gampang. Dan aku memilih untuk menyelesaikannya, bukan berhenti di tengah jalan.."
"Aku percaya kamu bisa..." Bayu mengepalkan tangannya.
"Ah. Semoga saja. Habis, materi demi materinya bikin aku mau sekarat! Bener-bener nggak bisa nafas!"
Lelaki itu tertawa. "Dulu, jaman kuliah, kamu juga bilang begitu. Nyatanya kamu bisa, kan? Bahkan cumlaude!"
"Semoga aja yang ini bisa lulus... Nggak usah cumlaude nggak apa-apa, deh. Yang penting, lulus!" kata Andra, begidik ngeri membayangkan thesisnya.
Keduanya terdiam sejenak. Bayu dengan kopi jos di tangannya, serta Andra dengan beragam pikirannya.
"Kamu sendirian ke Bandung?" tanya Bayu, membuka rasa penasarannya.
Andra mengangguk, kemudian menunjuk ke arah ransel hitam yang sudah peluk di depannya. "Sendiri. Liburan indie.."
"Solo traveling," gumam Bayu.
"Ketularan kamu."
"Dari kapan disini?" tanya Bayu, lagi.
"Baru datang sore ini.”
“Oh..”
“Dan nggak tau ada angin dari mana, kakiku bawa aku ke angkringan ini. Ketemu
kamu."
Deg.
Segala perkataan dan jawaban Andra, membuat hati Bayu berdebar kencang, tanpa aturan. Romansa cinta lama yang berakhir tanpa aba, seakan kembali muncul ke permukaan. Kembali menagih janji yang dulu sempat terucap. Kembali saling menatap layaknya yang mereka lakukan dulu, nyaris di setiap harinya.
"Kamu menginap dimana?" tanya Andra.
"Ada penginapan di dekat sini. Bentuknya seperti losmen, kecil, tapi nyaman. Harganya juga murah," jawab Bayu. "Dulu aku pernah menginap disitu sama Almarhum Bapak.."
Almarhum... Kata-kata itu seketika menyesakkan hati Andra. Ternyata, ia sudah melewatkan banyak bagian cerita dari hidup Bayu. Bahkan, ayahnya meninggal pun, Andra baru tau.
"Turut berduka cita, Bay..." Andra menghela nafas. "Dulu, aku lumayan akrab sama Bapak kamu, ya... Dan beliau sekarang sudah meninggal... Yang sabar, ya.."
"Selalu.." balas Bayu, dengan senyum yang mengembang. "Kamu sendiri, nginep dimana?"
"Belum tau.."
"Terus, kamu disini mau luntang-lantung sendirian?"
Andra mengendikan bahu. "Belum tau juga."
Bayu mengerutkan keningnya. Gadis di depannya, masih saja sama, suka pergi tanpa perencanaan.
"Kenapa mukanya gitu?"
Bayu menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Ih, jujur deh..."
Dan lelaki tersebut akhirnya buka suara. "Aku pikir, kamu makin pintar, apalagi sejak melanjutkan S-2 di kampus paling populer di Indonesia... Tapi ternyata... Kamu masih sama. Selalu berpikir pendek, tanpa perencanaan."
"Sialan. Kamu masih aja, diam-diam suka menghina!" gerutu Andra. "Tapi untungnya, aku ketemu kamu disini."
"Memangnya kenapa kalau ketemu aku?" tanya Bayu.
Andra terlihat diam beberapa saat. Mencoba berpikir, dan mengutarakan keinginannya. "Boleh nggak, aku ikut kamu selama perjalanan di Bandung? Mungkin pertemuan kita kali ini adalah takdir.." Andra, akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan isi pikirannya.
Dan kemudian, Bayu dan Andra saling bertatapan, seolah tau apa maksud dari pikiran mereka masing-masing. Pikiran mereka sama, dan tanpa diutarakan pun, mereka sudah paham maksudnya.
Bayu menganggukan kepalanya. "Boleh. Mari berpetualang bersama," katanya.
Entah, dosa atau tidak yang mereka rencanakan. Bagi Andra, mungkin semua tampak biasa. Namun bagi Bayu, ada rasa bersalah yang menyelip. Secara tidak langsung, ia mengkhianati Ayu, meski ia sendiri pun tak ada niat apapun pada Andra.
Lelaki itu merasa amat bersalah pada Ayu. Namun di sisi lain, ia teringat kata-kata orang tua Ayu yang menyuruhnya tuk mengikhlaskan anak perempuannya.
Tapi semua sudah diatur. Untuk apa Semesta mempertemukan mereka, jika tak ada maksudnya?
Ah, sudahlah.
Bayu berusaha menyingkirkan perasaan bersalahnya tersebut, kemudian ia memfokuskan pandangan dan obrolannya lagi pada Andra, dan memilih tuk mengabaikan ponselnya yang bergetar selalu sedari tadi.
**