Yonel, Grafen, dan Horien melaporkan Kina dan Gyn ke guru BK. Keduanya didudukkan di depan kursi kerja guru tersebut. Guru dengan kacamata bulat itu menatap kedua murid beda tingkatnya dengan pandangan menyelidik.
“Kalian berdua ada masalah apa sama Yonel, Grafen, dan Horien?” tanya guru dengan sanggul bulat di kepalanya.
“Mereka merundung Gyn. Apa ibu tahu?” jelas Kina. Dia bersedekap dada dan menatap guru itu dengan pandangan mencemooh.
“Mereka mana mungkin melakukan itu.” Guru itu menyandarkan punggungnya. Dia tidak percaya jika murid berpengaruh di yayasan mereka itu suka merundung orang. Seingatnya ketiga orang itu adalah anak yang baik dan manis.
“Lho ibu kira mereka nggak bisa? Berapa jam memangnya ibu bertemu dengan mereka?” Kina menyipitkan matanya sambil menatap guru BK-nya.
“Kamu jangan mengada-ada. Jelas-jelas kamu yang sudah memberikan obat pencahar ke mereka.”
Kina mencondongkan wajahnya dan tersenyum dengan smirk-nya. Kina memiringkan wajahnya dan berkata, “Memang ibu ada buktinya saya melakukan itu? Kalau ada, kenapa nggak sekalian ibu lihat CCTV di bagian belakang gedung?” Kina tersenyum licik.
“Saya tahu kamu pintar tapi bukan berarti berani seperti ini sama guru. Saya akan telepon wali kalian berdua.” Guru BK itu membuka biodata Kina dan Gyn. Dia membalik-balik daftarnya dan mengetikkan nomor orang tua melalui telepon kabel.
Kina kembali menyandarkan punggungnya, dia menatap guru BK dengan datar. Guru itu menelepon kedua orang tuanya. Begitu selesai menelepon orang tua Kina, guru itu beralih menelepon nomor yang tertera di biodata Gyn. Kedua nomor itu sama. Guru BK tidak menyadarinya, barulah ketika suara itu terdengar sama, guru BK menyadari ada yang salah.
“Kenapa, Bu? Suaranya sama ya?” tanya Kina dengan wajah tanpa dosanya. Matanya yang sipit dilebarkan seperti seseorang yang menantang sesuatu.
“Ekhm … kenapa kamu nggak bilang? Lagipula kamu tahu kan kalau kalian ini dapat beasiswa, kenapa harus begini kelakuannya. Nggak takut saya cabut?”
“Emmm … saya punya prestasi, tidak melakukan kekerasan, lagipula kalau dicabut dan putus sekolah juga sekolah yang rugi, bukan saya.” Kina tersenyum tipis. Dia menyadari perubahan ekpsresi gurunya yang tidak bisa berkata-kata. Mereka pasti tidak ingin kehilangan murid yang berprestasi.
“Tunggu orang tua kalian datang.” Kina dan Gyn hanya diam di tempatnya. Sesekali Kina memainkan kuku-kuku jarinya yang kotor dan mengambilnya dengan kuku lainnya.
Bel pulang sekolah untuk anak SMA telah berbunyi. Kina dan Gyn sudah menunggu hampir satu setengah jam lamanya. Mereka suka lelah.
“Ini ibu mau ngurung kita di sini sampai kapan?” Kina menegakkan punggungnya. Tubuhnya terasa pegal duduk di kursi kayu. Pantatnya juga terasa kebas. Rambutnya sudah acak-acakan karena dia putar-putar untuk membunuh kebosanan.
“Sampai orang tua kalian datang.” Tepat saat itu kedua orang tua Kina dan Gyn datang. Keduanya langsung berbicara dengan guru BK sementara Gyn dan Kina menunggu di luar.
Selama setengah jam mereka saling berbicara hingga akhirnya kedua orang tua Kina dan Gyn keluar dari ruang BK. Mereka menatap kedua anaknya dengan pandangan pasrah. Lelah dengan kelakuan mereka.
“Sebenarnya ibu dan ayah sangat senang kalian berdua bersama tapi kalau pada akhirnya membuat huru hara seperti ini, lebih baik kalian tidak perlu bersama lagi.” Pinan melenggang terlebih dahulu. Tubuh wanita itu terlihat lelah.
“Kita ambil tas kalian dulu ya.” Beruntungnya Arven masih bisa mengatakan kalimat yang baik. Pria itu pun mengusap rambut Gyn dengan lembut. Kina memutar matanya melihat anak kesayangan dan ayahnya yang saling berbagi kasih sayang.
“Langsung ke parkiran aja. Tasnya Gyn biar aku ambilin sekalian.” Kina melenggang pergi. Dia tidak tahan melihat putri kesayangan dan bapaknya saling memperlihatkan kasih sayang.
Kina sampai di parkiran. Dia tidak melihat ada sepeda lagi di parkiran, pasti ayahnya hari ini membawa mobil pick up dan menaikkan sepedanya. Benar saja, ketika dia berjalan ke hall, di sana mobil ayahnya sudah terparkir beserta sepeda di atasnya. Kina menghembuskan napasnya dengan berat dan berjalan ke mobil pick up yang sudah tua itu.
Beruntungnya anak-anak sudah tidak ada lagi, Kina tidak perlu merasa malu dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan ini. Mereka bahkan harus berdempet-dempetan untuk bisa duduk di depan.
Tidak banyak percakapan yang terjadi. Isinya hanya pembicaraan antara anak bungsu dengan ayahnya. Mereka banyak bercerita tentang hari ini, apa yang dilakukan oleh Gyn, bagaimana proses belajar Gyn. Kina tidak ingin mendengarkan dan dia lebih memilih untuk tidur saja.
Sesampainya di rumah Pinan melancarkan aksinya. Dia menahan kedua anaknya di luar dan menghukum keduanya untuk membersihkan gudang.
“Harus banget bersihin gudang? Emang apa yang perlu dibersihkan?” Kian bertanya dengan nada sewot. Dia paling anti untuk bersih-bersih.
“Biar Gyn aja, Bu. Biasanya juga Gyn yang bersihin.” Gyn berusaha menengahi aura marah keduanya. Dia tidak ingin hubungan kakak dan ibunya semakin renggang.
“Kamu jangan kebiasaan mau ditindas kakakmu, Gyn. Biar dia bisa bersih-bersih.” Pinan berkata dengan keras. Gyn menjadi takut mendengarnya.
Kina lalu menarik Gyn untuk berdiri di belakangnya. “Oke. Kita bersihin gudang. Setelah ganti baju.” Kina menarik adiknya untuk berganti baju. Kemudian keduanya berjalan ke arah gudang. Kina akan memanfaatkan situasi ini untuk mencari tahu lebih dalam tentang gudang di keluarga rumahnya.
“Kakak, maaf ya,” ucap Gyn tiba-tiba. Wajah gadis itu menunduk daritadi. Kina menjadi kesal melihatnya.
“Santai aja.” Dia berlalu dengan tidak peduli. Dia mengambil catatan tentang daun dan mengecek tanggal-tanggal pembuatannya. Daun yang sudah kering itu seharusnya dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk dijual esok hari. “Ini kamu bungkus ini.” Kina menarik kursi dengan kakinya dan menyuruh Gyn duduk. Dia memberikan instruksi sesuai dengan catatan di kertas itu.
Setelah memberikan tugas kepada Gyn, Kina mengecek tanaman kering lainnya. Ada beberapa yang masih basah dan ada beberapa yang sudah kering. Saat mendekati tanaman yang baru dipanen beberapa hari lalu, Kina menyadari ada yang mengganjal. Tanaman itu terlihat berkilau. Dia mengucek matanya. Masih sama, ada sedikit kilauan di sana. Dia lalu memanggil Gyn.
“Gyn, kamu tahu rahasia di rumah kita apa?” tanya Kina yang penasaran sambil mengamati cahaya kecil di atas jahe itu.
“Emmm …” Jantung Gyn berdegup kencang, dia tidak tahu harus menjawab apa padahal kakaknya sudah berkorban hingga masuk ke ruang BK.
“Jawab! Aku udah bantuin kamu.” Kina menatap adiknya dengan marah. Dia berdiri dan mendekati adiknya. Dia menyetarakan matanya dengan mata adiknya. “Jadi kamu tahu atau tidak?” Kina menekankan setiap kata di kalimatnya. Dia sedang menahan amarahnya.
Air mata Gyn menetes tiba-tiba. Kina terkejut melihatnya. “Enggak, Kak. Hiks. Ibu sama ayah nggak pernah bilang ke Gyn. Gyn juga nggak tahu.” Gyn menutup mengusap matanya.
Kina sedikit merasa lega dengan kenyataan itu tapi dia juga kesal karena adiknya sudah berbohong padanya. “Yaudah kalau gitu.”
Kina berbalik dan dia terkejut begitu melihat cahaya kecil tadi itu terbang dan berputar di tengah-tengah gudang. Cahaya itu semakin dilihat ternyata seperti seorang peri kecil. Dia hingga di hidung Kina dan dengan tangan kecilnya menyentuh kulit putih Kina. Kina menelan ludahnya dengan gugup.
Gyn yang melihat itu pun takjub. Tangisnya berhenti dan saat ini dia tertarik dengan peri kecil yang terbang di atasnya. “Waw, ini keajaiban, Kak.” Gyn mengangkat tangannya seolah ingin menyentuh mereka.
“Ini tidak masuk akal.” Kina mundur ke belakang. Dia terkejut bukan main. Rahasia rumah ini memang tidak bisa masuk di logikanya.
Pertama dia sudah pernah melihat puting beliung di kamarnya, sekarang dia melihat peri-peri kecil terbang di atasnya. Kalau dunia ini dongeng, Kina lebih ingin melihat manusia vampire daripada melihat peri kecil.
“Kenapa mereka menunjukkan dirinya?” tanya Kina dan menatap adiknya dengan ketakutan. “Ada apa sebenarnya?”