“Cuci yang bersih, kau harus terus mencucinya seperti sedang berdoa. Mengesek-gesekkannya di dalam tanganmu. Lalu ambil beras lain dan lakukan secara berulang kali.” Arwah lelaki it uterus memperagakan tangannya tanpa menyentuh beras. Tentu saja ia tidak akan melakukan hal seperti itu jikalau masih ingin bertahan di dunia.
Alice memutar bola matanya. “Kenapa harus mencucinya berulang kali, sih? Kita kan bisa mencucinya sekali lalu langsung memasak. Ini namanya buang-buang air.”
Arwah lelaki itu menyilangkan tangannya di depan dada. “Beras itu memiliki pati, saat kau memasaknya tanpa memastikan patinya bersih, nasi itu akan menjadi lebih lengket dan tidak enak di makan. Belum lagi, ada banyak kotoran di dalam beras.”
“Baik, tuan.” Alice semakin lama semakin kesal saja dengan tingkah laku arwah satu ini. ia mencuci nasi sedikit lebih kasar, menyalurkan emosinya.
“Baik, sudah cukup. Sekarang buang sisa air terakhir dan masukkan air yang cukup untuk memasak nasi.”
Alice menahan sisi mangkuk dengan tangannya lalu membuang seluruh air dari dalam mangkuk. Ia memasukkan seluruh beras ke dalam penanak nasi, mencolok colokannya ke dalam sakelar kemudian menekan tombol ke bawah. Selesai.
Ternyata memang lebih mudah dengan penanak nasi, tidak perlu menjaga api, menjaga air ataupun terus membolak-balik nasi agar tidak gosong.
Alice bersandar di meja dapurnya, memandangi atap-atap yang sudah jelek. Ia tersenyum senang, dari kemarin malam hingga pagi ini semua terasa menyenangkan saat kenyang.
“Membeli penanak nasi juga bisa menghemat ongkos gas. Kau bisa memasak di dalam penanak nasi walaupun lebih lama. Kau bisa memasak sup, menumis serta mengukus.” ucap arwah lelaki itu sambil ikut bersandar melihat atap rumah.
“Wah... kalau tau seperti itu, lebih baik dari awal aku membeli penanak nasi.”
“Jadi, kenapa kau memilih untuk membeli kulkas, kompor serta gas? Bukannya itu lebih mahal daripada penanak nasi?”
Alice hanya tersenyum penuh arti, mengingat bagaimana pertama kali ia datang.
Ia benar-benar tidak membawa apapun saat ada di sana. Baju yang ia bongkar juga sangat sedikit. Awalnya ia bingung bagaimana melewati hari di rumah atap kecil yang kosong melompong itu. Ada banyak barang yang harus ia beli. Kasur, bantal, guling, meja, dan pastinya alat-alat memasak karena ia tidak bisa terus membeli makanan di luar.
Belum lagi ia harus hidup dengan renovasi kamar mandi. Ia bertahan untuk mandi di kafe sebelum pulang dan menggunakan toilet di minimarket sebelum pulang. Ia juga harus bertahan untuk tidur di lantai karena masih harus menghemat uang.
Induk semang seolah memahami apa yang ia perlukan. Pada hari kedua, induk semang menyuruh orang-orang membawa beberapa barang masuk. Kulkas, kompor dan gas, kipas angin, bahkan kasur tipis yang bisa ia gunakan beserta sepasang bantal dan guling.
“Induk semang, kenapa membawa sangat banyak barang?”
“Ini semua sudah tidak digunakan, beberapa ditinggal oleh anak kos. Aku melihat kau baru pertama kali tinggal di rumah seperti ini, setidaknya kau harus bertahan hidup, kan? Karena itu, beberapa barang ini tidak kugunakan dan hanya menumpuk di rumah. Lagipula, aku harus membeli kulkas baru.” Induk semang berdalih.
Alice tidak bisa mengungkapkan betapa ia berterima kasih atas perhatian induk semang sehingga ia tidak harus mengeluarkan uang sepeser pun untuk kebutuhan hidupnya. Ia juga bisa tidur dengan tenang.
“Tentang toiletnya, datanglah ke rumahku. Pakai toilet di rumahku kalau kau membutuhkannya.”
Alice tidak bisa melakukan itu, ia terus menahan diri saat dirinya sudah kebelet meskipun bisa menggunakan kamar mandi milik induk semang. Tapi pada akhirnya ia hanya pergi ke minimarket yang buka 24 jam dan berpura pura membeli mie instan. Setidaknya ia melewati minggu pertamanya tanpa kesulitan Karena bantuan Induk semang.
“Sudah matang, ambil sendokmu.”
Ucapan arwah lelaki itu mengagetkannya dari hayalan.
Cepat-cepat gadis itu mengambil sendok dari rak yang diletakkan di dekat wastafel. Sekaligus membuka bungkus bumbu instan nasi goreng.
Saat membuka penutup penanak nasi, uap panas melewati wajah keduanya. Mereka saling melihat satu sama lain dan berakhir tertawa bersamaan. Wangi nasi yang sudah matang sangat lezat. Alice sudah tidak sabar untuk memakan nasi putih saja. Tapi arwah lelaki itu menghentikannya saat menyendok nasi terlalu dalam.
“Korek dengan perlahan, dari ujung ke ujung sampai bagian bawah penanak nasi. Lalu masukkan bumbu instan yang sudah kau beli. Coba kita lihat cara pemakaiannya.” Arwah lelaki itu langsung mengambilnya dari Alice.
Untuk sepersekian detik, Alice merasa jantungnya hampir lepas. Ketika tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, Alice merasakan samar-samar lekukan jari yang indah serta dingin. Kalau dipikir-pikir itu pertama kalinya bersentuhan dengan ‘lelaki’ meskipun dalam artian arwah gentayangan. Bukankah arwah gentayangan termasuk dalam hitungan? Alice menggeleng, ia memukul-mukul pipinya untuk menyadarkan diri.
“Coba kita masukkan setengah dahulu, baru mencobanya.”
Arwah lelaki itu biasa saja, tidak memberikan reaksi apapun dan hanya berfokus dengan yang ada di depannya.
Arwah itu menuangkan separuh isinya dengan perlahan, sedangkan Alice mengaduknya.
Lama kelamaan warna putih dari nasi mulai sirna, digantikan warna cokelat muda seperti nasi goreng biasanya. Wangi nasi pun menjadi lebih gurih.
“Wah... aku tidak pernah menduga memasak nasi goreng akan se-gampang ini?”
“Tidak terlalu mirip nasi goreng, mungkin rasanya juga tidak. Setidaknya lebih baik, kan? Daripada harus menumis bawang, memasaknya perlahan dan menghabiskan gas. Sekarang jaman menjadi lebih mudah, ada banyak makanan instan dengan harga murah pula. Kau bisa menemukan rendang siap makan yang tinggal dipanaskan, atau sup beku yang hanya perlu di panaskan pula. Ayam goreng siap jadi, bakso, memasak akan menjadi lebih mudah.” jelas arwah gentayangan itu puas.
“Kalau begitu...” Alice melihat ke belakang, ia melirik jam. Waktunya pas sekali, sudah jam 12, waktu makan siang tiba dan hampir waktunya pergi bekerja. “Saatnya makan!”
Alice mengambil sedikit nasi, karena sudah makan dua nasi kepal di pagi hari, perutnya masih terasa kenyang.
“Sambil makan, mau kuceritakan yang aku ingat?” tanya arwah lelaki itu.
Tidak ada alasan bagi Alice untuk menolak, ia harus membantu arwah ini dengan segenap hati meskipun hasil yang didapat nantinya tidak sesuai.
Sepanjang mendengar cerita arwah lelaki itu, tidak ada hal yang benar-benar spesifik. Katanya tiba-tiba saja ia sudah berada di depan rumah induk semang, terduduk di tiang listrik. Saat membuka mata, banyak arwah gentayangan lainnya yang mengerubunginya. Mereka terus ber-ah dan ber-oh.
Semuanya langsung mencercarkannya dengan banyak pertanyaan. Darimana ia berasal, kapan ia meninggal, sejak kapan ia berada di sana, dan yang lainnya. Tapi seketika itu juga mereka bungkam saat melihat jendela di lantai paling atas, sebuah kamar loteng tiba-tiba terbuka.
Para arwah gentayangan langsung berhamburan bersembunyi di sekitar sana. Di balik semak-semak bahkan memanjati pohon dengan susah payah, beberapa memilih untuk bersembunyi di dalam tong sampah.
Arwah lelaki itu merasa pusing, ia segera bangkit tanpa tau alasan semua arwah itu bersembunyi. Ia menjadi bingung di tengah jalan dan akhirnya bertemu pandang dengan Alice. Sebelum masuk ke rumah induk semang, nenek sempat memperingatinya. Dan akhirnya ia ada di sana, di dalam rumah Alice, mengajarinya memasak untuk mencari tau kebenarannya.
“Hal yang aku ingat, aku hanya suka memasak. Di kepalaku tidak ada kenangan tentang rumah induk semang, jalan di sekitar sana ataupun tempat lain. Semuanya benar-benar abu-abu. Tapi saat memngatakan soal memasak, itu tiba-tiba membangkitkan keinginan terdalam ku untuk memasak. Aku hampir saja mengiyakannya.” celoteh arwah lelaki itu.
Saat ini keduanya berjalan ke kafe tempat Alice bekerja. Arwah lelaki itu tidak pernah berhenti berbicara dari Alice makan, mencuci piring sampai bersiap-siap pergi dan sekarang hampir sampai ke kafe tujuan mereka.
Tidak ada pembicaraan yang benar-benar penting tentang kehidupan lelaki itu.
“Kenapa kau ingin tau alasanmu meninggal?”
Arwah lelaki itu memandangi langit kebiruan di atas. Bau matahari yang menyengat sangat menyenangkan memang.
“Penyesalan. Setelah meninggal, aku benar-benar menyesal. Bagaimana rasanya kalau aku masih hidup? Mungkin aku bisa memasak untuk orang-orang. Seandaianya aku hidup lebih lama, satu minggu saja, atau satu bulan, aku pasti akan lebih menghargai hidup.” Arwah lelaki itu tersenyum, senyuman paling indah, matanya pun ikut tersenyum. Ia masih melihat langit-langit dan enggan melepaskan pandangannya walaupun terik matahari terus terpapar di wajahnya.
“Menyesal...”
“Aku bukan bermaksud berbicara seperti orang tua, jangan menganggapku cerewet nantinya. Tapi saat sudah meninggal, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak bisa memeluk orang yang kita sayangi, tidak bisa memakan makanan yang dibuatkan oleh orang tua. Kalau kata orang-orang, penyesalan datang terlambat, kalau datang di awal namanya pendaftaran.” Lelaki itu tertawa begitu kencang. “Sekarang, ucapan aneh itu ada artinya juga.”
Alice memandangi ke bawah, paving blok yang biasa ia lewati menjadi aneh. Terasa lebih sendu dan muram daripada biasanya.
“Ucapan yang bijaksana...”
“Benar, kan? Sayangnya aku menyadari itu setelah meninggal. Tapi kenapa ya air mataku tidak bisa berhenti dari tadi?” arwah lelaki itu terus-terusan menyeka pipinya lembut. Ia menutup matanya dengan kedua tangan.
Rupanya dari tadi ia terus melihat ke atas karena matanya basah. Ia tidak ingin air mata jatuh.
“Menangis juga tidak buruk, kok.” Alice tidak bermaksud menenangkannya, atau mungkin itulah yang ingin ia katakan. Terkadang, ia merasa kesepian baik saat di penampungan anak atau pun saat berada di kamar loteng.
“Ada yang janggal. Setelah meninggal, tetap ada yang kosong. Aku harus mati-matian mencari walaupun aku hasil akhirnya hanya akan menyakitiku.”
“Terkadang, aku juga ingin mencari keluargaku.”
“Lalu kenapa tidak mencari?” arwah lelaki itu mengaku keheranan.
Alice hanya nyengir. “Setelah diletakkan di penampungan anak. Tidak ada informasi apapun yang tersisa. Walaupun sudah susah payah mengorek identitasku, tetap tidak bisa menemukan apapun. Sepertinya nama asliku di ubah setelah masuk ke penampungan anak. Saat itu, polisi yang mengantarku, bersama beberapa dokter psikologi. Karena masih kecil dan tidak tau apa-apa, aku hanya ingat ada cahaya terang sebelum tidak sadarkan diri. Cahaya yang benar-benar terang, dan di sinilah aku sekarang.”
Arwah lelaki itu memegangi telinganya, tanda bersalah sudah banyak bertanya. “Jadi, kau baik-baik saja?”
“Seratus persen sehat.” Alice balik tersenyum kepadanya.
“Jikalau bisa bertemu lagi, apa yang akan kau lakukan pada keluargamu?”
Alice tidak pernah memikirkannya sampai sedalam itu. Apakah dia akan memarahi keluarganya karena menelantarkannya? Atau hanya bisa menangis tersedu-sedu karena kesal? Lagipula apapun yang dilakukannya tidak ada yang berubah. Meskipun ia berteriak, menangis, dan terus merengek soal masa lalu, tidak ada yang bisa diubah.
Alice menarik napas berat. “Tidak tau. Aku harus mencari mereka dahulu untuk menemukan jawabannya.”
“Kalau begitu, misi kita sekarang bertambah. Mencari keluargamu serta kebenaran dari kematianku.”
“Memangnya bisa? Menemukan keduanya sekaligus?” Alice tersenyum mencemooh.
Arwah lelaki itu mengangguk yakin. “Waktu kita masih panjang. Mau sampai ujung dunia pun kita harus mencari, kan?”
Alice tidak memiliki jawaban yang benar. “Kita hadapi bersama-sama?”
Ia mengangguk lagi. “Bersama-sama.” Ia menaikkan jari kelingkingnya.
Alice menautkan jari kelingkingnya. Kata bersama-sama tidak pernah diucapkan siapapun. Kali ini, ia merasa ada seseorang yang mendukungnya dari belakang. Apalagi arwah lelaki itu selalu menunggu di kampusnya, menunggu sampai Alice selesai bekerja serta bersama-sama dengannya pulang melewati lorong-lorong gelap.
Ada yang berbeda, dari jantungnya yang terus berdebar seiring dengan perasaan aneh yang tumbuh.