Aku masih terpikirkan dengan kejadian tadi sore. Laki-laki berkepribadian dingin itu seperti orang yang tidak memiliki perasaan. Bisa-bisanya dia meminum bekas minumanku dengan tenang. Hoiii, tolong tampar dia, siapa tahu dia memang kerasukan setan.
“Heh, kamu denger nggak apa yang aku bilang?” Suara kakak sepupuku itu bergema memenuhi teras rumahku. Aku sedang bersiap memakai sepatu padahal acara masih belum dimulai. Jika bukan karena telepon dari si cerewet itu, pastilah aku tidak ada memakai sepatu tepat satu setengah jam sebelum laki-laki itu bertanding.
“Bukannya harusnya kamu latihan?” Aku bertanya dengan sewot. Darahku sudah mendidih dibuatnya.
“Udah nggak bisa latihan dong cantikkkk … udah harus siap-siap briefing terakhis sebelum mulai ini. Kamu cepetan ke sini biar dapat VVIP lihat dari dekat.”
“BAWEL BANGET.” Aku langsung menutup teleponnya. Tepat saat ini di depan rumahku sudah ada ojek online. Aku menggerutu melihat ojol itu, masalahnya aku harus memesan sendiri dan membayarnya. Ini harusnya tanggung jawab si Kavi, dia kan yang menyuruhku untuk menjadi support sistem dia. Ah sudahlah daripada dia berisik lebih baik aku naik segera.
Setelah sampai di depan gedung olahraga aku menatap dengan ngeri. Banyak orang di dalam gedung itu. Suara supporter saling bersahut-sahutan. Aku menutup telingaku sebentar dan mengusapnya. Dia harus bertahan di tengah suara-suara bising kali ini. Begitu masuk aku melihat di pinggir lapangan, Kavi sedang mengamati kondisi lapangan itu dan masuk ke dalam kembali.
Aku langsung mencari jalan untuk masuk ke pintu belakang pemain. Masalahnya aku tidak mengetahui jalannya dengan baik dan hanya mengikuti insting. Jalan di dalam ruang ganti ternyata tidak bisa ditebak. Apalagi tidak ada tanda ruangan pemilik ruang ganti itu. Alhasil aku memilih untuk menunggu seseorang keluar dari ruangan itu. Beberapa grup juga kembali dari pertandingan. Mereka terlihat basah kuyup dengan keringat. Percayalah aku tidak suka baunya. Aku ingin menutup hidungku tapi takutnya mereka nanti memarahiku karena tidak sopan.
Pada akhirnya aku dengan asal membuka pintu ruangan dan … yap seperti yang sudah ditebak. Aku lagi-lagi masuk ke ruangan yang di dalamnya ada si Elric-Elric itu. Aku membalikkan tubuh setelah melihat beberapa temannya berganti pakaian. Elric langsung mendapatkan ceng-cengan dari teman-temannya. Sepertinya memang image-ku sudah tidak baik-baik saja.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya dengan sewot. Dia membuka pintu dan menarik lenganku.
Aku melirik sekilas ke lorong. Lorong ini sudah sepi, sepertinya orang-orang sudah masuk ke dalam ruangannya sendiri.
“Aku lagi nyari seseorang.” Mataku fokus menebak ruangan yang kemungkinan menjadi ruang tunggu Kavi. Lagipula kenapa laki-laki itu tidak mengatakan kepadaku coba.
“Heh, kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaranya.” Aku beralih menatap Elric yang terlihat kesal. Tapi tunggu, ini kalimat terpanjang yang dia ucapkan.
“Apa cara membuat kamu berbicara panjang lebar itu dengan marah-marah?” tanyaku heran.
Pintu salah satu ruangan terbuka. Aku menatap orang-orang yang keluar dari sana satu persatu. Aku tidak mengenal mereka. Tapi … tepat saat itu laki-laki cerewet itu ada di sana. Mataku terbuka dengan lebar dan hatiku merasa tenang.
“Oke.” Elric terlihat besar. Dia lalu mengikuti tatapanku ke arah Kavi. Aku menghiraukan laki-laki itu dan berlari ke arah laki-laki cerewet yang sibuk berbicara dengan temannya.
“Bye, Kak,” ucapku padanya sebelum pergi.