Ia terbangun dengan bahagia serta mata bengkak. Alice terus menangis saat makan, saat mencuci piring, bahkan saat waktunya tidur. Seolah ia sedang mengeluarkan perasaan terpendam dari dalam dirinya yang selama ini ia kunci.
Alice melihat arwah lelaki itu bersandar di depan pintu dengan tangan disilang di depan dada, menatapnya lekat-lekat.
Alice tentu saja tidak ingin harinya hancur melihat arwah lelaki itu di sana, ia segera bangkit, sengaja berjalan acuh tak acuh di depan arwah itu.
Tepat di hari liburnya, ia sudah memastikan dirinya sendiri untuk membeli penanak nasi sehingga tidak susah payah memasak nasi dengan kompor lagi. Biaya untuk membeli gas juga tidak terbilang murah, lebih baik membeli penanak nasi dengan colokan listrik, ia tidak perlu khawatir menjaga api atau bahkan kapan harus mengaduknya agar bagian bawah nasi tidak gosong.
Ia mengambil nasi kepal dari dalam kukus, dengan tatakan plastik serta piring keramik, ia memanaskannya dalam panci. Setelah membeli penanak nasi, ia akan kembali ke rumah sebelum pergi bekerja. Tidak ada hari libur jikalau bekerja di kafe, apalagi pengunjung yang lebih banyak datang saat sabtu-minggu. Sebenarnya, pekerjaannya bisa saja diganti shift dengan orang lain. Tapi kalau ia melakukannya selama satu minggu penuh, ia akan mendapatkan gaji lebih. Jadi Alice memohon pada nyonya bos agar membiarkannya bekerja daripada ia harus berada di rumah atap dan hanya menghabiskan waktunya berguling di lantai seharian.
Alice tidak terlalu buru-buru. Ia menghabiskan nasi kepalnya perlahan, kegembiraan memenuhi tubuhnya sekarang. Ia terus mendengungkan lagu-lagu aneh sambil terus menyesap air putih tanpa gula. Benar, air tanpa gula. Saat lapar, Alice jadi terbiasa untuk meminum air dengan gula, dengan harapan air itu bisa menjadi pengganti karbohidrat dan membuatnya kenyang lebih lama.
“Bagaimana kalau kesepakatan.” Arwah lelaki itu kini berada di depan Alice, ia bergerak sangat cepat membuat gadis itu merasa pusing.
Alice masih mengunyah nasi kepalnya perlahan, menghitung berapa kali ia mengunyah sesuai anjuran 20 sampai 30 kali sebelum menelannya.
“Kesepakatan bahwa aku akan mengajarimu memasak, tapi kau harus mencari alasan kematianku.”
Kali ini, alis Alice naik. Ia tertarik mendengar kesepakatan yang menarik itu, namun ia tetap harus jual mahal dalam situasi seperti ini.
“Daripada memasak untukku, kau lebih memilih mengajariku cara memasak? Yang benar saja.” ungkap Alice.
“Pikirkan, kau bisa belajar memasak. Aku ini ahlinya urusan dapur, meskipun sudah meninggal aku tetap ingat semua resep yang pernah kupelajari. Dan aku juga bisa mengetahui alasanku tiada. Ingatanku berhenti tepat sebelum aku tau alasan kematianku.”
Alice memandangi arwah lelaki itu. “Meski aku tidak bisa berjanji?”
“Maksudmu?” tanya arwah lelaki itu.
“Aku tidak bisa berjanji bisa menemukan alasan kematianmu. Pasangan arwah berpiyama yang sudah pasti pernah kau temui pernah bilang padaku untuk tidak berjanji pada arwah manapun. Berjanji artinya aku harus menepatinya, kalau tidak bisa kutepati, apa yang akan kau lakukan?”
“A-aku...” Arwah lelaki itu memainkan kakinya, ia jatuh tertunduk melihat ke bawah.
Benar, tidak ada alasan bagi Alice untuk menepati janjinya pada orang yang sudah tiada. Hal itu hanya akan memberi beban pada keduanya. Bagaimana kalau kematian itu terlalu tragis untuk diceritakan? Atau seharusnya arwah itu tidak tau alasan kematiannya? Tidak ada yang bisa berjanji bahwa kematian arwah itu adalah normal.
“Dan kalau hasilnya tidak sesuai yang kau inginkan? Misalnya kau adalah korban tabrak lari, atau korban yang lainnya?” Alice mencecar semua pertanyaan yang masih ada di dalam kepalanya. Ia benar-benar tidak ingin bertanggung jawab.
Arwah lelaki itu semakin terdiam, ia mulai memikirkan pilihannya. Apa kesepakatan itu benar-benar menguntungkannya? Atau hanya akan menguntungkan Alice semata? Saat ini ia terlalu pusing untuk memikirkan kemungkinan soal kematiannya. Ia tidak pernah menduga akan dicecar pertanyaan yang paling ia takuti.
“Kalau begitu, aku akan memaska untukmu dan memilih menghilang dari dunia.”
“Bagaimana mungkin aku bisa mempercayaimu? Tidak mungkin kau tidak memburu pelakunya, tidak mungkin kau rela menghilang tanpa balas dendam. Apa kau juga bisa berjanji tidak akan menyuruhku membalaskan dendammu?”
“Tidak, tidak perlu membalas dendam. Aku sudah mati, apa yang bisa kulakukan selain menerima kematian? Benar, kan?” Kali ini arwah lelaki itu mengangkat kepalanya, mencoba tersenyum menerima kenyataan pahit itu. Jari jemarinya terus menggaruk satu sama lain tanda kegugupannya.
Alice menggigiti bibirnya, ia berbicara terlalu banyak tanpa memikirkan mereka yang sudah tiada. Siapapun tidak ingin meninggal sebelum waktunya, apalagi meninggal tanpa menyelesaikan apa yang mereka inginkan di dunia.
“Aku- akan berusaha.” kata Alice. “Aku akan mengusahakannya, mencari alasan kau tiada. Tapi setelah itu, tidak boleh ada balas dendam ataupun penyesalan.”
Arwah lelaki itu mengangguk yakin.
Alice menarik secarik kertas, menuliskan kesepakatan mereka di atas kertas. Ia menandatangani sisi kiri, lalu merobek bagian kanan sebagai tanda tangan si arwah lelaki. Tak lupa, Alice juga menuliskan ketentuan tentang tidak membalas dendam ataupun perasaan menyesal.
“Pertama-tama, aku harus tau namaku, di mana aku tinggal.”
“Katakan padaku apa yang kau ingat.”
Kali ini mereka duduk berlawanan di atas meja kecil, Alice masih berusaha menghabiskan nasi kepalnya sambil berhitung di kepala. Katanya dengan mengunyah lebih lama akan membuat seseorang kenyang lebih lama pula. Ia beruntung kalau trik itu benar-benar berhasil.
Arwah lelaki itu menimbang-nimbang ingatannya. “Yang pastinya aku tidak tinggal di sini. Hari itu, aku mencari kos-kosan untuk tinggal. Namun, aku tidak ingat mengapa aku harus mencari kos-kosan padahal aku bisa tinggal di rumah orang tuaku. Aku juga tidak ingat dimana rumah orang tuaku itu. Semua buram saat aku mencoba mengingatnya lebih jauh.”
“Tidak mungkin! Para arwah gentayangan tidak akan bisa melangkah lebih jauh dari teritorialnya.”
“Apa maksudmu?” alis arwah gentayangan itu naik sebelah.
Alice menelan nasi kepalnya, kemudian menegak air untuk membasahi kerongkongannya terlebih dahulu.
“Aku ingat, para arwah gentayangan yang pernah tinggal di sini mengatakan bahwa mereka hanya bisa bergerak ke tempat di mana mereka biasanya berada. Seperti nenek yang kau temui di depan tempat induk semang, ia hanya bisa berada di sana atau berjalan ke pasar seperti masih hidup dahulu. Kenapa kau berbeda?”
“Berbeda?”
“Ingat? kau datang ke rumah induk semang, lalu kau mengikutiku ke kafe tempatku bekerja, kita juga pergi ke minimarket.”
“Kau benar!” ia memukul tangannya tanda ia mengingat kejadian itu.
“Hari ini aku akan pergi ke pasar. Bagaimana kalau kau ikut ke pasar dan kita mulai belajar memasak? Siapa tau ingatanmu yang lain akan muncul kalau kau mencoba pergi ke berbagai tempat yang berbeda?”
“Ide bagus.”
“Tidak, tidak, terlalu mahal.” Alice menggeleng-geleng.
Arwah gentayangan itu masih belum menyerah, ia menunjuk penanak nasi lain yang harganya sedikit lebih rendah.
“Entahlah, menurutku masih mahal. Tidak ada yang lebih murah?”
“Tidak mungkin ada penanak nasi yang lebih murah lagi harganya.” Arwah gentayangan itu memegangi kepalanya yang terus berdenyut sakit.
Alice lagi-lagi mengelilingi toko itu, berharap akan mendapatkan keberuntungan diantaranya.
Tulisan promo diletakkan di belakang, bagian penanak nasi yang lebih kecil berbaris. Ada satu penanak nasi berwarna putih kilat di sana, harganya tidak terlalu mahal, dengan promo yang ditulis besar-besar menjadikannya lebih murah. Namun, ukurannya lebih kecil daripada yang lain.
“Yang ini... ada label hemat listrik nya pula, ukurannya lebih kecil cocok di dapur kecilku.” Alice menaikkan penanak nasi itu seolah sudah memenangkan pertandingan menghemat uang.
“Tapi tidak bisa memasak sangat banyak.”
“Benar, setidaknya cukup untuk makan satu orang.” Alice membawanya ke kasir, membayarkannya dengan uang yang ia tabung sedikit demi sedikit. Uang darurat yang ia sisakan dari uang kecil yang ia kumpulkan sehari-harinya.
Ia menenteng sebuah tas daur ulang kemudian beranjak pergi. “Sudah saatnya kita berangkat!”
“Katakan padaku, berapa sisa uangmu?”
Alice merogoh kantongnya, mengeluarkan uang lima ribu serta uang pecahan logam.
“Kau serius?”
“Uang ini harus bisa digunakan untuk makan dua hari, sampai uang gajianku turun.”
“Dua hari? Yang benar saja! Bahkan telur saja harganya sudah dua ribu.”
Muka Alice berubah masam. “Tidak lagi dengan telur, aku harus membeli bahan makanan lainnya.”
“Misalnya?”
“Tahu?”
“Kau punya minyak goreng?”
Alice menggeleng.
“Uangmu tidak cukup untuk minyak goreng!”
“Baiklah, bagaimana sup tahu?”
Arwah lelaki itu menggigit bibirnya kesal. “Kau memerlukan bawang putih, bawang merah, sambal agar tahu tidak terlalu hambar.”
“Aku punya kaldu, kita lupakan soal bawang putih dan bawang merah.”
“Tetap saja kau membutuhkan sambal.”
“Kita beli cabai saja, lalu hancurkan dengan gelas di atas piring.”
Arwah lelaki yang sedari tadi berjalan di depan Alice langsung berhenti dan berbalik melihat gadis itu. Ia benar-benar tidak tahan, kalau saja ia tidak tembus pandang, pasti ia sudah mengeplak kepala perempuan ini.
“Nak, dengarkan aku. Untuk membuat sambal yang enak, kau memerlukan bawang putih, bawang merah untuk menambah rasa. Tidak bisa hanya dengan membubuhkan kaldu sebanyak mungkin. Lagipula, kau harus menggilingnya dengan ulekan, atau setidaknya blender. Tidak bisa hanya dengan gelas dan piring.”
Alice mengangguk setuju. Arwah lelaki itu hampir pingsan dibuatnya.
“Lupakan soal tahu. Tempe! Orang-orang selalu makan tempe.”
“Kau harus memiliki minyak goreng jikalau ingin menggorengnya. Membeli cabai hijau kalau kau ingin menumisnya, atau setidaknya kecap manis untuk membuat tempe kecap. Sekarang, sebutkan bumbu apa yang kau miliki di rumah?”
“Garam...” Alice mulai menimbang-nimbang. “Gula juga, kaldu bubuk, bawang goreng beli satu gratis satu, bumbu mie instan.”
“Itu saja?”
“Benar!” jawab Alice bersemangat.
Arwah lelaki itu berbalik arah ke pintu masuk. “Lebih baik kita pulang dan memakan mie instan saja.”
“Aduh, setidaknya kau harus membantuku dong. Kita kan sudah pergi jauh-jauh sampai ke sini.” Alice berusaha menahan arwah lelaki itu. “Bagaimana kalau kita membeli ikan?” Alice berlari ke toko selanjutnya. “Ayam?” ia berlari lagi ke toko di seberangnya, “sayur hijau?”
“Aku menyerah.” Arwah lelaki itu melihat pasar secara keseluruhan. Dengan sisa uang lima ribu dan beberapa recehan. Apa yang bisa ia beli? Tidak terlintas makanan apapun di kepalanya saat ini.
Ia hampir tersiksa karena tidak bisa berbelanja sesuka hatinya. Ingatannya tidak kembali, tapi bisa dipastikan emosinya kembali. Kalau ia masih hidup? Mungkin darah tinggi adalah penyakit pertama yang akan menyerangnya.
Di sela-sela Alice yang masih menawarinya berbagai macam bahan makanan aneh. Ia teringat dengan makanan yang pernah ia coba-coba karena penasaran dahulu. Bukan dalam bentuk bahan baku, tapi kemasan sachet.
Bumbu dapur dalam kemasan sachet yang sudah siap jadi. Indonesia benar-benar terkenal dengan banyak makanan khas dalam bentuk nasi, nasi goreng, nasi kuning ataupun nasi lemak. Di jaman yang modern ini, banyak bumbu siap jadi yang bisa menambah kelezatan untuk nasi.
“Kau harus bertahan sampai dua hari, kan? Cukup dua hari saja?” arwah lelaki itu mencoba meyakinkan Alice lagi.
“Iya, hanya dua hari. Nyonya bos berjanji akan membayarkannya setelah ia pulang dari luar negeri. Tepat dua hari lagi, setelah itu aku hanya harus berhemat sedikit tapi seharusnya bisa membeli bahan makanan.”
“Bagus, sekarang, aku akan mengajarimu cara memasak nasi goreng!”
Alice memiringkan kepalanya heran.