Aku berjalan tertatih-tatih ke dalam kelas sambil membawa helm. Sudah tidak tahu seberapa malunya aku dengan kejadian tadi. Apalagi aku masih menggunakan helm. Tapi ya kepala kecilku ini beruntung tidak terkena lantai dan pecah di tempat. Aku menjinjing rokku ke atas. Ya di atas lutut sedikit. Mungkin akan terlihat tidak sopan, tapi bagaimana lagi perih sekali sobat.
Aku masuk ke dalam kelas. Guru kelas sedang menjelaskan. Aku masuk dan semua mata menatapku. Mereka sepertinya sedang berbisik tentang kejadian tadi pagi. Aku rasanya ingin menguliti wajahku ini. Niat hati ingin memperbaiki citra di depan doi, ternyata malah makin menjelekkan citra diri sendiri di seluruh sekolah.
“Maaf, Bu. Saya harus ke UKS dulu karena jatuh.” Aku meminta maaf sambil menunduk.
“Ohhh. Nggak apa-apa. Kamu tadi yang digendong sama Elric itu kan?” Guru matematika itu tertawa kecil. Seluruh teman-temanku langsung menyorakiku. Aku masih menunduk dan melirik teman-teman sekelasku. Mereka terlihat puas dengan bercandaan guru matematika di depanku ini.
Bisa dipastikan jika pipiku ini pasti sudah memerah seperti hot pot. Lagipula kenapa guruku ini sangat iseng. Ya memang sih dia masih sangat muda sekarang ini tapi tolonglah kakiku sakit, Bu.
“Hehe. Namanya tolong menolong, Bu.” Aku mendongak menatap guruku yang justru dibalas dengan menaikkan alisnya. Benar-benar rasanya ingin kupotong saja kejadian tadi.
“Bu, saya ingin duduk. Ini sakit banget kaki saya.” Aku membuat ekspresi yang mendramatisir agar guruku ini mau diajak kerja sama.
“Ya sudah duduk sana.” Akhirnya perintah yang ingin kudengar terjadi juga. Aku lalu duduk dan tertatih-tatih.
“Cie!” Baru juga aku duduk, Kahla sudah mengatakan kata keramat yang ingin aku banned di dunia ini.
Pelajaran berakhir dan … pada akhirnya aku menjadi topik hangat untuk teman-temanku. Mereka menanyaiku tentang Elric. Bukankah seharusnya mereka menanyaiku tentang kakiku yang baru mencium kerikil tadi pagi? Memang benar, tidak ada kawan yang baik jika sudah menyangkut laki-laki.
“Kamu keren banget bisa ditolongin sama Kak Elric. Boleh dong bagi tipsnya?” Yunita menaikkan alisnya. Gadis berbando itu menatapku dengan mata bersinar. Aku menjadi tidak nyaman dibuatnya.
“Gimana ya? Ini nggak sengaja aja. Kebetulan aku jatuh di depan dia,” jelasku secara singkat. Aku tidak akan menceritakan kebenarannya. Terlalu memalukan soalnya.
“Apa aku harus kayak gitu juga ya? Haha.” Jinan tertawa dengan keras karena menganggap kisah itu aneh. “Boleh dicoba sih. Kamu benar-benar mewujudkan kisah di dalam novel yang pernah aku baca. Berhasil ternyata.”
Ohhh men, aku ingin berteriak saat ini. Kalau aku memang tokoh utama, kubuat citraku sebaik kaum sosialita. Lah ini? Semua isinya buruk-buruk aja. Sepertinya aku sudah tidak bisa memperbaiki pertemuanku dengan Elric. Ya sudah kalau begitu. Memang ya beginilah nasib kaum aneh. Masih bisa memiliki muka sepertinya aku sudah bersyukur.