Grafen mengikuti seseorang yang berlari dikejar oleh satpam. Orang itu berlari dengan cepat tanpa memakai sepatu, pasti kakinya lecet. Grafen melihat sandal yang berada di rak. Dia mengambil dan berjalan dengan perlahan ke taman berbentuk labirin. Petugas tentu tidak akan berani masuk ke sana karena akan membuang-buang waktu. Entah mengapa dia hanya ingin menolong perempuan itu. Padahal dia tidak tahu sama sekali apa yang sedang terjadi dan kesalahan apa yang diperbuat oleh perempuan itu.
Langkah kakinya cepat dan dia menemukan kakak kelasnya terduduk di atas tanah. Dress putih itu pasti akan kotor keesokan harinya. Grafen mendekat, kakak kelasnya menatapnya dengan kesal. Grafen sebenarnya malas berurusan dengan perempuan itu tapi mau bagaimana lagi, dia sudah sampai di tempat itu.
“Kenapa lari, Kak?” tanya anak laki-laki itu sambil menarik permen dari mulutnya.
“Menurut kamu kenapa?” Kina berkata dengan ketus. Dia lalu mengambil sandal yang disodorkan Grafen kepadanya. “Ssssss …” ringis Kina begitu menyadari kakinya lecet parah.
“Mau diobatin dulu nggak sebelum pergi?” Tawaran itu membuat Kina siaga. Pasti si Grafen-Grafen ini memiliki rencana buruk, mengingat mereka pernah bersitegang—lebih tepatnya teman-temannya.
“Mending kamu langsung bilang tujuanmu deh.” Kina meringis melihat lecetan itu sedikit berdarah.
“Nggak ada. Gimana kalau kakak yang cerita apa tujuan kakak ke sini?” Grafen bersedekap dada dan menatap Kina dengan datar. Mala mini anak laki-laki itu terlihat lebih tampan jika tanpa berkacamata.
“Bukan urusan kamu.” Kina berusaha berdiri dengan susah payah. Sebelum badannya limbung tangannya dipegang oleh Grafen.
“Tapi kakak butuh ini kan?” Grafen memperlihatkan sebuah kunci. “Ini kunci di seluruh rumah ini.” Kina hendak mengambilnya tapi Grafen menghentikannya.
“Kok bisa ada di kamu?” tanya Kina penasaran.
“Apa gunanya jadi teman pemilik rumah ini?” Grafen menaikkan alisnya dengan sombong. Kina langsung menoyor rahang laki-laki itu. “Tapi kakak harus cerita kenapa.”
“Hah, oke. Kita masuk aja dulu.” Grafen menarik tangan Kina untuk berjalan tapi perempuan itu menahannya. “Gendong aku bisa? Kakiku sakit.” Kina menggoda anak laki-laki itu.
“Minimal sadar umur, Kak.” Kina langsung mendorong punggung Grafen yang menunduk lambat. “Berat banget.”
“Lemah.”
Grafen membawa Kina memasuki ruangan yang tadi belum sempat dia lihat secara lebih dalam. Dia meminta diturunkan dari punggung Grafen. Dia menatap satu persatu tanaman yang hidup di tempat yang mirip seperti akuarium. Cahaya mereka saling berpendar satu sama lain. Dari beberapa tanaman itu mengeluarkan peri berwarna-warni. Ada yang berwarna hijau, kuning, putih seperti kebanyakan warna normal dalam tanaman obat. Pada bagian rak atas terdapat cahaya peri berwarna biru dan ungu. Pada bagian terakhir ada yang berwarna mereka.
“Sepertinya ada warna yang kurang di sini.” Kina menyadari salah satu warna yang pernah dijelaskan oleh Tante Daisy tidak ada. Warna hitam yang melambangkan kekuatan itu tidak ada.
“Warna apa, Kak? Memangnya ini semua apa?” Grafen memegang bahu Kina dengan takut. Dia terkejut melihat beberapa peri menyinari tanaman obat di dalam tempat itu.
Benda pelindung akuarium itu memiliki penghubung ke saluran lainnya. Kina lalu mengikutinya dan menemukan sebuah mesin unik yang di dalamnya terdapat cahaya-cahaya dari peri yang ada. Kina menelan ludahnya. Mereka sengaja memisahkan peri tanaman dengan tanaman itu sendiri. Ini sama saja dengan memaksa manusia menyerahkan jiwanya.
“Kamu tahu mereka mengumpulkan ini untuk apa?” tanya Kina kepada Grafen. Matanya menatap tajam anak laki-laki itu.
“Nggak ada yang penting sepertinya, Kak. Tapi … keluarga Yonel ingin menjadi kuat aku rasa.
“Emmm begitu.” Kina mendapatkan jawaban yang pasti. Kali ini tergantung dengan apa yang didapatkan oleh Gyn. “Oke terima kasih kalau gitu.” Kina berjalan seperti biasa dan keluar dari ruangan itu.
Dia seketika kehilangan rasa sakitnya setelah menemukan kata kunci yang dia butuhkan. Dia lalu melihat jam, sebentar lagi ayah dan ibunya pasti akan sampai. Dia lalu menelepon Gyn dan berlari ke area luar untuk bertemu. Mereka harus menyusun semua informasi yang mereka dapatkan.
***
“Ini nggak bener kan, Gyn?” tanya Yonel tidak percaya setelah mendengar percakapan kedua orang tua dan pamannya.
Saat ini mereka sedang menyusup untuk mendengarkan rapat. Gyn berusaha menenangkan Yonel. Pasti kerluarga yang dia pikir baik itu kenyataannya sama, ternyata berbeda. Yonel merasa sedih mendengarnya. Dia tidak menyangka keluarganya juga memiliki hal-hal busuk. Selama ini dia selalu membagakan keluarganya karena menganggap mereka baik.
Gyn melirik jam tangannya. Dia tidak bisa berlama-lama menghabiskan waktu di dalam ruang rapat itu. “Aku harus pulang.”
Yonel menarik lengan Gyn dan menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Bisa kamu tinggal lebih lama?”
Gyn menarik tangannya dan berkata, “Tidak Yonel. Bisa dibilang kita tidak berada di kapal yang sama. Aku harus pergi.”
Gyn dengan hati dingin langsung meninggalkan Yonel. Dia membiarkan laki-laki itu untuk berpikir sendiri atas apa yang diperbuat oleh keluarganya. Semua keputusan tetap ada di tangan Yonel. Gyn tidak perlu ikut campur. Sekarang dia harus menyelamatkan rumah dan kota kecilnya.