Kamu pernah lihat iklan cuci mobil super kilat?
Luar mobil bersih mengilap, ban disemir, dashboard disemprot wangi.
Kelihatan kinclong. Tapi…
mesinnya dicek enggak? Remnya bagaimana? Radiatornya?
Kelihatannya sehat, padahal belum tentu aman.
Dan kita, sebagai manusia, sering melakukan hal yang sama. Merawat penampilan luar, tapi membiarkan luka dalam terus menganga.
Kesehatan Luar ≠ Kesehatan Dalam
Kita bisa kelihatan rapi, tersenyum di story Instagram, ikut event, ketawa-ketiwi di tongkrongan—
padahal malamnya menangis sambil scroll akun healing.
Kita pakai “makeup emosional”:
Bilang “nggak apa-apa” padahal sangat terluka
Sibuk sana sini agar tidak sempat merasa
Selalu jadi penolong agar tidak perlu ditolong
Ini bukan karena kita ingin palsu, tapi karena kadang... kita takut jujur pada luka sendiri.
Dunia Lebih Suka yang Cantik, Bukan yang Jujur
Sayangnya, dunia tempat kita hidup lebih suka melihat “kebugaran yang kelihatan.”
Self-care yang dianggap keren adalah: spa, staycation, outfit baru, body goals, skin glowing.
Padahal self-care juga bisa (dan harusnya) berupa: menangis saat butuh, tidur cukup, bilang tidak, terapi, journaling tentang rasa sakit.
“Merawat luar itu baik. Tapi jangan sampai dalammu rusak, lalu kamu diam demi terlihat baik-baik saja.”
Apa Itu “Servis Palsu”? Servis palsu dalam konteks jiwa adalah…
Mengelabui diri sendiri: Berpura-pura semuanya baik karena takut dikira gagal.
Mengandalkan pelarian jangka pendek: Scrolling terus biar gak mikir. Sibuk terus biar gak merasa.
Menghindari percakapan penting dengan diri sendiri: Tidak pernah duduk tenang dan bertanya, “Apa kabar hatimu hari ini?”
Menekan emosi negatif terlalu lama: Sampai meledak karena hal kecil.
Tanda Kamu Sedang Menjalani “Servis Palsu”
Selalu bilang “baik” bahkan saat ingin teriak
Menyibukkan diri agar tidak sempat merasa sedih
Sering merasa lelah tapi tidak tahu sebabnya
Merasa hampa di tengah banyak pencapaian
Ingin menangis tapi tidak tahu kenapa
Takut terlihat lemah, jadi pura-pura kuat terus
Kenapa Kita Takut Merawat yang Dalam?
Takut Terlihat Rapuh: Di dunia yang menghargai pencapaian, terlihat rapuh = takut dicap gagal.
Tidak Pernah Diajari Cara Merawat Luka Batin: Kita tahu cara obati luka fisik, tapi tidak pernah diajari cara sembuhkan luka emosi.
Lingkungan Tidak Aman untuk Buka Diri: Kadang saat kita jujur, orang bilang: “Ah, gitu aja lemah.”
Sudah Terlalu Lama Menyimpan: Sampai akhirnya, kita sendiri lupa cara membuka luka yang pernah disimpan rapi.
Bagaimana Melakukan “Servis Asli” untuk Diri Sendiri
Berhenti Berpura-Pura
Setidaknya di hadapan diri sendiri, beranilah jujur.
Tulis Apa yang Sebenarnya Kamu Rasakan
Journaling 10 menit sehari bisa jadi awal untuk membuka pintu perasaan yang terkunci.
Temui Profesional Jika Perlu
Terapi bukan untuk orang “gila.” Tapi untuk orang yang ingin hidup lebih utuh.
Bicaralah pada Orang yang Bisa Dipercaya
Tidak perlu banyak. Satu orang yang bisa mendengar dengan hati sudah cukup.
Kurangi Pelarian yang Tidak Sehat
Sadari kapan kamu “melarikan diri” lewat scrolling, binge watching, atau sibuk berlebihan.
Self-Care Itu Lebih Dalam dari yang Kita Kira
Self-care bukan cuma merawat tubuh. Tapi juga mengakui bahwa luka emosi, kecewa, kemarahan, dan rasa hampa—juga perlu ditangani.
Kamu tidak harus tampil ceria setiap hari. Kamu boleh redup. Kamu boleh jatuh.
Kamu boleh jujur, bahkan jika orang lain belum siap menerima.
“Luka yang tidak disembuhkan, akan jadi suara dalam hati yang terus berteriak dalam diam.”
Refleksi: Karena Diri Kita Berhak Disentuh, Bukan Disamarkan
Penampilan bisa ditata. Tapi perasaan tidak bisa dipoles terus-terusan. Saat kamu memilih untuk mulai merawat luka batinmu, itu bukan tanda kelemahan—itu keberanian.
Karena di dunia yang menuntut kita terus senyum, kamu memilih untuk pulang ke dalam diri.
Mendengarkan napas sendiri. Memulihkan bagian yang diam-diam ingin sembuh.
“Lebih baik remuk, tapi jujur. Daripada kinclong, tapi kosong.”