Jujur aku sangat tertarik dengan Elric tapi mengingat kelakuanku yang sangat-sangat amburadul itu nyaliku untuk mendekatinya menjadi ciut. Dia seperti pangeran di dunia nyata yang tidak bisa dibandingkan dengan diriku. Apalah aku yang mengerjakan tugas saja malas. Jika dibandingkan dia yang tampan dan memiliki banyak penggemar, jelas jauh sekali. Aku hanya bisa mengamatinya dari jauh.
“Huffttt … kali-kali bisa deket. Boro-boro deket, isinya malu semua di depan dia.” Aku mengerucutkan bibir. Dia terlalu sempurna untuk sosok casanova di dunia nyata.
“Deketin mah deketin aja, Zie. Semua orang juga nggak bakalan tahu kan takdirnya gimana. Pede aja dulu.” Kahla menyeruput bobanya sambil menatap Elric dan teman-temannya yang bermain basket.
“Dia definisi cowok di dalam novel.” Aku menunjuk jajaran fans dari tim Elric. Banyak penggemar mereka bersorak-sorai. “Aku? Aku bisa bernapas aja udah bersyukur.”
“Kalau kamu karakter dalam novelnya, ya bisa dapetin dia mah. Coba aja sana. Nih, botol teh. Samperin gih.” Kahla mendorongku untuk memberikan botol the itu.
Aku lalu berdiri dengan susah payah. Kakiku masih sedikit sakit tapi apa boleh buat, aku harus mencobanya. Kapan lagi menjadi pemeran utama di sebuah drama. Anggaplah aku ini sebagai karakter utama yang menuruni tangga, memberikan botol teh kepada pemeran utama laki-laki, dan voilaa semuanya berhasil. Si cowok menyukaiku dengan mudah. cerita pun tamat.
Sayangnya begitu aku sampai di pinggir lapangan, Elric tidak melihat ke arahku. Justru temannya yang datang. “Nyari siapa?” kata laki-laki penuh peluh itu. “Kamu yang kemarin ada di restoran sushi itu kan?”
“I-iya.” Laki-laki itu mengambil botol teh dan meminumnya di depanku. Aku terkejut bukan main. “Kak, itu buat Kak Elric loh.”
Laki-laki itu tersenyum dengan menggoda. Aku bergidik ngeri. “Semua orang pada suka aku loh. Kenapa kamu nggak tertarik ke aku, tapi ke Elric?” Laki-laki yang tingginya seratus tujuh puluh lima ini mengedipkan matanya ke arahku.
“Wahhh … kakak terlalu pede.” Aku melihat ke belakang. “KAK ELRIC, TEMEN KAMU GODAIN AKUUUU!!!” teriakku dengan lantang.
Oke aku bodoh banget kali ini. Semua orang yang bersorak di lapangan itu berhenti seketika. Senyap dan semua mata menatap ke arahku. Aku … benar-benar malu. Aku menutup wajahku.
“Kamu malu? Hei … kamu malu?” Laki-laki itu menarik tanganku. Tangaku terlepas dari wajah dan mataku melirik Elric sekilas. Laki-laki yang memegang botol mineral itu hanya menatap dengan lurus ke arahnya.
“Diam.” Aku menginjakkan kaki laki-laki itu. “Aku nggak kenal sama kamu. Wleekkk.”
Aku langsung berlari dengan tertatih-tatih ke luar lapangan. Kulirik Kahla sekilas di tribun penonton. Sahabatku itu justru tertawa terpingkal-pingkal melihatku malu. Benar-benar tidak ada yang benar di sekelilingku.
***
Aku menuju ke kantin dengan marah. Tanganku dengan cepat membuka kulkas dan mengambil dua botol mineral. Satunya aku buka dengan susah payah dan aku minum. Ibu kantin menatapku dengan aneh.
“Kenapa, Neng?”
“Habis ketemu dedemit, Bu,” jawabku asal. “Berapa, Bu?” tanyaku setelahnya.
“Tujuh ribu, Neng.” Aku mengeluarkan uang sepuluh ribu dan mendapatkan kembalian.
Anak-anak yang bermain basket itu datang ke kantin, sepertinya latihan mereka telah selesai. Aku berdiri dengan tegap.
“Ini demitnya, Bu.” Aku meletakkan satu botol dingin itu ke depan Elric yang baru mendudukkan pantatnya. “Serah mau kamu minum apa enggak. Ini udah dapat jampi-jampi dari Bu Maryam.
Bu Maryam terkejut mendengarku mengatakan itu. Beliau langsung mengklarifikasi tapi aku langsung pergi. Aku tidak peduli dia akan meminumnya atau tidak. Aku tidak peduli. Aku kesallll dengan manusia bernama Elric itu.