Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian itu. Kehidupan Alice tidak terlalu terganggu dengan suara konstruksi di ruangannya. Ia hanya akan pergi ke universitas pagi-pagi sekali dan menunggu sampai sore hari sembari mencari pekerjaan yang dekat dengan tempatnya tinggal. Setidaknya ia bisa menghemat uang yang tidak perlu dikeluarkan untuk transportasi.
Ia pun lebih memilih berjalan kaki ke kuliahannya meskipun harus melewati satu kali halte bus yang biasanya berjarak 10-15 menit dari halte terdekat dari kos-kosannya.
Pencarian kerja itu berbuah hasil. Ada sebuah kafe milik seorang wanita umur 30-an yang awalnya hanya iseng belaka. Namun kafe itu malah menjadi terkenal dan keadaan semakin sibuk padahal ia sendiri tidak sudi melayani pelanggang dan hanya memiliki satu pekerja yang sibuk seharian di dalam dapur untuk membuat kue.
Saat melakukan interview, tidak ada pertanyaan yang aneh. Wanita itu hanya melontarkan beberapa pertanyaan tentang nama, usia dan yang lainnya. Untungny ia bisa bekerja sambil terus berkuliah. Kafe itu sendiri dibuka pukul satu siang untuk menghindari kerumunan orang di pagi hari. Setiap hari, wanita yang sekarang Alice panggil sebagai nyonya bos hanya berharap Kafe itu akan bangkrut dengan sendirinya.
Sedangkan pekerja bernama David itu hanya ingin memanggang kue sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan apakah ada orang yang membeli kue buatannya. Ia puas hanya dengan mencium aroma kayu manis serta vanili yang menyebar kuat di dalam dapur.
Kehidupannya di kamar loteng itu juga tidak banyak berubah. Saat ini, ia tinggal dengan lebih banyak lagi orang- maksudnya para arwah gentayangan.
Ia ingat dengan jelas, setelah terbangun di pagi harinya. Ada banyak orang di hadapannya. Sepasang suami istri yang lembut dengan pakaian tidur, seorang paman berkepala pelontos dengan banyak tato di lengannya, anak sekolahan dengan rambut super pendek dan baju sekolahnya yang minimalis, serta sepasang kakek dan nenek yang sibuk berceloteh di depan wajah Alice.
“DIa masih hidup, kan?” tanya kakek itu.
“Aduh! Tidak mungkin dia meninggal hanya karena aku mengejutkannya.” Istri dari pria itu ikut bicara.
“Dari yang aku pelajari di sekolah, sangat tinggi kemungkinan bahwa seseorang terkena serangan jantung saat ada yang mengejutkannya. Aku percaya bahwa-“ giliran anak perempuan berambut pendek itu ikut berbicara.
Paman botak itu menatap dengan kesal seolah tak sabar. “Diam anak kecil! Kalau dia punya jantung yang lemah, harusnya dia pergi ke suatu tempat, bukan ke markas kita!” suaranya yang tinggi membuat Alice gentar, tubuhnya bergemetar lagi.
Seorang pria berpiyama yang merupakan suami perempuan itu tiba-tiba berbicara juga. “Dia masih hidup! Tubuhnya bergerak!”
Nenek yang dari tadi ingin ikut berbicara akhirnya bisa menggunakan kesempatan itu. “Coba kita lihat lebih dekat!”
Semua hantu mendekatkan kepala mereka sampai hampir menembus tubuh Alice. Gadis itu segera mengibaskan tangannya untuk menghalangi mereka.
“Sudah kubilang tidak mungkin dia meninggal karena aku.” Wanita berpiyama itu menarik napas lega.
Semua hantu ikut mengangguk-anggukkan kepala mereka setuju, mereka berceloteh seolah Alice tidak ada di sana.
“Jadi,” Alice angkat bicara. “Kalian siapa?”
Seketika itupula mereka melongo melihat Alice seolah tidak percaya. Tentu saja, selama ini tidak ada siapapun yang bisa melihat mereka. Untuk pertama kalinya rasa penasaran, heran, senang serta bingung berkecamuk menjadi satu.
Paman bekepala botak itu maju. “Kau bisa melihat kami?”
Alice hanya mengangguk diikuti dengan tatapan bingung dari kelimanya.
---
Setelah berjalan melewati distrik pertokoan, terdapat sebuah minimarket di ujung jalan yang selalu ramai pada jam 11 malam. Ada banyak meja dan kursi yang sudah diduduki paman-paman bertubuh kekar.
Alice tau tentang makanan setengah harga setelah jam 11 malam. Makanan seperti nasi kepal, atau nasi kotak yang cukup mewah akan dijual separuh harga. Ada juga beberapa kue-kue manis yang dijual dengan harga murah. Karena itu, gadis itu juga akan ikut menunggu di supermarket, bergelut dengan para paman dengan tangan yang kekar.
“Hari ini-pun kau datang, yah.” Kata salah seorang paman yang tengah menunggu di tempat duduk paling jauh.
Alice mengangguk, “Tapi hari ini, aku akan membeli makanan lain. Silahkan paman merebut milikku.”
“Untuk pertama kalinya kau bisa membeli makanan lain. Gadis yang masih muda sepertimu harusnya makan lebih banyak makanan yang bergizi, bukan nasi kepal yang kadarluarsa.”
“Paman juga seharusnya memakan makanan yang lebih baik. Paman kan butuh tenaga.” Alice memperlihatkan ototnya yang tidak ada.
Paman itu menegakkan tubuhnya, “Kalau punya uang lebih, aku akan memilih untuk mengirimkan seluruhnya ke keluargaku. Harga nasi kepal di sini amat murah, tidak apa-apa. Yang terpenting perut tetap kenyang.”
Alice tersentak. “Mana mungkin bisa kenyang! Nasi kepal itu kecil, paman harus memakan lebih dari sepuluh buah nasi kepal agar bisa kenyang.” Alice menaikkan seluruh jari jemarinya.
“Makan setengah nasi kepal saja sudah membuatku kenyang. Kalau lapar, minum lebih banyak air saja. Dengan dua nasi kepal, maka aku bisa bertahan selama satu hari.” Tatapan paman itu berubah sendu.
“Tapi-“
“Tapi, aku tidak perlu pusing memikirkan apa yang akan aku makan besoknya. Karena menu setiap harinya selalu sama, nasi kepal dengan berbagai macam isi. Mengingat bahwa besok aku masih bisa memakan nasi kepal saja membuatku senang setengah mati.” Paman itu kembali tersenyum.
Alice menundukkan wajahnya, ia memainkan kakinya untuk membuatnya merasa lega.
Suara jam alarm berdenting. Artinya sudah waktunya bagi mereka untuk berperang mendapatkan nasi kepal.
Paman itu segera bangkit dari kursinya, ia menghampiri Alice. “Kau juga berjuanglah. Entah apa alasanmu hanya membeli nasi kepal kadarluarsa, setidaknya ada perasaan lega setelah kau membelinya, kau tidak perlu lagi bingung untuk memakan apa keesokkan harinya.” Tangannya yang besar menepuk-nepuk kepala Alice perlahan.
Tangan itu penuh dengan kapalan, kasar, tergores di sana-sini. Tidak ada sisi yang lembut dari tubuh paman itu. Tapi bekas tepukan di kepala Alice terasa lembut nan hangat, karena ia sendiri tak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama.
Alice tetap menunggu di luar, ia duduk di tempat duduk yang sekarang kosong. Paman-paman berotot besar itu terus menerus menerjang mesin kasir. Pemandangan yang lucu, melihat bagaimana ekspresi penjaga mesin kasir yang selalu ketakutan. Awalnya pun ia benar-benar takut, bagaimana jikalau ia menjadi penyet? Atau, bagaimana kalau ia tersenggol oleh para paman itu dan harus masuk rumah sakit?
Tapi setelahnya, Alice menggunakan tas ransel miliknya sebagai tameng. Ia meletakkan jaket berbulu tebal yang ia beli di hari sebelumnya. Memasukkannya ke dalam tas sampai menggembung dan menggunakannya di depan tubuhnya. Jadi saat ia meraih nasi kepal, pukulan sikut dari para paman tidak akan menyentuhnya.
Hari ini pun hari yang sibuk bagi mereka. Setelah semua stok habis, para paman itu segera keluar. Pintu kaca minimarket terus di dobrak dengan kasar oleh tubuh mereka.
Paman yang tadi berbicara dengannya mengeluarkan satu nasi kepal sambil tersenyum cerah.
“Satu untukmu karena sudah membagikan bagianmu kepadaku.”
Alice mendonggakan kepalanya, “Hari ini, berapa yang paman dapatkan?”
“Lima! Luar biasa! Aku biasanya hanya mendapatkan dua. Hari ini ada banyak stok nasi kepal yang tersisa, serta dirimu tidak ikut merebutnya. Rasanya langkahku akan lebih ringan dua hari ini deh.” Suara paman berapi-api.
“Kalau begitu,” Alice mendorong kembali nasi kepal itu. “Tolong makan ini juga. Paman harus lebih kenyang agar bisa bekerja lebih keras, bukankah begitu? Aku sepertinya sudah mulai muak dengan nasi kepal deh.” Alice sengaja berucap sombong, ia menjulingkan matanya dari nasi kepal.
Paman itu tertawa dengan keras, “Benar-benar, gadis satu ini. Baiklah! Kapanpun kau sudah tidak muak dengan nasi kepal, aku akan membuatkanmu nasi kepal buatanku!”
“Aku akan menunggunya.” Alice balik tertawa.
Kondisi minimarket sepi, setengah jam berlalu lebih cepat. Akhirnya giliran Alice untuk masuk. Rak pertama yang ia dekati adalah bagian mie instan. Ia mengambil lima bungkus mie instan, kemudian mengambil makanan cepat saji yang bisa dipanaskan kembali. Makanan cepat saji lebih kompleks namun memiliki harga yang mahal.
Ia memastikan pasokan makanannya cukup untuk tiga hari. Kemudian menyisakan beberapa uangnya untuk kebutuhan mendadak